3

874 50 19
                                    

Gue tengah berada di depan perpustakaan yang terletak di lantai ketiga paling pojok. Di sana letak yang strategis untuk mengamati setiap gerak-gerik semua orang tanpa terlihat karena dihalangi oleh rimbunnya sebuah pohon tua. Gue juga cukup sering duduk atau tidur-tiduran di kursi panjang yang berada persis di depan perpustakaan jika malas masuk kelas.

Gue menatap ke bawah sekilas, "gak ada yang menarik." Akhirnya, gue memutuskan untuk masuk ke dalam perpustakaan.

Aroma khas dari buku-buku usang yang dipadukan dengan pengharum ruangan segera menyeruak masuk ke dalam indera penciuman gue. Sebelumnya, gue masuk ke dalam perpustakaan hanya untuk mengerjakan hukuman saja, tetapi berhubung jam kosong tiga jam berturut-turut dan banyak anak kelas yang cabut jadilah gue di sini sembari menunggu bel berbunyi.

"Mas Raka kena hukuman meneh 'tho?" Begitulah kira-kira sapaan akrab dari penjaga perpustakaan, Bu Tias, pada gue.

"Enggak dong, Bu. Saya lagi jadi anak alim, nih," gue membusungkan dada dan dengan gagah melangkah masuk.

"Wong kamu ini baju aja ora rapi, mana iso jadi alim?" Sehabis perkataan Bu Tias, gue buru-buru memasukkan baju seragam ke dalam celana dan nyengir tak berdosa. Bu Tias hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah gue, sudah kebal sepertinya.

"Saya lihat-lihat dulu ya, Bu," pamit gue pada Bu Tias, ia mengangguk pelan.

Perpustakaan ini begitu luas. Buku-buku yang disajikan juga beragam, mulai dari buku pengetahuan hingga majalah menye-menye yang membuat para kaum hawa memiliki sejuta taktik dan kode untuk laki-laki dan di sinilah gue frustasi karena setahu gue tidak ada majalah bagi para kaum adam untuk memecahkan taktik dan morse itu.

'Kalo ada juga ngapain gue beli?' sesaat ia tersadar tindakan bodohnya barusan karena telah berpikir hal yang tidak perlu.

Saat gue berkeliling mencari buku secara random, samar-samar terdengar suara isak tangis. Bulu roma gue meremang, 'anjing. Horor amat.'

Beberapa saat, terdengar racauan dari seseorang. Saking penasarannya, gue sampai mengintip dari sela-sela rak buku.

Tampak seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda dengan pita di atasnya. Terlihat sekali bahwa ia terkejut melihat gue ketika tanpa sengaja matanya bertumbukan dengan gue.

Rambutnya sudah berantakan dengan air mata yang menganak sungai di pipinya, matanya pun sudah terlihat sembab.

"Angelo?" ucapnya nyaris berbisik. Wajahnya kembali cerah.

'He? Kok Angelo?' Belum selesai gue bertanya-tanya, ia beranjak dari tempat duduknya kemudian memeluk gue erat.

"Gue kangen banget sama lo. Gue tau kok, lo pasti waktu itu cuma bercanda, kan? Lo gak bener-bener mau ninggalin gue, kan? Ternyata penantian gue gak sia-sia. Gue tau lo pasti bakal dateng buat gue," cerocosnya tanpa memperdulikan ekspresi gue.

Gue mencoba melepaskan diri dari pelukannya, "Sorry, tapi kayanya elo salah orang, deh."

Seketika pelukan itu terlepas, terlihat wajahnya merengut kesal, "apa sih, jangan suka ngaco, deh. Lo gak bakalan bisa ngebohongin gue."

'Lah, kenapa malah marah-marah ke gue?'

"Demi apapun, gue gak kenal sama lo. Sumpah. Lo pasti salah orang," ucap gue mulai kesal. Enak aja peluk-peluk orang seenaknya, dikira gue guling apa.

"Ih! Angelo! Jahat banget, sih. Tau ah," rengutnya kesal kemudian duduk semula di bangkunya.

Gue mencoba mengingat orang ini, 'ah, perasaan gak pernah kenal, deh.' Tiba-tiba gue teringat saat Tristan sempat bilang bahwa ada anak dari kelas duabelas IPS-3 yang sempat berpacaran dengan 'arwah' dari Angelo, anak duabelas IPS-5.

Best-Friend [zone]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang