Rika menatap cewek di sebelahnya ini dengan rinci. Cewek yang di sebelahnya ini sedang serius mengamati partitur yang dipeganginya. Tanpa rasa minat, ia melirik partitur dan berusaha membacanya.
Dan hasilnya ... nihil.
Rika emang nggak bakat dalam masalah beginian.
"Apa sih, nggak ngerti gue!" Gerutu Rika, yang kontan membuat Keiza menoleh.
"Kalau mau jadi pacarnya Aji, ya lo harus bisa beginian!" Sindir Keiza asal. Padahal ya, nggak juga.
Rika menaikkan alis satu, setengah percaya dan setengah tidak percaya.
"Emangnya ... iya?" Lirihnya yang tertangkap jelas oleh telinga Keiza. Keiza terkekeh, lalu menjitak kepala Rika pelan.
"Ya enggak lah, dodol!"
~~~~
Di antara pohon pohon yang berdiri tegap nan angkuh, Rika melihat seorang cowok duduk sendirian. Sedang terhanyut dalam alunan musik yang disetelnya sendiri.
Sedangkan dirinya? Ia hanya melihatnya diam diam dari belakang. Menciptakan goresan goresan mantap pada buku sketsa besar miliknya.
Cewek itu ... diam diam menggambar punggung cowok itu.
Sejujur jujurnya, di lubuk hatinya yang terdalam, Rika benar benar ingin bersandar pada bahu itu, Rika benar benar ingin memeluk punggung itu dari belakang. Rika benar benar ingin-
Stop.
Rika mati matian menghentikan keinginannya dalam hati. Percuma, ia tidak akan pernah melakukannya dengan cowok itu. Percuma, lagi pula, cowok itu tidak pernah melihatnya.
Rika menutup buku sketsanya, lalu berdiri dari tempat duduknya. Semua terasa biasa biasa saja sampai seseorang -yang entah sejak kapan dan darimana berdiri di hadapannya.
Dan cowok itu ... Ray.
"Jadi, lo betah sendirian se jam di sini, cuma buat cuci mata?" Tanya Ray dengan angkuh diselingi dengan nada tidak percaya.
Rika menatap sinis lawannya sembari menutup rasa takut jika Aji mendengarnya. "Peduli lo apa?"
Ray menyilangkan tangannya, lalu mengembuskan napasnya pelan. "Karena lo, gue jadi berdiri di taman ini, selama satu jam." Katanya, sambil menekankan kata selama satu jam.
Rika tertegun selama beberapa detik, sampai ia tersadar. "Ngapain lo berdiri di sini?"
Secara sengaja, Ray mengamit tangan Rika, lalu menatapnya sendu. "Karena lo ...,"
"Gue kenapa?"
Ray tersenyum tipis, tatapannya dalam, penuh siratan akan perasaan yang dipendamnya. "Gue sayang sama lo, Rik."
Rika memilih untuk melihat sesuatu untuk dilihatnya ketimbang seorang Ray. Namun, Rika mematung sesaat setelah Ray mengatakan sesuatu dengan suara ber oktaf lebih rendah dari pada biasanya.
"Kasih gue satu kesempatan, dan gue akan pakai kesempatan itu baik baik."
~~~~~
"Rik! Dipanggil Keiza di lapangan! Gece ke sana!" Panggil Diva dengan tergesa gesa. Rika yang sedang duduk terdiam itu hanya termangu. Setelah beberapa detik tersadar, baru lah ia berlari menuju lapangan.
Bukan apa apa, hanya saja Rika takut jika Keiza melakukan hal yang bodoh sepeninggal Herjuno -walaupun Keiza tidak pernah melakukannya.
Dan sesampainya pada lapangan, Rika mendengus keras.
Ia melihat Fery, si playboy kawakan itu, berdiri di tengah lapangan. Dengan ratusan pasang mata melihat ke arah mereka berdua, Rika tahu apa yang sebenarnya terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ensconce
Teen FictionSejak kapan sih, aku jadi hobi ngintipin orang? Dan sejak kapan, aku rajin nulis buku harian kayak gini? Ah, sejak kapan aku salah tingkah kalau dia melihatku dengan tidak sengaja? Kalian tau nggak, kenapa aku seperti ini? Perkenalkan, aku Norika Re...