Bab 6 - Limbah

40 11 21
                                    

Keesokan harinya, Ask kembali ke rumah sakit. Namun, kali ini tidak sebagai cleaning service. Setelah memeriksa bangsal VVIP, Ask sudah mendapatkan cukup informasi.

Lagipula, office boy yang sebenarnya dipekerjakan telah tiba. Pria itu tampak kebingungan di depan pintu loker yang kosong. Seragam kerjanya raib dan tidak seorang pun tahu alasannya. Kecuali Lucas yang akhirnya datang tanpa berkomentar apa - apa.

Berbekal seragam yang kemarin ia pakai. Ask masih mengenakan seragam tersebut dan pergi menuju limbah rumah sakit.

Kawasan tersebut, berada jauh di belakang bangunan utama. Karena Ask tidak memiliki kendaraan. Dia harus bersabar dengan berjalan kaki cukup jauh. Teriknya panas kota Venesa, tidak serta merta membuat Ask menyerah begitu saja.

Dari luar, puluhan kontainer berlalu-lalang di tempat pembuangan akhir. Para petugas dengan seragam biru serta helm kerja berwarna kuning sibuk menyotir barang-barang sekali pakai dan yang mudah terbakar.

Ask berjalan mantap. Merasa percaya diri dengan bungkusan hitam di tangan kanan.

"Hey! Kau! Hati-hati! Taruh saja sampahmu di keranjang sana."

Ask berhenti berjalan. Dia tertengun pada seorang wanita yang menunjuk pada tong sampah berwarna hijau. Ask menurut. Tetapi dengan langkah kaki yang sengaja dilambat-lambatkan.

Setelah sampai dan membuang sampah tipuannya. Ask tidak langsung pergi. Dia berusaha sebaik mungkin memasang tampang orang bodoh. Walau dia sendiri tidak yakin, wajahnya malah terlihat aneh.

"Kenapa masih di situ? Pergi sana! Petugas bersih-bersih tidak dibutuhkan di sini."

Wanita yang tadi menegur Ask masih berdiri di depan pintu masuk. Ask tahu, di dalamnya ada tempat pembakaran khusus. Cerobong asap yang berdiri menjulang hanya terdapat di bangunan tersebut.

"Aku ingin bertanya sesuatu," ujar Ask sambil berjalan mendekat.

"Mengenai apa?"

"Apa ... tempat ini masih membuka lowongan? Mungkin kalian butuh pekerja tambahan. Seperti yang kau tahu, pekerjaan yang kulakukan tidak terlalu banyak menghasilkan uang."

"Hm, tapi kulitmu terlihat mendapatkan perawatan mahal." Wanita itu menatap Ask dengan tatapan menilai barang.

"Itu investasi besar." Ask membenarkan. "Para wanita melihat tampang pria sebagai aset utama."

Pandangan Ask jatuh pada telapak tangan wanita tersebut. Berusaha mencari keberadaan cincin kawin yang mungkin tersemat di sana.

"Tidak ada pekerjaan untukmu di sini. Tapi, kau bisa meninggalkan nomor teleponmu padaku. Akan kuhubungi, jika ada."

"Aku khawatir," ucap Ask.

"Khawatir? Mengapa kau harus khawatir?"

"Kau mungkin akan menghubungiku untuk alasan lain. Tidak, aku khawatir. Pacarmu akan marah padamu. Ya, karena kau menelepon pria lain."

Wanita itu memutar bola mata malas.

"Tidak ada pria yang seperti itu. Terserah padamu. Aku tidak akan memaksa. Lagipula, aku sibuk sekarang."

"Tapi kau menyempatkan diri berbicara padaku."

"Ya Tuhan! Itu karena kau ada di sini. Jarang sekali ada petugas kebersihan di sini. Kutebak kau anak baru? Bukan hal baru, jika para Senior memperlakukan bawahannya dengan pekerjaan berat."

"Kau perhatian." Ask memuji. Sengaja, agar ia bisa melihat lebih lama kondisi di dalam.

Wajah si Wanita mendadak memerah semu. Dia agak sedikit gagap membalas kalimat Ask. Lalu buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celana. "Katakan, berapa nomormu."

Aesculapius (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang