Bab 8

212 16 3
                                    

Dua hari menjelang acara, semua terlihat sibuk. Umi bahkan sampai turun tangan membantu Aina menyiapkan semuanya. Bahkan sudah tiga hari ini Aina hanya tidur empat jam saja perharinya. Memang ini bukan yang pertama kalinya Aina melewati semua ini, tapi tetap saja rasanya deg-degan. Aina hanya takut, karya-karya yang ditampilkannya tidak sesuai dengan selera target pasar. Aina terlalu pesimis, padahal Umi dan Abuya selalu mengingatkannya untuk selalu optimis.

Satu Minggu yang terasa melelahkan itu akhirnya terbayar sudah, begitu Aina melangkah dengan puas setelah menampilkan karyanya. Riuh tepuk tangan menyambut kedatangan Aina, ditambah sebuket bunga pemberian Umi sebagai tanda selamat.

"Selamat Aina, karya kamu selalu memuaskan. Simpel tapi elegan. Cutting-nya selalu terlihat pas di badan." Salah satu rekan sesama fashion designer memberi selamat kepada Aina di belakang panggung. Tak hanya satu, beberapa kenalan ikut memberikan selamat atas penampilan Aina hari ini.

Aina merasa puas, lelahnya selama seminggu terakhir berbuah hasil yang memuaskan. Aina tak lupa bersyukur, ia sadar semua yang ia dapatkan tak lepas dari peran Allah, doa kedua orang tuanya dan semangat orang-orang disekitarnya.

Tiga tahun terjun dalam dunia fashion, Aina dikenal dengan ciri khas desainnya yang simpel dan elegan. Aina memiliki prinsip bahwa kenyamanan adalah hal terpenting dalam setiap karyanya. Selain itu, Aina juga sering mengangkat budaya dan kain tradisional milik daerah yang mulai ditinggalkan kaum muda saat ini. Bahkan, Aina sudah memiliki pengrajin batik dan kain tenun sendiri.

Dibesarkan di daerah yang kental akan budaya, membuat Aina ingin mengenalkan kembali budaya-budaya kepada generasi selanjutnya. Kadang Aina prihatin, bagaimana anak muda zaman sekarang ini banyak yang sudah tidak mengenal lagi budaya dan peninggalan daerah. Hal-hal yang bersangkutan dengan budaya perlahan mulai terkikis oleh budaya asing.

Aina masih asik melamun ketika pintu mobil disampingnya terbuka. Farah masuk dengan wajah lesu, wajahnya terlihat kelelahan. Kebetulan Farah ikut serta menjadi Muse salah satu desainer kenamaan Indonesia.

Mobil melaju meninggalkan parkiran ketika Farah sudah duduk nyaman ditempatnya. "Mau makan dimana?" tanya Aina begitu mereka terjebak di perempatan lampu merah.

"Terserah, dimana aja, penting kenyang." Aina mengangguk kecil, mobilnya kembali merayap di jalanan yang ramai.

"Tapi isya dulu ya, tadi nggak sempat." Aina membelokkan mobilnya ke sebuah perkarangan mesjid. Azan isya sudah berlalu sejak satu jam yang lalu, tapi keadaan mesjid masih sama ramainya. Banyak pemuda yang sedang menyelenggarakan acara di sana. Aina merasa haru, di masa akhir zaman seperti ini, masih banyak pemuda yang lebih mementingkan akhirat di banding dunia. Jujur, Aina merasa tertampar. Ia masih saja sering lalai mengerjakan sholat, ia malu pada mereka yang selalu berlomba-lomba dalam menjalankan ibadah.

Aina dan Farah melaksanakan shalat isya di bagian jamaah perempuan. Sedangkan didepan mereka, sekelompok pemuda sedang melaksanakan kajian rutin. Samar-samar Aina bisa mendengar kajian yang sedang disampaikan.

Tentang kisah cinta diam-diam antara Siti Fatimah dengan Sayyidina Ali. Ah, siapa yang tidak tau dengan cerita penuh haru itu. Kisah cinta yang menjadi inspirasi anak muda zaman sekarang. Dulu, Aina pernah bermimpi untuk menjadi seperti Siti Fatimah. Ia hampir saja mewujudkan mimpinya jika saja ia tidak tau perasaan Fahmi yang sesungguhnya. Sudahlah Aina, kenapa masih memikirkannya.

"Ai." Suara Farah menyentak Aina untuk kembali sadar. "Malah melamun. Ayo! Laper nih." Farah mengusap perutnya yang sudah keroncongan.

"Iya Far, sabar dong." Aina membereskan mukenah ia kenakan dan mengembalikannya ke tempat semula. Lantas ia mengikuti langkah Farah. Tepat ketika mereka keluar, acara kajian juga selesai. Para pemuda ikut berhamburan keluar, bergegas menuju rumah masing-masing. Mungkin mereka juga sudah kelaparan, pikir Aina.

"Assalamualaikum." Langkah Aina dan Farah sama-sama terhenti begitu mendengar suara bariton yang menyapa dari arah belakang. Dua gadis itu sontak berbalik, sesosok lelaki jangkung ber-kurta hitam berdiri tak jauh dari mereka.

"Kamu kenal Ai?" bisik Farah. Aina menggeleng, ia tidak ingat pernah berjumpa lelaki ini.

"Afwan, ini hp Mbak?" Lelaki itu menyodorkan ponsel dengan softcase berwarna hitam dengan hiasan kupu-kupu.

"Ah, iya. Terima kasih banyak." Aina lupa kalau tadi ia sempat mengeluarkan ponselnya untuk memberi tahu Umi kalau dia pulang sedikit terlambat malam ini. Sepertinya Aina lupa memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Sama-sama." Lelaki itu menundukkan kecil dan berlalu. Aina terdiam sejenak, seperti mengingat-ingat dimana sekiranya ia pernah bertemu lelaki itu, ada yang tidak asing dari lelaki itu.

"Kenapa Ai?" Aina tersentak dan segera menggeleng. Gadis itu menarik lengan Farah untuk segera pergi. "Kamu kenal lelaki tadi?"

Aina kembali menggeleng, ia tidak ingat dimana pernah melihat lelaki itu. Apa ya yang membuat lelaki itu seolah familiar. Wajahnya? Tidak. Matanya? "Ah iya, lelaki itu," seru Aina membuat Farah terlonjak kaget.

"Bikin kaget aja Ai, kenapa sih? Siapa lelaki tadi?"

"Nggak, aku baru ingat pernah bertemu laki-laki itu beberapa hari lalu. Kami berpapasan di mesjid, ya mesjid ini, di situ!" tunjuk Aina pada bangunan di samping parkiran. "Tidak sengaja berpapasan pas mau berteduh," sambung Aina.

"Wih, jodoh kamu kali Ai, kayak di novel-novel." Farah menyenggol bahu Aina bermaksud menggoda gadis itu. "Ganteng loh Ai, boleh tuh dijadikan suami."

"Apa sih Far, aku nggak ada pikiran untuk kesana. Udah ah, ayo, katanya lapar."

***

"Ai, Aina.." Suara Bila menyentak Aina dari tidurnya. Ia baru saja tertidur beberapa menit yang lalu. Perempuan itu menyeruak masuk, "Ai, lusa kamu sibuk nggak?"

Aina menggeliat kecil sebelum duduk di atas ranjang. "Biasa aja, kenapa Kak?"

Bila tersenyum penuh arti, ia menggeser duduknya supaya lebih mendekat pada Aina. "Jio ada lomba Tahfiz lusa, kamu bisa dampingi dia nggak? Kakak shift pagi hari itu. Tolong ya Ai."

Aina menghela napas pasrah. Selalu saja begitu. Tunggu, apa Aina sudah menceritakan latar belakang keluarganya? Sepertinya belum. Baiklah, Aina akan menceritakan semuanya. Tentang orang-orang yang berperan penting dalam hidup Aina.

Abuya adalah kepala apoteker di sebuah rumah sakit di kota mereka, Umi bekerja sebagai pegawai negeri sipil di dinas kesehatan. Bila sendiri bekerja sebagai perawat disebuah rumah sakit yang kemudian menikah dengan seorang abdi negara, sedangkan Diah merupakan seorang chef di sebuah hotel yang kemudian menikah dengan seorang pengusaha.

"Aina, malah melamun. Boleh nggak?" Bila melambaikan tangannya di depan wajah Aina.

"Eh, iya. Boleh kak, mesjid mana?"

"Mesjid Baiturrahim, nggak jauh dari sini." Aina mengangguk, kebetulan ia tidak ada acara, jadi apa salahnya mendampingi ponakan sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dibawah Senandung CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang