"Shani, sumpah ya kalo kamu ga lepasin sekarang, aku akan mati!" Anin sama senangnya melihat sahabatnya itu, tapi tercekik dalam pelukan Shani bukanlah cara dia membayangkan kematiannya sendiri.
Anin menjadi psikiater yang berpraktik diluar Jakarta. Keberadaannya di Bandung dan keberadaan Shani di Jakarta membuat mereka jarang memiliki kesempatan untuk bertemu. Tetapi mengingat situasi Shani baru-baru ini, Anin merasa perjalanan ini wajib.
"Jadi, cerita sama aku, gimana kabar kamu? Keadaan semua gimana? Oke?"
Lagi malam ini salah satu malam dingin berangin di Jakarta dan mereka sedang duduk di sebuah kafe kecil. Shani terlihat ceria seperti biasanya, tetapi Anin tahu seberapa baik temannya bisa berpura-pura.
"Ya, Nin. Aku baik-baik saja."
Namun Anin merasa Shani berusaha menghindari kontak mata dengannya. "Oke, kalau begitu, aku ga akan bertele-tele - apa rencana kamu untuk bayi ini dan Chika?"
"Right. Oke." Shani tahu Anin selalu berterus terang dengan teman-teman terdekatnya; dia hanya tidak menyangka interogasi akan dimulai pada pertanyaan kedua malam itu. "Aku sudah menemukan tempat yang dekat dengan tempat kerja dan juga rumah sakit, dan aku berencana untuk segera pindah. Dan Nin, aku tidak ada rencana yang berhubungan dengan Chika. Fakta kalau aku kembali ke dia untuk meminta bantuan sudah sesuatu yang ga bisa aku bayangin. Aku juga ga membenarkan perbuatan aku - dulu dan sekarang - dan aku bersyukur Chika udah jadi teman yang baik selama ini, dia udah melakukan cukup banyak hal untuk aku selama ini, dan inilah saatnya bagi aku untuk move on. Aku membuat pilihan ini sendiri dan aku berencana untuk bertanggungjawab sendiri."
Anin masih dalam proses menganalisis apa yang baru saja dikatakan Shani. "Oke… Jadi, apa kamu udah kasih tau Chika kalau kamu udah nemuin tempat tinggal baru? Karena dari apa yang dia bilang ke aku, dia tidak mengharapkan kamu untuk pergi dalam waktu dekat."
Shani menatap Anin, bingung. "Kalian berdua ngobrol?"
Anin mengangguk. "Soal Chika dan aku ngobrol bukan hal yang penting di sini; yang lebih penting adalah apa kamu dan dia udah bicarain hal ini?"
"I am going to tell her. Soon." Saat Shani menyeruput teh chamomile, dia berdoa agar Anin melupakan topik itu.
Mereka berdua duduk diam beberapa saat; Anin yang berbicara lebih dulu. "Oke, sekali lagi, aku akan to the point. Shan apa kamu bakal 'melarikan diri' lagi?."
Shani mati rasa. "Tapi ini bukan melarikan diri Nin; ini pergi ketika seharusnya aku ga pernah kembali."
"Oke, jadi ini tentang fakta bahwa kamu meninggalkannya 4 tahun yang lalu, bukan?" tanya Anin.
Shani menutup matanya; tidak ada yang berhasil lolos dari tajamnya Anin. Sepertinya dia juga tidak akan pergi malam ini. "Nin, please. Aku punya pekerjaan bagus yang gajinya bagus. Aku tahu ini tidak akan mudah tapi aku juga cewek tangguh. Aku bisa melakukan ini. Jadi bisa kita lupain itu?"
"Shan, Kamu menghancurkan hati Chika 4 tahun lalu, itu fakta."
"Ya, aku tahu dan bisa ngga kita move on? Please, Nin." Shani memohon.
"No, karena kamu perlu mendengarkan apa yang akan aku katakan - kamu akan mendengarkan karena tidak ada orang lain yang akan memberitahumu ini kecuali aku." Anin meninggikan suaranya. Dia menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan. "Shani Indira apa yang kamu lakukan menghancurkan hati Chika itu, tidak diragukan lagi. Tapi aku akan mengatakan ini bukan karena kamu adalah sahabatku, tetapi karena ini yang aku pikirkan." Anin tahu dia harus memunculkan luka lama, tapi itu perlu. "Ketika kita masih kuliah, Chika tahu bagaimana perasaanmu ke dia. Dia tahu kalian punya koneksi tapi dia memilih Fiony. Dia memilih Fiony karena dia pikir dia adalah pilihan yang aman. Dia terlalu takut untuk jujur tentang perasaannya ke kamu dan lebih memilih Fiony karena Chika pengecut."
"Anin, kamu ga bisa menyamakan apa yang dia lakukan saat itu dengan apa yang aku lakukan 4 tahun lalu. Saat itu kami tidak menjalin hubungan. Dia berhak memilih dengan siapa dia ingin bersama." Shani putus asa; dia benar-benar tidak ingin membahas ini lebih jauh.
"Tapi selama 4 tahun, kamu juga terluka. Itu masalahnya - siapa yang baik siapa yang jahat. Pada suatu waktu, kalian berdua terluka satu sama lain. Dan aku percaya tidak ada tindakan yang bisa dibenarkan dari kalian.
Tak satu pun dari kami mengatakan apa-apa; tidak saat Chika bersama Fiony, atau saat kamu putus dengannya. Itu bukan karena kami memihak, Shani, tapi karena kami tahu kalian berdua harus mencari jalan kalian sendiri." Anin berhenti. "Kalian berdua takut. Chika takut mengungkapkan ke kamu karena takut merusak hubungan kalian sebagai teman. Kamu takut ketika kamu tidak mengerti bagaimana sesuatu yang tidak kamu harapkan dalam hidup terasa begitu benar. Apakah kalian berdua membuat keputusan bodoh? Mungkin. Tapi satu-satunya hal yang bisa kulihat sebagai teman, adalah berpisah tidak membuat kalian berdua lebih bahagia."Shani terus menatap cangkir tehnya; karena dia akan gagal menahan air mata yang menumpuk di matanya dengan sedikit gerakan kepala.
"Beberapa orang berpikir hubungan yang baik berarti tidak ada yang saling menyakiti; itu bagus, tentu saja. But shit happen, they did. Apakah itu berarti hubungan yang dulunya hebat tidak akan berhasil lagi? I don't think so. Tidak ada hubungan yang sesederhana bertemu pangeran di pesta dan kemudian kalian berdua hidup bahagia selamanya." Anin terkekeh. "Hanya saja dalam kasusmu, itu adalah princess bukan prince."
Dan komentar itu membuat Shani tersenyum juga. "Kamu jadi ngambil S3 ya nin? Makin jago ih konseling nya"
Anin mengangkat bahu. "Bakat alami i guess?"
___________________________________________
Up dua kali deh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Baby
FanfictionChika tidak percaya Shani akan muncul di depan pintunya pada pukul 1:30 pagi, dia juga tidak menyangka Shani akan meminta bantuannya setelah mereka putus 4 tahun lalu. Tapi ini Shani yang sedang kita bicarakan di sini, dan tidak mungkin Chika bisa m...