12. Doa dan Ketakutan

545 106 31
                                    

KUPU KUPU SURGA• • •12

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KUPU KUPU SURGA
• • •
12

M A N U S I A kadang harus bersyukur karena telah melakukan kesalahan. Setiap penyesalan, setiap keputusasaan akan membawa mereka pada sebuah pelajaran berharga. Merisa takkan pernah tahu hidup seperti apa yang akan dia jalani tanpa penyesalan, kisah seperti apa yang akan dia tuliskan tanpa keputusasaan.

Di ujung jurang yang dalam, di mana Merisa tak mampu untuk melangkah lagi, di mana dia tak kuasa untuk berbalik dan menyusuri jalan yang hina lagi, Islam mengulurkan tangannya.

Pria itu berkata, "Aku mau, Merisa. Aku mau menjadi ayah dari anak itu."

Merisa menunduk. Dia tengah menangisi dirinya yang begitu hina. Dengan hati yang telah kotor oleh dendam dan kekufuran, Merisa masih mendambakan surga-Nya.

"Merisa ... Rasulullah, pernah bersabda, 'Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya yang akan membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi.' Artinya, siapa pun ayahnya dan bagaimanapun cara kamu mendapatkan bayi itu, kita yang harus membimbingnya. Baik dan buruk, tergantung pada kita."

"Aku malu," Merisa bergumam di sela tangisannya. "Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku menyebut Asma Allah."

"Aku temani. Aku temani kamu untuk kembali menyebut Asma Allah. Kita belajar sama-sama. Kita perbaiki segalanya dengan ridho Allah." Islam meraih tangan Merisa. Hangat genggamannya berpadu dengan genggam pilu nan bergetar milik Merisa. "Insya Allah ... Aku yang bimbing."

Merisa mengangguk.

Ternyata, jalannya belum berakhir. Merisa bersyukur karena Allah masih menyayanginya. Merisa bersyukur karena Allah masih memberikan pertolongan-Nya. Dan Merisa bersyukur, pertolongan dan kasih sayang Allah datang melalui Islam, Gus Islam dan segala kelembutan hatinya.

"Mau makan dulu atau shalat dulu?" tanya Islam.

"Aku gak lapar."

Islam melirik jam dinding yang menggantung di depan mereka. "Ya, udah. Kita salat dulu. Mumpung masih ada waktu untuk Isya."

Keduanya beranjak. Merisa mengekori Islam ke area dapur. Di sana, ada tempat wudhu kecil samping kamar mandi.

Gemercik air yang keluar dari keran mulai menghiasi pendengaran mereka. Tiba-tiba, Merisa melirik Islam yang menunggu di samping pintu kamar mandi.

"Kenapa?" tanya Islam.

"Gus ... aku lupa bacaan wudhunya."

Islam tersenyum hingga matanya ikut menyipit. "Aku tuntun pelan-pelan," tuturnya lembut.

Saat Merisa mulai membasuh telapak tangannya, Islam bantu membacakan doa. "Allahumma ihfadh yadi min ma'âshîka kullahaa. Ya Allah, jagalah kedua tanganku dari semua perbuatan maksiat."

Setiap doa yang dilantunkan semakin menyayat hati Merisa saat Islam juga membacakan artinya.

"Allâhumma ij'alhu sa'yan masykûran wa dzamban maghfûran wa 'amalan mutaqabbalan. Allâhumma tsabbit qadami 'ala shirâthi yauma tazila fîhi al-aqdâ. Ya Allah, jadikanlah langkahku sebagai usaha yang disyukuri, sebagai penyebab terampuninya dosa dan sebagai amal yang diterima. Ya Allah, teguhkanla telapak kakiku saat melintasi jembatan shirathal mustaqim kelak di hari ketika banyak telapak kaki yang tergelincir," ucap Islam saat Merisa membasuh kaki kanannya.

Hawa dingin dini hari kala itu mulai dihiasi dinginnya air wudhu yang membasuh tubuh Merisa. Setiap air yang mengalir seakan menyapu bersih setiap arang yang patah dalam hatinya.

Mereka beralih ke mushola kecil di tengah rumah. Di sana, terbentang sajadah yang sudah menghadap kiblat.

Islam memberikan mukena putih lengkap dengan tasbih dan Al-Qur'an putih yang begitu cantik. Setiap manik yang terusun itu bagaikan butiran cinta yang Merisa rindukan. Setiap lembar yang ditutup indahnya ukiran dalam jilidnya, seakan menjadi lukisan harapan yang Merisa dambakan.

"Gus udah salat?" tanya Merisa.

Islam mengangguk. "Alhamdulillah. Nanti aku shalat sunnah aja. Oh, ya ... kamu masih ingat gak bacaan shalatnya?" tanyanya.

Sambil menerima mukena itu, Merisa mengangguk ragu. "Kayaknya sih, masih ... tapi aku lupa bacaan rukuk."

Islam kembali tersenyum. "Merisa, hanya ada lima bacaan salat yang wajid dibaca. Pertama, takbiratul ihram dan dilanjutkan dengan niat, lalu surat Al-Fatihah, tasyahud akhir, shalawat dan terakhir salam. Kalau kamu lupa atau gak bisa bacaan rukuk, nggak dibaca pun salat kita tetap sah. Diganti dengan dzikir juga enggak apa-apa."

Sambil memeluk mukena di depan dadanya, Merisa mendengarkan ucapan begitu serius. Islam persis seperti namanya, Islam, begitu damai dan menenangkan. Setiap kata yang terucap dari bibirnya terlampau indah dan menyejukkan hati yang mendengar.

"Allah itu tidak pernah memberatkan hamba-Nya. Yang salah itu, jika perkara bacaan shalat menjadi alasan kita meninggalkan shalat. Kalau gak bisa,'kan bisa belajar pelan-pelan. Kalau lupa, nanti kita hapal lagi setiap bacaan salat bareng-bareng."

Merisa hanya mengangguk. Dia pakai mukena itu hingga menutupi seluruh tubuhnya. Setiap auratnya tertutup sempurna oleh indahnya balutan kain sutra putih yang dihiasi bordir bunga yang memenuhi sekelilingnya. Harumnya mirip parfum selalu dipakai Islam, aroma bunga yang lembut.

"Rambutnya masih kelihatan, tuh." Islam menunjuk kening Merisa. Di sana ada beberapa helai rambut yang keluar tanpa sengaja.

Merisa segera menyembunyikan rambutnya di balik mukena. Dia tatap wajah Islam yang kian berseri karena air wudhu yang belum kering dari wajahnya.

"Aku bantu ikatkan talinya." Islam berjalan ke belakang Merisa. Dia membantu Merisa mengikat tali mukena di belakang kepalanya.

Merisa salah tingkah. Kenapa Islam bisa seindah ini. Pria itu benar-benar menyentuh hati Merita.

Awalnya, Merisa selalu percaya bahwa tidak ada manusia yang benar-benar baik di dunia ini. Hanya keserakahan dan kenikmatan dunia yang mereka dambakan. Ternyata, Allah masih menyisakan manusia dengan hati seindah hati Islam.

Islam yang rela menghancurkan harga dirinya demi harga diri Merisa. Islam yang meninggalkan hidupnya demi memperbaiki hidup Merisa. Dan Islam pula yang rela bertanggung jawab pada janin yang bahkan tak sudi Merisa miliki.

Waktu pun bergulir pelan. Merisa mulai menunaikan setiap rukun salat. Dia lupa kapan terakhir kali bersujud, membisikkan setiap harapannya pada bumi dan terdengar hingga langit.

Kini, setiap untaian dzikir dia gumamkan dengan hati yang berserah di hadapan-Nya. Dia tak meminta kebahagiaan, dia tak meminta keadilan, dia juga tak meminta balasan akan dendam.

Merisa hanya ingin yang terbaik untuk Islam.

Biarlah Merisa yang menanggung semua kesalahannya sendiri. Biarlah Merisa menuai apa yang telah dia tanam. Namun, biarkan Islam mendapat kehidupannya kembali. Biarkan Islam mendapat kehormatannya kembali.

Seorang Gus Islam yang diseret keji karena menggauli seorang pelacur, fitnah keji itu ingin Merisa luruskan. Biarkan pelacur itu sendiri yang menjelaskan semuanya pada orang-orang.

Di tempat yang sama, Islam memandangi punggung Merisa. Tangisan di sela doa Merisa terdengar hingga rungu Islam.

Islam mungkin tak seindah yang Merisa harapkan, banyak sekali ketakutan yang menghantui Islam. Tak sedikit pula harapan yang Islam gantungkan. Namun, dia tak mau meninggalkan Merisa sendirian. Merisa hanya lupa dan Islam yang harus mengingatkan.

𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰 . . .

KUPU KUPU SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang