14. Mimbar Kejujuran

544 112 26
                                    

KUPU KUPU SURGA• • •13

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KUPU KUPU SURGA
• • •
13

M I M B A R majelis menjadi tempat untuk Merisa berdiri saat ini. Perempuan berjilbab hitam itu menatap setiap orang dengan tubuh dan hati yang bergetar. Setiap pasang mata benar-benar teruju untuknya. Setiap bisikan dan terkaan keji sayup-sayup terdengar hingga ke telinganya.

Perlahan, Merisa melirik Umi yang duduk di antara para jamaah. Tatapan perempuan sepuh itu mampu menggetarkan hati Merisa yang kalut oleh rasa ragu dan takut.

Bersama tangan yang kian bergetar, Merisa memegang sebuah mikrofon. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu," ucapnya.

Bukannya sebuah balasan, keheningan dalam majelis seakan menyapu setiap santun dan tatakrama orang-orang. Merisa menutup matanya sebentar sambil menghirup udaranya begitu dalam. Bayangan wajah Islam kembali meyakinkannya untuk tidak mundur. "Nama saya Merisa," ucapnya lagi.

Di tempat lain, Islam masih tak mengerti dengan kedatangan seorang santriat yang membawa amanah dari Umi. Bahkan, Islam masih tak mengerti kenapa Merisa pergi ke rumah Umi. Berbagai macam asumsi hinggap di kepala Islam. Mulai dari keadaan Merisa, hingga apa yang terjadi di dalam majelis saat ini.

Jarak antara masjid pesantren dan majelis perempuan memang tidak dekat, bahkan dua bangunan itu terhalang beberapa kelas dan kobong santriat. Ditambah hari ini bertepatan dengan jadwal kajian pengajian ibu-ibu. Makanya, setelah salat subuh, Islam tak tahu apa yang terjadi di dalam majelis.

"Udah, samperin dulu, Gus." Arash ikut berseru.

Islam mengangguk. Setelah mengunci kembali pintu rumahnya dengan rapat, kini, Islam kembali ke area pesantren bersama Arash dan seorang santriat yang mengekori dari belakang.

Matahari belum sepenuhnya muncul tapi lembayung fajar sudah mulai menghilang dan digantikan dengan langit yang membiru. Suasana pagi di pesantren tak jauh berbeda seperti tadi. Saat para santriat dan ustadzah kajian di dalam majelis, santri laki-laki yang dipimpin Abuya juga tengah serius membahas kitab Bahjatul Wasail karya Syekh Nawawi Al Batani. Harusnya, Islam mempimpin kajian kitab yang berisi Usuluddin, Fiqh dan Tasawuf itu. Menjelang Ramadhan, kajian tasawuf dari kitab itu memang rutin dipelajari kembali demi pemeliharaan hati dan anggota tubuh untuk menyambut bulan suci yang penuh rahmat.

"Gus, ana mau ke masjid dulu. Nanti, kita ngobrol lagi."

Ucapan Arash membuat Islam menghentikan langkahnya sejenak. Dia menatap kakak sepupunya itu.

"Ana lupa, tadi ditunggu Abuya. Nanti, ana mampir lagi ke rumah antum, Gus," sambung Arash.

"Oh, iya. Silakan," sahut Islam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah Arash pergi, Islam malirik santriat yang masih menunggunya di belakang sambil menundukkan kepala. Seingat Islam, gadis itu bernama Ulul, santriat yang pernah Islam tanya saat Merisa ketahuan hamil. Beberapa hari yang lalu, Islam juga sempat melihat Merisa menghabiskan waktu bersama Ulul di samping pagar pesantren.

"Ulul," panggil Islam.

Ulul hanya menatap Islam sekilas sebelum akhirnya kembali menundukkan kepalanya dengan canggung bercampur segan.

"Kalian sering ngobrol?" tanya Islam.

Kali ini, tatapan Ulul dipenuhi oleh pertanyaan di benaknya. Kalian siapa yang Gus Islam maksud? batinnya bertanya.

"Antum dan istri ana," jawab Islam.

Ulul mengangguk ragu. Dia memilin ujung jilbabnya dengan gelisah. "Ana gak tahu ini boleh disampaikan atau tidak. Kak Merisa minta jangan bilang sama siapa-siapa," cicitnya pelan.

"Ana suaminya, Ulul," sahut Islam dengan cepat.

Ulul malah celingak-celinguk. Dia menatap sekeliling pesantren, memastikan tidak ada orang yang melihat atau mendengar ucapannya. "K-kak Merisa pinjam beberapa kitab. Katanya, dia mau belajar lagi. Dia takut untuk masuk pesantren. Dia juga malu kalau bertanya langsung sama Umi atau ustadzah di sini."

Kenapa harus takut? Kenapa harus malu, Merisa, batinnya Islam bergumam.

"Ternyata, Kak Merisa suaranya bagus. Ana sempat dengar dia ngaji. Langgam yang dia gunakan sangat cantik, lembut dan sedih. Saat ana tanya, katanya Kak Merisa mengabungkan irama Bayyati dan Nahawand." Ulul berdiam sejenak. Dia kembali mengingat saat Merisa minta bantuan untuk kembali membaca dan menghapal Alquran. "Afwan, Gus. Kenapa Kak Merisa gak ngajar ngaji juga di pesantren. Ana mau belajar langgam Alquran seperti itu."

Islam tersenyum kecil. "Semoga Allah memberikan jalan untuk kita semua," ucapnya.

Dua orang itu kembali menyusuri area pesantren menuju majelis perempuan. Di luar gedung majelis, sendal para jamaah sudah berjejer. Beberapa santriat tengah sibuk merapikan setiap pasang alas kaki itu. Mereka menyusun dan merapikannya dengan begitu telaten. Tiba-tiba, gadis-gadis itu tersentak kaget saat melihat kedatangan Islam dan Ulul.

"Assalamualaikum," tutur Islam. Dia berjalan ke pelataran majelis.

Islam tak mengerti kenapa di dalam majelis begitu hening. Hingga akhirnya, pandangan Islam berakhir pada figur Merisa yang berdiri di depan mimbar. Bahkan dari kejauhan sekalipun, Islam bisa melihat ketakutan Merisa saat ini. Perempuan itu tertunduk, menyembunyikan wajahnya dengan sempurna.

Di samping mimbar, Umi dan Hulya juga ada di sana. Mereka tak jauh berbeda seperti Merisa, tertunduk sempurma. Entah karena takut atau karena malu. Islam makin tak mengerti apa yang terjadi dengan Merisa, Umi dan para jamaah yang masih bergeming.

"Demi Allah ...."

Suara Merisa terdengar bergetar seakan menahan tangisannya. Dia berucap, " Demi Allah, Gus Islam tak pernah menyentuh saya. Demi Allah, berita yang kalian dengar tentang Gus Islam hanyalah fitnah. Hari itu ...."

Merisa menceritakan segalanya dengan tangisan yang tak surut dari kedua manik sayu penuh kepasrahan. Perempuan itu membuka seluruh aibnya di depan para jamaah demi mengembalikan kehormatan Islam. Tak sedikit wajah terkejut di sana. Tak kurang pulang bisikan yang terdengar.

"Seorang istri adalah pakaian untuk suaminya. Gus Islam memang menikahi saya demi menjaga kehormatan saya sebagai seorang perempuan, tapi saya bahkan tidak mampu menjadi pakaian yang patut untuknya. Saya malah merusak kehormatannya." Merisa terlihat mengusap wajahnya, menghapus setiap bulir air mata yang tak henti berjatuhan sejak tadi. Isakannya semakin terdengar dari mikrofon itu. "Tolong ... jangan hakimi beliau karena kesalahan saya."

Islam ikut menangis. Dia tak kuasa mendengar ucapan Merisa.

"Percis seperti namanya, Islam. Gus Islam penuh dengan kasih sayang dan kedamaian. Dia yang mengulurkan tangannya saat saya tersesat sendirian. Dia yang tetap mengetuk pintu kamar saya meski hanya hinaan dari perempuan hina seperti saya yang dia terima. Dia juga yang tetap menerima kehadiran saya dan janin yang bahkan tak sudi saya miliki. Dia--"

Ucapan Merisa terpotong begitu saja saat pandangannya berlabuh pada figur Islam yang masih berdiri di ambang pintu majelis. Tubuh Merisa makin bergetar ketakutan. Bibirnya seakan kelu. Setiap kata yang ingin dia sampaikan hilang begitu saja. Jantungnya bergetar tak karuan. Pening dan sesak. Tubuh Merisa melemah.

"Dia Islam ...."

Tak kuasa menobang tubuhnya, Merisa tumbang. Perempuan itu terjatuh tak sadarkan diri.

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KUPU KUPU SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang