Chapter 5

15.4K 1.8K 154
                                    

"Itu buat Keiza." Ucapannya terhenti, lalu ia melanjutkan lagi. "Gue nitip itu buat Keiza ya, Rik. Soalnya gue malu kalau ngasih sendiri. Gue berterima kasih banget sama lo. Thanks ya." Katanya sambil menepuk bahu Rika selama tiga kali.

Buru buru, Rika tersenyum selebar mungkin. "Iya, nanti gue kasih bunganya," ia memberi jeda, lalu berbisik. "Ke Keiza."

"Gue duluan ya." Sambungnya sambil tersenyum.

Setelah itu, Aji langsung berbalik. Membuka pintu dan turun melalui tangga. Langkahnya yang besar itu membuat jalannya cepat.

Disaat itu juga, air mata cewek itu turun membasahi pipinya yang tirus.

Bahkan, Aji tidak mengucapkan selamat kepada Rika.

"Gue nggak kenapa napa, gue nggak kenapa napa."

Bohong. Ia tahu persis dirinya membohongi perasaannya sendiri. Ia menginginkan bunga pemberian Aji itu untuknya.

Bukan untuk sahabatnya.

~~~~~

"Rik?"

Suara itu sukses membangunkan Keiza pada tidur sorenya. Lantas, Rika membuka matanya yang berat itu. Duduk bersandar pada sandaran kasur.

Rasanya, ketika mendengar suara itu, mata Rika enggan menutup.

Padahal ia sangat menginginkannya.

"Mata lo kenapa deh? kayak abis digebukin gitu." Keiza mulai menerawang. "Dan kenapa lo masih pake seragam sekolah. Demi apapun, ini udah jam lima, Rik!"

"Terus kenapa?" Jawab Rika malas. Sedang tidak ingin banyak bicara.

"Eng- Tunggu, lo abis nangis?" Tanya Keiza to the point.

Dengan kecepatan rusa berlari, Rika menjawab; "Enggak!"

Keiza mendecak. "Gue tau lo dengan baik, Rik."

"Apa sih Kei," Rika mendengus, jengah. "Seriously, i'm fine."

"No, you're not."

Pandangan Rika jatuh pada sebuket bunga mawar berwarna merah muda yang diletakkannya di meja belajar. Keiza mengikuti arah pandangnya, lalu memecah keheningan itu. "Ini ada hubungannya dengan bunga itu?"

"Ya." Dan ada hubungannya dengan lo juga, batin Rika.

"Lo nggak perlu kasih bunga ini ke Keiza."

Suara itu menghentikan tangisannya secara mendadak. Buru buru, ia menghapus air matanya lalu mendongak.

Ray.

Ada di depannya, sekarang.

"Nggak usah munafik, Rik." Ray mengusap pipi cewek itu dengan satu tangan disaat air matanya turun lagi. "Lo emang cantik kalau nangis, tapi gue nggak suka liat lo nangis. Gue lebih suka liat lo senyum, jadi lebih cantik."

Mata coklat berair milik Rika kini tengah menatap mata berwarna biru gelap teduh milik Ray.

Mata biru gelap itu mengisyaratkan keteduhan, seakan mengatakan; "kau akan tenang jika bersamaku".

Satu tangan Ray yang mengusap pipi Rika itu lantas turun mengambil empat tangkai bunga itu, lalu ia mengeluarkan tangan lainnya yang sedari tadi disembunyikan di belakang tubuhnya. "Buat lo."

Sebuket bunga berwarna merah muda. Bukan lagi empat tangkai. Kali ini, lebih dari sepuluh tangkai.

"Congrats' Rik."

EnsconceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang