Hari ini kegiatan kami adalah membersihkan rumah. Aku dan Yeonjun bersama-sama. Ya meskipun hampir seluruhnya aku yang mengerjakan karena Yeonjun yang tidak bisa melakukan banyak pekerjaan. Dia hanya bertugas membersihkan sofa dan mengelap meja. Karena Yeonjun yang seperti anak kecil tentu saja tidak bisa 100% mengerti pekerjaan rumah.
Dahulu rutinitasku dalam membersihkan rumah tidak begitu banyak. Karena Yeonjun yang membersihkan. Aku dahulu seperti tuan besar ku akui. Karena tugasku hanya makan, tidur, menyayangi Yeonjun sepenuh hati dan bekerja.
Aku sengaja meletakkan kegiatan menyayangi Yeonjun sebelum bekerja. Karena aku tidak bisa bekerja jika tidak menyayangi Yeonjun terlebih dahulu. Terdengar bucin, tapi memang itu yang seharusnya! Rutinitas wajibku adalah menyayangi Yeonjun. Jika rutinitas itu hilang, maka aku juga akan hilang.
Dia sebenarnya sangat manis. Dia juga baik dan sangat rajin dalam mengurusku. Hingga kejadian naas itu datang.
Yeonjun dan keluarganya saat itu sedang pergi berlibur tanpaku. Karena aku ingin Yeonjun quality time dengan keluarganya. Ku kira akan berjalan baik-baik saja. Hingga dimana saat aku sedang meregangkan ototku, aku mendapat sebuah telpon yang bagai petir di siang hari. Yeonjunku kecelakaan, dan kedua orang tuanya tak selamat. Kini kesayanganku sedang kritis.
Aku segera memacu tungkaiku menuju rumah sakit tempat kesayanganku dilarikan. Kalang kabut diriku saat itu. Tak tahu harus bagaimana hingga aku lupa bahwa aku belum ijin ke bos. Tak peduli saat itu, aku hanya mementingkan kesayanganku saja.
Hingga saat dimana aku melihat kesayanganku berdarah-darah. Yang sekarang sampai teringat olehku adalah ketika bibirnya mengucapkan namaku berkali-kali.
Disaat dia berdarah, aku memegang tangannya. Ku tuntun dia untuk bertahan. Aku menangis karenanya. Seluruh tubuhnya berdarah, hingga membuatku mual. Tapi ini kesayanganku yang terluka! Hingga rasa mual teralihkan begitu saja. Sejujurnya aku takut darah semenjak melihat Yeonjun berdarah-darah di depanku. Perasaan takut akan langsung datang ketika melihat darah. Mengingatkanku pada kejadian siang itu.
Semuanya sudah hancur. Impian dimana aku dan Yeonjun yang akan membangun rumah tangga selayaknya orang lain tidak bisa begitu mudah. Yeonjunku... Dia menjadi seperti anak kecil karena otaknya yang bermasalah akibat kecelakaan itu. Aku tak kuasa menahan tangis. Aku selalu menangis setiap malam. Saat itu Yeonjun tertidur terlalu lama, hingga ku rasa dia ingin menjadi malaikat bersama Ayah dan Bunda. Sampai dimana kekhwatiran ku hilang. Dia sadar, tapi bukan lagi Yeonjun yang dulu.
"Kau siapa?" Tanyanya dengan suara yang kecil. Hatiku sakit sekali. Dia lupa dengan namaku tapi dia ingat dengan muka dan perilakuku dahulu.
"Kamu lucu, namamu siapa? Aku sepertinya pernah melihatmu. Aku sepertinya menyukaimu, aku suka kamu hihi."
Ingatannya mungkin ada yang hilang, tapi cintanya padaku tetap abadi di memori.
Aku masih menangis. Ya Tuhan, jika diingat aku dulu sangat cengeng dalam menghadapi Yeonjun. Apapun yang dia lakukan, maka aku akan menangis. Bahkan ketika dia mengusap pipiku, aku akan menangis.
Aku... menangis karena merindukan tingkah dewasa Yeonjun. Yang bijak, mengayomi seperti layaknya seorang istri memberi nasihat suaminya, yang rajin memakaikanku dasi, yang rajin menyiapkan aku sarapan dan makan malam, yang rajin memijatku, yang rajin mengecup pipiku sebelum tidur. Aku hanya merindukan tingkahnya dahulu. Tapi bukan berarti aku tak menerima dirinya yang sekarang, hanya saja aku belum siap menghadapi Yeonjun yang baru. Aku butuh waktu untuk menerima semua itu. Segala tingkah kekanakan, omongan melanturnya, pikiran dangkalnya. Semuanya aku butuh waktu.
Aku sempat menangis sambil memeluknya, lalu dia hanya menatapku dari bawah dan bertanya dengan polos,
"Soobinie kenapa? Apa raksasa mata besar menggigitmu?"
Aku semakin terisak. Karena bukan kalimat penenang yang keluar seperti dulu, aku semakin rindu Yeonjun yang dulu.
Tapi semenjak kejadian itu, aku lebih menerima Yeonjun. Maksudku aku tidak sesering dulu dalam menangis. Mungkin hanya beberapa kali. Tak lama, aku move on dan berusaha mendekatkan diriku ke Yeonjun yang baru. Yeonjun baru cenderung memanggil dirinya 'Junie'. Sewaktu-waktu aku salah memanggilnya dengan panggilan lamanya, dan dia berteriak kepadaku bahwa namanya adalah Junie. Well, aku harus mulai terbiasa dengan yang ini.
Semakin hari hubungan kami semakin baik. Aku sudah mulai terbiasa dengan randomnya sikap Yeonjun. Aku pernah sesekali curhat dengannya.
"Junie, aku sangat lelah di kantor hari-hari ini. Aku rasa aku tidak disukai oleh salah satu teman kantorku. Aslinya aku tidak menghiraukannya, tapi itu cukup menganggu ketika aku beraktivitas di kantor. Bagaimana menurutmu? Apa yang harus ku lakukan?"
"Mungkin.. mungkin kau bisa memukulnya! Oh! Dan juga kau harus menjewer telinganya! Agar dia jera! Bagaimana jika membawa dia ke raksasa mata besar?"
"HAHAHAHA! Junie bagaimana aku bisa memukul orang tanpa sebab? Dan siapa raksasa mata besar?"
"Raksasa mata besar ada di buku dongeng yang aku baca kemarin! Dia sangat menakutkan, kau tahu? Bawa saja temanmu kesana hihi!"
Aku tersenyum, karena bercerita dengan Yeonjun sudah tak sama seperti dulu. Mungkin dulu dia akan memberiku nasihat dan menyemangatiku, tapi sekarang tidak. Dia akan memberikan saran yang unik.
"Baiklah rubah besar, saatnya kita tidur! Bersiaplah untuk menjadi pesawat terbang!"
Tanganku menggendong Yeonjun di depan. Lalu berlari kecil menuju kamar dan membaringkannya di ranjang.
"WHOAAA!! SOOBINIE PELAN! HAHAHA INI SERU!!!"
Yeonjun tertawa. Itu cukup mengobati hatiku yang lelah oleh dunia. Dia adalah healing terbaikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGEL [soobjun]
RomanceSoobin harus menjadi pendamping hidup seorang Choi Yeonjun. Ya bisa dibilang menjaga Yeonjun harus sedikit tenaga ekstra, karena... Yeonjun sedikit berbeda.