Four

344 50 1
                                    

"Lho, kok? Genta mana?" Aku calingak-calinguk ke kanan dan kiri, mencari keberadaan Genta. Namun tak berhasil menemukannya.

"Genta udah berangkat duluan." Sosok itu menjawab dengan gaya santainya.

Aku mendengus kesal. Bisa-bisanya Genta meninggalkanku dan menyisakan Jino di depan rumahku. Tapi tunggu, untuk apa Jino datang kesini?!

"Lo... Ada perlu apa kesini?" Aku bertanya sedatar mungkin.

Aneh sekali. Akhir-akhir ini, Jino selalu muncul dihadapanku tanpa terduga. Bikin aku kaget.

"Jemput lo."

Hei! Aku melebarkan mata. Terkejut dengan ucapan cowok datar di depanku ini.

"Ngapain jemput-jemput?!" kesalku sedikit membentak.

Jino hanya menggedikan bahu tak acuh. Kemudian memasukkan satu tangannya kedalam saku celana. Sementara tangannya yang lain sibuk memegangi tali ransel yang tergantung disebelah pundaknya.

"Gak usah jemput gue. Jemput aja pacar lo."

Aku hendak melangkahkan kaki untuk melewati tubuh jangkungnya. Namun tak kusangka, Jino langsung menarik tanganku hingga keseimbanganku hilang dan secara otomatis keningku menabrak dadanya.

Jantungku berpacu sangat cepat. Aku terkejut, bisa dilihat dari mataku yang melotot dan mulutku yang sedikit terbuka.

"Minggir!" Dengan cepat aku mendorong dada bidang Jino hingga kakinya mundur satu langkah dariku.

Kami terdiam. Aku sibuk menetralkan denyut jantungku dan Jino yang entah sedang apa. Aku tak bisa melihat raut wajahnya karena kepalaku tertunduk kebawah. Aku tidak memiliki keberanian untuk menatapnya sekarang. Pipiku terasa panas.

"Berangkat bareng gue kalau lo gak mau telat."

Suara berat milik Jino berhasil membuatku mendongak keatas, menatapnya dengan sedikit tak ramah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara berat milik Jino berhasil membuatku mendongak keatas, menatapnya dengan sedikit tak ramah. "Gue bisa pesen Ojol," tolakku tegas.

"Kelamaan," katanya.

Aku membisu ditempat. Memesan Ojol memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Kulihat arlojiku sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Yang artinya, bel masuk akan berbunyi sekitar tiga puluh menit lagi.

Aku meremat ujung rok SMA ku. Rasa takut dan gengsi bercampur didalam dada. Takut telat datang ke sekolah dan gengsi jika menerima ajakan Jino.

"Makin lama mikir, makin telat datang ke sekolah," celetuk Jino kembali.

"Yaudah iya!" Terpaksa, aku menerima ajakkannya.

A CHOICE | Han Yujin ZB1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang