Prolog

42.1K 2.5K 120
                                    

Ensconce.

P R O L O G

.

.

.

.

.

Aku senyum senyum sendiri sesaat setelah menyelipkan foto dia di salah satu halaman buku harian berwarna pink tua.

Foto itu adalah foto yang baru saja kuambil saat ia ada di atas panggung. Dengan wajah seriusnya, cowok berkacamata itu lantas terlihat sangat tampan di mataku.

Sebenarnya, aku membolos seharian. Dengan izin Keiza dan alibi dispensasi atas nama ekskul musik, aku membolos dengan gampangnya.

Ah, cuma sekali kok.

Keiza bilang, dia akan ke sekolah lagi setelah lomba itu selesai. Entah untuk apa, padahal, sudah kelas dua belas. Seharusnya kelas dua belas tidak boleh mengurus ekskul lagi.

Aku berduduk sila di depan tumpukan pakaian di dalam keranjang yang sudah disetrika. Beberapa diantaranya sudah diambil Alvia untuk dimasukkan ke dalam koper nya--ia hendak pergi ke Bali selama dua minggu, bersama Mama dan Papa.

Aku menyisakan sedikit pakaian di atas keranjang, lalu bergegas membuka lemari.

Namun ketika membukanya, mendadak, tanganku menyentuh sesuatu.

Sapu tangan kotak kotak. Itu bukan milikku. Aku yakin seratus persen.

Sebodoh bodohnya aku memilih sapu tangan, nggak mungkin 'kan, aku memilih sapu tangan cowok?

Ah, aku ingat, ini 'kan kutemukan pas aku pingsan dulu.

Tapi tiba tiba, fokusku tertuju pada bayangan bayangan akan masa lalu. Mendadak, aku malu dengan diriku sendiri.

Aku mungkin dicap rendahan oleh cowok itu.

Tapi, kenapa dia tidak menghubungiku?

Terus kira kira, Keiza berikan kertasnya ke dia nggak ya?

Dengan terburu buru, aku menelpon Keiza.

Masih jam lima sore, seharusnya Keiza sudah pulang. Seharusnya.

Hingga sampai kira kira empat puluh detik aku menunggu, akhirnya Keiza menjawabnya.

"Halo?"

Suara cowok langsung terdengar sedetik setelah telepon itu tersambung. Aku terpaku. Tapi, setelah berhasil menguasai emosi, aku memberanikan untuk bertanya. "Ini siapa?"

Tebak siapa yang menjawab teleponnya?

"Aji. Keiza nya lagi ke toilet sebentar, tadi dia titipin hape nya ke gue, ini siapa?"

Kayaknya, aku mau tutup sambungan ini sekarang juga. Ah, tapi, kesempatan ini adalah kesempatan langka.

Sebelum menjawab dengan tergagap, tiba tiba suara Keiza terdengar dari jauh. "Siapa, Ji?"

"R." Kata cowok itu, lalu terdengar derapan langkah yang lama lama nggak terdengar.

Keiza mengambil alih ponselnya, dari cara bicaranya, ia terdengar lesu. "Apa, Rik?"

"R? Lo namain nomor gue di hape lo se singkat itu?" Tanyaku dengan sarkas. Sebel, harusnya 'kan namaku lebih panjang dari itu.

Keiza mendengus, seperti menahan tawa. "'Kan, biar misterius!"

Hih.

"By the way, kenapa lo telpon gue?"

"Kei," aku memilin ujung kemeja dengan satu jari. "Gue mau nanya."

Ia membalasnya tanpa minat. "Hm?"

"Lo udah ngasih kertasnya ke dia belum sih?"

"Apa? Kertas? Yang isinya nomor telepon lo itu? Hahahahaha."Keiza langsung mengubah nada bicaranya menjadi penuh humor.

Aku menggigit bibir, "serius nih gue!"

"Gue udah kasih ke dia berbulan bulan yang lalu, Rik. Emangnya kenapa, sih?" Jawabnya mantap.

Aku terdiam sebentar.

Tunggu deh, kalau kayak gini kejadiannya sih, ada dua kemungkinan.

Kertasnya hilang atau ... dia nggak peduli sama kertasnya.

"Oh, enggak." Aku terbangun dari lamunan saat suara benda jatuh terdengar di dekat Keiza.

"Eh, udahan ya Kei, gue mau pipis." Adalah alasan terbaik untuk menutup sambungan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

a.n.

HAI!

ada yang kangen gak sih sama gue? setahun sudah kita tak berjumpa! Hahahahahahaha

Oke, cerita ini memang nggak bisa dibilang sekuel, karena gue juga nggak nganggep cerita ini sekuel.

Tapi kalo pada ngiranya ini sekuel juga gapapa sih, terserah kalian aja lah.

Overall, semoga kalian suka dengan cerita gue yang baru, aamiin.

Best Regards,

Iffah

EnsconceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang