One

861 66 0
                                    

TOLONG VOTE DAN KOMEN,
TERIMAKASIH.

Kejino:
|Ra, gue suka sama lo.

Hah? |
Maksudnya? |

Kejino:
|Gue suka sama lo.

...|
Lo, kan, pacaran sama sahabat gue? |


Kejino:
|Tapi, gue sukanya sama lo.

"Gila! Pa maksud ni bocah?" Aku terkejut usai menerima pesan dari Jino a.k.a kekasih dari sahabatku, Clara.

Mereka berdua memang baru menjalin hubungan selama satu bulan. Masih sangat baru. Tapi, kenapa gerangan Jino berkata seperti itu padaku?

Apa dia bercanda?

Kejino:
|Seranata Anastasha?
|Kenapa di read doang?

"Apaan sih?"

Seranata Anastasha adalah nama lengkapku. Anehnya, kenapa seorang Kejino mengetahui itu?

Oke. Bagiku, Jino atau Kejino adalah orang asing yang bahkan berbeda kelas denganku.

Yang kutahu, Kejino Varela Gionino itu adalah salah satu murid paling pintar di sekolah. Sering mendapat juara umum dan seorang ketua basket.

Kenapa aku tahu namanya dengan lengkap? Ya, karena nama itu yang sering disebutkan saat pengumuman pemenang lomba dan juga sering diperbincangkan oleh mulut satu sekolahan.

Bisa kalian bayangkan, betapa populernya dia?

Belum lagi, wajahnya juga tampan, banget malah. Tentu saja type-type cowok seperti Jino adalah idola di sekolah. Terutama untuk para wanita.

Tapi, kepribadian Jino dikenal agak dingin. Apalagi kepada orang yang tidak dikenalnya. Jino mungkin adalah orang yang tidak perduli dengan sekitar. Dia juga sering mengacuhkan gadis-gadis cantik yang selalu berusaha mendekatinya.

Lalu, untuk apa Jino menyukai orang asing sepertiku? Aneh bukan? Bahkan dia mengetahui nama lengkapku.

"Kayaknya dia bercandain gue, deh." Aku berjalan menuju ranjang, lantas merebahkan diri di atasnya.

"Bodo amat, dah," serahku tak perduli. Kumatikan ponselku, menyimpannya di atas nakas. Lalu, kupejamkan mata.

Drrrt...

Mataku terbuka lagi secara malas seiring dengan bunyi getaran ponsel yang bising.

"Siapa sih, malem-malem gini!" Aku menggerutu.

Ini adalah waktu istirahatku. Namun, agaknya, seseorang ingin menghancurkan waktu berhargaku ini.

Kuraih ponsel dengan wajah tak iklas, kemudian mengangkat panggilan tanpa melihat nama kontaknya.

"Halo?"

"Buka pintu lo!"

Assh... Telingaku meremang setelah diserang oleh teriakan yang melengking. Aku yakin, itu adalah suara Genta--tetanggaku sekaligus teman akrabku.

"Gamao!"

"Cepetan Maemunah! Gue kedinginan! Martabaknya keburu dingin nih!"

"Martabak?" Aku terheran. Tumben sekali Genta membelikanku martabak. Kesambet apa ni anak?

"Iya. Cepetan buka dulu! Kalau gamao sih, gapapa. Gue aja yang makan."

Tanpa pikir lama, segeralah aku turun dari ranjang. Berlari keluar kamar menuju pintu utama rumah tanpa mematikan sambungan telponku dengan Genta.

"Genta?" kagetku karena Genta benar-benar ada di depan teras rumah.

"Ngapain?"

"Nganter paket!" jawab Genta dengan nada sewot.

Genta hanya memakai piyama tidurnya yang tipis. Pantas saja dia bilang kedinginan. Tak mau membuat Genta tambah kesal, aku segera menghampirinya.

"Buat siapa?" tanyaku dengan alis tertaut bingung.

"Pembokat lo!"

Hah?

"Ya buat lo lah, Sumiyati!" Genta membentakku, matanya melotot emosi. Bukannya tersinggung, aku malah terbahak kencang. Genta memang seperti ini padaku, suka nge-gas dan gak sabaran. Tapi dia lucu, dan aku selalu terhibur.

Aku menghentikan tawaku sebab melihat tatapan jutek milik Genta. "Dari lo? Makasih, ya." Akupun meraih kardus makanan yang kuduga isinya adalah martabak manis, kesukaanku.

"Bukan dari gue. Ogah banget gue buang-buang duit buat lo," celetuk Genta. Aku mendelik sebal.

"Terus dari siapa?"

"Jino."

"JINO?" Mulutku terbuka lebar, sama halnya dengan kedua bola mataku yang terbelalak.

"Ngapain?!" geramku, frustasi. Bukannya apa-apa. Tapi, Jino itu pacarnya sahabatku.

Bagaimana jika Clara tahu?

"Elah. Terima aja kali. Rezeki tuh," tanggap Genta santai. Dia tak tahu saja jika perasaanku mulai cemas sekarang.

"Bukan gitu. Tapi, ngapain ngasih gue?"

"Meneketehek!" Genta menggedikkan bahu tak acuh, "dia dateng ke home gue, terus nyuruh gue buat ngirimin ini ke house you."

Penjelasan Genta membuatku semakin tak mengerti. Maksudku, aku tak mengerti dengan pola pikir Jino. Ada apa dengannya? Padahal hari-hari sebelumnya tidak begini.

"Gamao deh, kalau dari dia." Kukembalikan kotak martabak itu pada Genta. Tapi Genta langsung menolaknya.

"Genta! Buat lo aja!" paksaku. Dan, Genta tetap tidak mau mengambilnya lagi.

"Jangan gitu lo. Kasian si Jino udah jauh-jauh kesini. Lo thinking dia gak bakal sakit hati?" Genta malah menceramahiku.

Hm. For your information, Genta dan Jino itu satu tongkrongan. Geng orang-orang kaya dan popular. Jadi, jangan heran jika Genta lebih membela Jino dari pada diriku yang butiran debu ini.

"Ya udah gue ambil. Tapi lo jangan ngasih tahu Jino kalau gue nerima martabaknya. Bilang aja lo yang makan, ya? Please..." mohonku memelas. Aku tidak mau Jino semakin aneh lagi setelah mengetahui jika aku sudah menerima pemberiannya ini.

Aku tak mau terlibat perselisihan dengan sahabatku sendiri.

"Alah, percuma. Jino udah liat kali," ujar Genta.

Aku membulatkan mata. "Maksud lo?!"

Genta mendesah berat sebelum menunjuk kearah pagar rumahku. "Itu orangnya," ungkapnya.

Dan, mataku semakin melotot lebar saat melihat penampakan Jino---tengah duduk santai di atas motor sport nya sambil memandangiku dengan wajah datar khas miliknya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A CHOICE | Han Yujin ZB1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang