Seven

280 45 7
                                    

Selama ini, selama aku bersama dengan keempat sahabatku, tak pernah ada sedikitpun salah paham diantara kami. Mungkin kalau berdebat pernah, tapi tidak sampai membenci satu sama lain. Dan kini, aku mengalaminya. Aku juga penyebabnya. Setelah kejadian di toilet, Clara benar-benar memusuhiku. Dia enggan berinteraksi denganku dan selalu memalingkan wajahnya.

Berkali-kali aku membujuknya, namun dia malah semakin marah. Akhirnya aku pasrah karena percuma menjelaskan kebenaran pada seseorang yang tengah dibalut emosi. Yah, aku sudah tahu akan begini jadinya jika Clara mengetahui tentang aku dan Kejino. Seharusnya aku tidak meladeni Kejino. Harusnya ku acuhkan saja dia. Harusnya...

Tin tin!

Aku tersentak, lantas menoleh ke samping, tepatnya pada orang yang mengendarai motor sport warna merah. Orang itu membuka kaca helmnya. Aku berdecak malas, dia Kejino.

"Balik bareng gue."

Kejino menahan tanganku yang hendak pergi. "Gak." Aku menepisnya langsung.

"Genta kecelakaan."

Kalimat itu berhasil membuat sekujur tubuhku membeku. Mataku terbelalak lebar. "Kapan?!"

"Barusan gue dikasih tahu. Genta mau ketemu sama lo."

"Yaudah ayo!"

Saat itu aku tak berpikir lama untuk naik ke motor Kejino dan pergi menuju rumah sakit tempat Genta dirawat. Sumpah, aku sangat cemas. Genta adalah satu-satunya laki-laki yang dekat denganku. Dia juga tetanggaku yang sangat baik. Tentu saja aku khawatir jika dia kenapa-napa.

Kami sampai di Rumah sakit. Aku dan Jino bergegas menuju meja resepsionis guna menanyakan dimana Genta dirawat. Setelah mengetahui letak kamar Genta, buru-buru kami mendatanginya. Di sepanjang jalan Kejino terus menggenggam tanganku. Aku tidak sempat memprotesnya sebab pikiranku terus tertuju pada Genta.

"Genta!" pekikku usai tiba di ruang rawat Genta.

Genta terlihat berbaring sendirian dengan kondisi kepala yang di bebat dan kaki kanannya yang juga dipasangi gips.

"Lo gak papa?" tanyaku seraya menghampirinya, aku kelewat cemas.

Genta meringis pelan. Kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Kalau gue gak papa gak mungkin gue terdampar di sini, bodoh. Gimana sih lo?" cerocos Genta.

Aku memejamkan mataku sejenak, lalu menarik napas sebanyak-banyaknya. Dalam kondisi lemah seperti ini saja mulut Genta tetap saja menyebalkan.

"Gue khawatir, Ta. Bisa gak sekali aja jangan nyebelin dulu," timpalku yang tidak mood berdebat.

"Cieeee khawatir." Dia malah meledek.

"Ekhem." Kemudian terdengar suara Kejino yang awalnya hanya diam di sampingku.

Genta melirik Jino. Ku lihat dia cengengesan lantas mengacungkan jari peace. "Sorry, No. Becanda gue. Hehehe."

"Gimana ceritanya lo bisa kayak gini?" tanya Jino.

Genta menoleh ke atas, seperti mengingat-ngingat sesuatu. "Gue pulang sekolah, pake motor, ngebut, ada kucing lewat, gue rem, tapi tiba-tiba dari samping ada mobil muncul terus DUAARR! Meledak~."

Aku dan Jino saling pandang kebingungan sebentar. Apa benar kejadiannya seperti itu?

"Terus mobil yang nabrak lo?" tanyaku.

"Kabur."

Astaga. Aku dan Jino sama-sama mendesah berat. Untung saja Genta anak orang kaya, jadi dia tidak perlu ngotot meminta ganti rugi pada orang yang telah menabraknya. Namun tetap saja seharusnya orang itu bertanggungjawab. Atau setidaknya meminta maaf.

A CHOICE | Han Yujin ZB1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang