16. Mana yang Lebih Buruk

872 118 31
                                    

KUPU KUPU SURGA• • •

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KUPU KUPU SURGA
• • •

16

M E R I S A hanya bisa mengerutkan kening saat langkahnya bersama Islam malah tertuju pada rumah besar milik Umi dan Abuya. Setelah hampir 24 jam menginap di klinik, Merisa memang dibawa pulang. Namun, tak Merisa sangka, Islam tidak membawanya ke rumah sederhana mereka. Mereka malah berdiri di beranda rumah Abuya, menunggu pemiliknya menyambut kedatangan mereka

Lantas, Merisa melirik Islam yang kini berdiri di sampingnya. "Gus," panggilnya begitu pelan.

"Abi sama Umi mau bertemu," sahut Islam.

Senyuman kecil dari wajah Islam seolah tidak mengizinkan Merisa untuk menolak. Di saat yang sama, Umi datang membuka pintu. Perempuan sepuh bergamis itu itu mengangguk, seolah meminta agar Islam dan Merisa segera masuk.

"Assalamualaikum," ucap Islam.

"Waalaikumsalam. Yuk, masuk," balas Umi.

Dengan rasa takut yang masih menyelimuti hatinya, Merisa melangkah masuk bersama Islam. Aroma segar dari pengharum ruangan langsung menyambut pasangan suami-istri itu. Rumah Umi dan Abuya sangat berbeda dengan rumah sederhana yang Islam tinggali bersama Merisa. Rumah Abuya sangat besar, lantainya terbuat dari marmer, benerapa pajangan cantik juga menghiasi setiap sudut rumah.

Diam-diam, Merisa melirik Islam. Ternyata, pria itu masih tak melunturkan senyumannya. Islam memang selalu tersenyum. Wajahnya selalu terlihat berseri. Merisa bahkan penasaran, apakah Islam memiliki rasa benci atau mungkin sedikit keluhan dalam hatinya. Padahal, tak sedikit kesulitan yang Islam alami karena kehadiran Merisa. Bahkan, Islam harus meninggalkan rumah besar ini demi menjaga Merisa.

Rasanya, permintaam maaf dan pengakuan Merisa belum cukup untuk menebus segalanya. Perempuan itu memalingkan wajah hingga tanpa sengaja padangannya beralhir pada figur Abuya yang tengah duduk di ruangan tamu. Sepertinya, sudah sejak tadi Abuya menunggu Islam dan Merisa.

"Duduk," pinta Abuya.

Islam hanya mengangguk. Dia menuntun Merisa untuk duduk di sampingnya, tepat di depan Umi dan Abuya.

Demi Allah, Merisa malu jika melihat wajah Umi apalagi Abuya. Jiwanya semakin terasa kotor dan hina. Umi dan Abuya yang mendidik Islam sejak kecil, tapi Merisa yang malah membawa Islam dalam dunianua yang gelap. Lagi-lagi, perempuan itu tertunduk malu, menyembunyikan wajahnya dengan sempurna.

Ingin sekali Merisa meminta maaf, tapi bibirnya begitu sulit untuk berucap. Dia takut kata-kata kotor yang malah keluar dari bibir penuh sumpah serapah itu. Dia takut malah keburukan yang keluar dari diri yang penuh dosa itu.

"Gus, Abi ingin kalian tinggal di sini," ucap Umi tiba-tiba.

Merisa langsung menatap Islam. Tanpa sadar, tangannya meremas ujung baju Islam dengan gelisah. Sudah ckup dengan Merisa menghancurkan kehormatan Islam, dia tak mau jika harus mengotori rumah Umi dan Abuya.

Islam sadar kegelisahan Merisa. Dia melirik bajunya yang kusut karena genggaman penuh getar keraguan. Dia tatap wajah perempuan di sampingnya dengan keheningan. Islam tahu Merisa takut dan enggan.

"Dua kamar di atas bisa kalian gunakan," tambah Abuya.

Umi tersenyum tipis. Dia mengusap punggung tangan Abuya sekilas. "Maksud Abi, kalau kalian di sini, Umi sama Abi juga bisa bantu menjaga Merisa. Apalagi, rumah ini terlalu besar untuk ditinggali berdua," ucapnya.

Islam melirik Merisa sekilas sebelum akhirnya kembali menatap kedua orang tuanya. Pria itu tersenyum, lalu berkata, "Islam mengerti maksud baik Umi sama Abi. Islam dan Merisa sangat berterima kasih."

Umi dan Abuya sama-sama berdiam, menunggu Islam melanjutkan ucapannya. Perlahan, Abuya melirik Merisa yang masih tertunduk.

Berbeda dengan Islam yang menatap megahnya rumah Umi dan Abuya. Lagi-lagi bibirnya melengkung, tersenyum.

"Umi, Abi ... setelah menikah, memberikan tempat tinggal adalah kewajiban seorang suami untuk istrinya. Rumah ini, rumah Abi sama Umi. Rumah yang Islam punya, ya ... rumah di seberang jalan itu. Meski kecil, setidaknya rumah itu Islam beli sendiri dari Abi ... dan rumah itu yang bisa Islam berikan untuk Merisa. Bukan Islam gak setuju dengan permintaan Umi ataupun Abi, tapi Islam benar-benar ingin belajar jadi seorang suami yang bertanggung jawab."

Setelah mendapat jawaban seperti itu dari Islam, Abuya hanya bisa merenung di pendopo bersama beberapa santri yang rebutan untuk memijat kaki Sang Kiyai itu.

Di sana, ada Mahesa, santri badung yang sangat mengagumi Islam dan Malik, santri kesayangan Abuya dan Umi. Keduanya memijat kedua kaki Abuya dengan telaten.

Terik matahari mulai memudar. Angin sepoi-sepoi seolah menjadi pemanis di bawah rindangnya dedaunan samping pendopo. Sebelum tiba waktu ashar, Abuya memang sengaja mengajak para santri untuk sedikit bersantai sambil mengagungkan setiap ciptaan Allah. Namun, bukannya tadabbur alam, Abuya malah memikirkan sosok Merisa yang entah kenapa begitu Islam jaga dan hormati.

Bukan Abuya meragukan Islam, tapi sebagai seorang ayah, Abuya juga memiliki rasa takut.

Namun, tak ada yang menandingi Allah Yang Maha Mengetahui. Di luar kuasa Abuya yang tidak ada apa-apanya, mungkin ada sosok ahli ibadah dalam diri seorang pelacur, ada sosok pencinta Alquran yang bisa menjadi pakaian untuk Islam. Karena, hanya Allah Yang Maha Membolak-balikan Hati manusia.

Sama seperti cara Allah menghilangkan nikmat iman dan nikmat islam dari seorang penghapal alquran. Abuya mendengar cerita Merisa dari Islam. Abuya juga tahu bagaimana Merisa bisa terjebak dalam dunia yang penuh dengan kedzolimanan.

Akankah penghapal Alquran itu mampu menemukan hatinya kembali untuk mencitai Allah?

Abuya hanya mampu berdoa dan memohon perlindungan dari Allah, Sang Maha Menaklukan Segala Seuatu.

"Buya."

Seruan dari Mahesa merebut paksa perhatian Abuya. Bocah itu nyerengeh dengan tangan yang masih memijat kaki Abuya.

"Ana mau tanya," ucap Mahesa lagi.

Abuya tersenyum saat melihat wajah Mahesa. Dia mengingat wajah satrinya itu. Mahesa yang menangis meraung-raung saat akan pula yang berteriak dengan lantang saat menyangkal berita bohong tentang Islam. Mahesa memang tidak sepintar dan serajin Malik, tapi bocah itu memiliki tempat sendiri di hati Abuya.

"Tanya apa, Mahesa?"

Mahesa sedikit menggeser pantatanya agar posisinya lebih dekat dengan Abuya. "Menurut Buya, mana yang lebih buruk, perempuan yang rajin beribadah tapi tidak menutup aurat atau perempuan yang sudah menutup aurat tapi ibadahnya ogah-ogahan?"

"Mahesa, kita gak bisa menjamin, siapa tahu perempuan yang rajin ibadah itu nantinya diberi hidayah untuk mulai menutup aurat. Mungkin pula, Allah juga akan memberikan kenikmatan ibadah pada perempuan yang sudah menutup auratnya."

Diam-diam, Malik mendengarkan. Dia ikut tertarik dengan obrolan itu. "Jadi, Buya ... mana yang lebih buruk atau mana yang lebih baik?" tanyanya.

Abuya tersenyum. Dia seakan menjadi orang munafik yang mampu menasihati orang lain, padahal dia sendiri masih fakir dalam ketaatan. Pria sepuh itu tersenyum.

"Yang lebih buruk adalah kita, orang ketiga yang sibuk menilai orang lain, tapi lalai dalam menilai diri sendiri."

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KUPU KUPU SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang