06. Sepertiga Malam

936 196 41
                                    

KUPU KUPU SURGA• • •06

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KUPU KUPU SURGA
• • •
06

I S L A M berdiri di depan sebuah kamar. Dia ketuk pintu yang terbuat dari kayu itu. Namun, hanya suara jemari beradu dengan pintu yang menggema di seisi rumah.

"Merisa," panggilnya.

Islam tak mengerti kenapa Merisa terus mengurung dirinya setelah bertemu dengan Umi dan Abuya. Sejak tadi sore, perempuan itu masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Entah apa yang Merisa lakukan di dalam sana. Sekarang, sudah dini hari dan Merisa masih tak kunjung membuka pintu itu.

"Merisa ... saya mau ke pesantren dulu. Kalau lapar, ada nasi sama ayam goreng di meja makan. Kalau mau shalat, saya sudah simpan mukena di mushola. Assalamu'alaikum."

Yakin salamnya tidak akan mendapat balasan, Islam segera melangkah ke luar rumah. Dia tutup pintu rumah kecil nan sederhana itu sebelum akhirnya kembali melangkah ke kawasan pesantren yang hanya tersekat oleh pagar besi dan beton yang cukup tinggi.

Sambil membenarkan ikatan sarung abu-abu yang melingkar di pinggangnya, Islam terus menyusuri pinggiran lapangan pesantren. Wajahnya yang masih basah karena air wudhu terlihat segar dan bercahaya di tengah dinginnya semilir angin pagi. Islam terseyum saat melihat para santri yang berlarian menuju masjid. Dulu, Islam kecil juga seperti itu, lari terbirit dari kamar saat Abuya datang dengan segayung air dingin.

"Islam, ayo shalat! Allah udah nunggu kita!" Begitu ucapan Abuya saat mengajak Islam untuk shalat malam.

Islam masih ingat dengan kata-kata Abuya kala itu. Beliau pernah berkata, "Dalam satu riwayat disebutkan bahwa, saat malam tersisa sepertiga terakhir, Allah turun ke langit dunia lalu berfirman, siapa yang berdo'a kepada-Ku, lalu Aku kabulkan doanya? Siapa yang minta kepada-Ku, lalu Aku kabulkan permintaannya? Siapa yang minta ampunan kepada-Ku, lalu Aku ampuni dia?"

Saat itu Islam bertanya, "Kenapa harus sepertiga terakhir, Abi. Islam masih ngantuk. Kenapa Allah gak turun siang hari saat semua orang juga bangun?"

"Karena, saat itu cinta kita diuji. Allah ingin tahu hamba mana yang mencintai-Nya hingga rela meninggalkan kenyamanan tidur dan selimut hangat. Kamu tahu gak Islam, Allah itu selalu menunggu hamba-Nya setiap malam, Dia selalu menanti sujud kita. Tapi, terkadang kita malah memilih untuk tidur. Iya, 'kan? Kamu juga susah kalau dibangunin. Abi harus bawa gayung dulu, baru kamu bangun."

"Soalnya ngantuk, Abi. Mana air wudhu juga dingin." Islam kecil terus menimpli ucapan Abuya kala itu. Meski sambil menahan kantuk, Islam kecil tetap mendengarkan ucapan Abuya.

"Coba gini, deh. Misalnya, Islam nunggu Arash main ke rumah. Islam tunggu terus ... tapi Arash gak datang-datang. Islam kesel, gak?"

"Kesel atuh, Abi. Islam marah, karena Islam udah nunggu."

"Tapi, Allah gak pernah marah, Islam. Dia selalu menunggu hamba-Nya, meski mereka gak datang. Makanya, kita temui Allah sekarang, supaya Allah tahu masih ada hamba-Nya mau bertemu."

Didikan Abuya di pesantren terkadang keras dan tegas, tapi selalu disembuhkan oleh penjelasan yang lembut penuh pengertian. Sekarang, Islam cukup mengerti. Syahdunya bersujud di bawah langit saat semua orang tertidur menjadi kerindukan yang tak bisa Islam lewatkan.

Berjalan sambil mengingat perkataan Abuya, Islam tak menyadari langkah kakinya sudah sampai di area kobong santriat. Untuk pergi ke masjid, memang mengharuskan melewati pondok di samping kobong. Bangunan kecil itu sengaja dibangun untuk santriat yang tengah dalam masa haid. Namun, bukan hal itu yang menganggu pikira Islam sekarang. Sayup-sayup, dia mendengar isak tangis seseorang. Dari suaranya, seorang perempuan.

Islam berjalan mendekati pondok itu, pintunya terbuka dan memperlihatkan Hulya yang tengah menangis bersama Umi di hadapannya.

"Itulah, Hulya. Jangan melakukan sesuatu demi manusia. Karena, manusia adalah tempatnya kekecewaan," ucap Umi. Dia usap punggung Hulya yang bergetar karena tangisannya.

"Kamu ngajar di pesantren ini karena Islam. Setelah Islam memilih menikah, kamu mau berhenti, begitu?" tanya Umi.

Hulya mengangkat kepalanya, air matanya masih bercucuran membahasi mukena putih yang masih menutup seluruh auratnya. "Bukan begitu ... Umi," ucapnya begitu parau.

"Terus kenapa? Kenapa kamu mau pulang?"

"Aku gak bisa, Umi. Aku gak bisa melihat Islam bersama perempuan lain ... hatiku sakit. Aku coba untuk menahannya, tapi gak bisa."

Terdengar helaan samar dari bibir Umi. Perempuan sepuh itu menundukkan kepalanya. Dia genggam tangan Hulya. Jika Umi bisa menentang hati Islam, dia ingin perempuan seperti Hulya yang menemani Islam. Tak hanya cantik, ilmu agama dan sopan santunnya sangat Umi kagumi. Bahkan, Umi mengenal baik orang tua Hulya.

"Islam punya alasan, Hulya. Dia punya tujuan kenapa dia menikahi Merisa. Tujuannya sangat baik dan kita gak boleh menghalangi niat baiknya."

Hulya kembali tersedu. Dia meremat mukenanya sendiri hingga kusut. "Aku berusaha memperbaiki diri aku ...." Hulya terisak. Dia mengigit bibirnya sendiri dengan rasa sesak di dadanya. "Aku bahagia saat mendengar kabar Islam pulang dari Kairo. Setiap malam aku meminta pada Allah agar Islam mau memberikan hatinya untukku. Tapi, kenapa begini ... apa do'aku gak ada gunanya?"

Dari kejauhan Islam hanya mendengarkan bagaimana dua perempuan beda usia itu mengadu satu sama lain. Islam tertegun. Dia memang mengenal Hulya, murid kesayangan Umi. Sebelum Islam belajar ke negeri seberang, saat itu Hulya masih menjadi santiat yang sangat rajin. Bahkan, Abuya selalu membandingkan ketekunan belajar Islam dengan Hulya.

"Islam tengok tuh Hulya, dia udah hapal 3 juz." begitu kata Abuya.

Saat Islam pulang, Islam tak pernah mengira Hulya akan menjadi seorang Ustadzah di pesantren. Gadis kecil yang penuh ambisi itu, tumbuh dengan baik menjadi perempuan cantik berpendidikan yang penuh kelembutan dan sopan santun.

Sambil mencari ketenangan hati, Islam mulai melangkah masuk ke dalam pondok kecil itu. "Assalamu'alaikum," ucapnya.

Di sana, Hulya dan Umi sempat terkejut. Mereka memandang Islam dengan hening hingga keduanya lupa untuk membalas salam dari Islam.

"Hulya, Allah itu Maha Membolak-balikan hati dan tak ada do'a yang sia-sia." Islam berdeham kecil sambil melirik Umi sekilas. Dia lantas duduk bersila di samping Umi.

"Kadang kita yang salah dalam berdo'a. Abi pernah bilang, semua do'a itu pasti baik, tapi kita yang lupa berdo'a dengan cara yang baik juga."

Hulya menundukkan kepalanya. Mungkin, cara Hulya berdo'a memang salah. Namun, hati Hulya tak pernah bisa berbohong.

"Do'a itu sama seperti saat kita haus, Hulya. Saat kamu haus, apa yang kamu minta? Air atau gelas?" tanya Islam.

Hulya hanya bergeming. Dia terus meremat mukenanya sendiri.

"Kalau kamu minta gelas, kemungkinan kamu hanya dapat gelas aja, sedangkan rasa haus itu belum terobati. Tapi, kamu coba minta air. Apa yang kamu dapat?" Islam kembali bertanya. Sesekali, dia melirik Umi yang juga ikut bergeming. "Segelas air. Air juga gelas, betul 'kan? Seperti itu cara kita berdo'a. Kalau meminta hati seseorang, pinta dulu keridhoan dari Sang Pemilik hati itu. Bukan hanya hati manusia yang akan kamu miliki, tapi juga keridhoan Allah."

Riuh santriat yang keluar dari kamar mereka, akhirnya menukas keheningan yang terdengar dalam rungu mereka. Islam kembali beranjak dari duduknya. Sekali lagi, dia menatap pucuk kepala Hulya yang masih tertunduk sempurna karena tangisannya.

"Hulya, bukan saya mau menggurui atau menampik perasaan kamu, tapi hati kita memang di luar kendali kita. Apa pun yang kita miliki ... semuanya milik Allah, termasuk hati kita berdua. Assalamu'alaikum."

B e r s a m b u n g . . .

KUPU KUPU SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang