Itoshi Sae.
Begitu banyak rangkaian kata dan kalimat yang tak bisa aku jelaskan bila membahas saudaraku satu-satunya ini. Kak Sae begitu sempurna di mataku, dia sosok kakak yang hebat, kapten sepak bola di SMA-nya, menjadi banyak sorotan kamera ketika sedang bertanding dan selalu mendapat pujian.
Sedangkan aku hanyalah seonggok adik tidak berguna yang hanya bisa terbaring lemah di rumah sakit tanpa bisa melakukan apapun. Aku adalah adik yang benar-benar tidak berguna, aku sampai saat ini masih belum bisa membanggakan kak Sae.
Netra hijau yang dulu selalu berbinar saat kak Sae pulang ke rumah kini mulai meredup, menatap ke arah layar televisi yang menampilkan sosok kak Sae. Ia baru saja memenangkan pertandingan lagi, dan lagi.
Bibirku menampilkan senyuman tipis, merasa bangga memiliki kakak yang hebat seperti kak Sae. Rambut dengan warna reddish brown yang biasanya kering sekarang terlihat basah oleh keringat, kamera menyorotnya dengan baik sehingga mataku yang mulai mengabur pun masih bisa memperhatikan kakakku dengan baik.
"Kakak pasti capek,"
Tepat setelah mengatakan itu pintu terbuka menampilkan sosok Itoshi Sae masih lengkap dengan jersey miliknya.
"Halooo adonan cimol. Maaf kakak lama selesaiin tandingnya, kamu udah makan siang belom?"
Kepalaku anggukan padahal aku belum menelan apapun.
Aku hanya tidak ingin membuat kak Sae cemas, itu saja. Dia sudah cukup kerepotan mengurusiku selama hampir 6 bulan ini. Hidup tanpa orang tua membuat kak Sae harus memikul banyak tanggung jawab termasuk mengurus tubuhku yang lemah.
"Kakak seneng banget manggil gue adonan cimol dari kelas satu esde," Ujarku pura-pura ngambek.
Kak Sae tertawa menanggapi ujaranku.
"Dulu pipi lo gembul banget kayak adonan cimol jadi gue berinsiatif jadiin adonan cimol sebagai name pet lo, gimana? suka gak?" Lihatlah kakakku ini, dia bahkan menyengir lebar ketika mengatakan itu.
"Gak. Lo kira gue hewan?"
"Name pet kan bukan cuma untuk hewan tapi kalo lo sih emang hewan, anjing misalnya."
"Dan lo babinya soalnya warna rambut lo mirip kulit babi."
Setelah itu aku dan kak Sae tertawa, mentertawai candaan masing-masing. Meskipun aku hidup bergantung dengan selang infus dan obat-obatan dari dokter, aku tidak pernah menunjukan sisi lemahku pada siapapun termasuk kak Sae.
Itu hanya akan membuatnya khawatir dan kekhawatiran itu bisa berdampak pada sepak bolanya, aku tidak mau menjadi perusak hidupnya.
Lihatlah kakakku ini, dia masih meluangkan waktu untuk menjenguk, merawat, dan menghiburku meski dia baru menyelesaikan pertandingan melelahkan beberapa jam lalu.
Aku tahu seberapa lelahnya karena aku dulu juga termasuk anggota sepak bola di SMA yang sama seperti kak Sae. Yah, itu sebelum kondisiku berubah menyedihkan seperti sekarang ini.
Dulu aku bisa menggiring bola kemana pun menuju gawang, dulu aku bisa berjalan dengan leluasa, dulu aku bisa bersekolah setiap hari, dulu aku bisa pergi dan pulang dengan kakak, dulu aku bisa makan malam bersama kakak, dulu aku bisa menghabiskan waktu dengan menonton dan bermain bersama.
Tapi itu semua hanya sebatas dulu karena sekarang aku hanya bisa terbaring diatas kasur rumah sakit, sekarang aku hidup bergantung pada selang infus dan obat-obatan, sekarang semua terasa hambar di lidah, sekarang tugas kakak bukan mengantar jemputku lagi tapi menjengukku.
Aku sedih tidak bisa seperti dulu, aku sedih sudah menyusahkan kak Sae. Di usianya yang ke 18 tahun kak Sae harus bolak-balik ke rumah sakit hanya untuk menjenguk adik tidak berguna sepertiku.
Mungkin jika aku mati itu akan meringankan beban di pundaknya, otakku sempat berpikir untuk mengakhiri penderitaan kakak tapi hatiku kembali berteriak melarang karena itu hanya akan membuat kakak sedih.
"Rin, kakak tau lo belum nelen apapun,"
"Nih kakak bawain bubur bayi. Lo pasti suka,"
Senyumku kembali terlukis di wajah yang sudah pucat bagai mayat hidup. Kak Sae masih ingat ketika aku sakit dulu, aku selalu minta dibuatkan bubur bayi oleh Mama karena aku tidak suka makan makanan orang dewasa saat sakit.
Rin kecil bilang makanan orang dewasa itu banyak micin dan tidak sehat, dia hanya mau makan bubur bayi yang lembut dan hangat.
"Masih inget aja lo kak, padahal udah sepuluh tahun yang lalu."
Aku ingat terakhir aku meminta bubur bayi saat duduk di bangku kelas 3 SD. Tepat sebelum Mama Papa meninggalkan kami berdua di rumah nenek.
"Mama apakabar ya, kak? Papa juga ... kangen." Kataku dengan mata sendu.
Kak Sae yang sibuk menuangkan air di dalam termos ke mangkuk hanya bisa tersenyum pahit.
"Mereka udah bahagia disana, dek."
"Mereka di atas sana lagi ngapain ya? Nontonin kakak main bola? Atau ngeliat gue rebahan di kasur rumah sakit kayak orang udah mau mati?"
Kekehan singkat mengakhiri kalimatku sebelum kak Sae menghentikan kegiatan membuat bubur. Netra itu menatapku dengan tatapan seolah berkata,
"Jangan ngomong sesuatu yang gak mau gue denger."
Aku menghela nafas lalu mengangguk singkat.
"Sorry." Cicitku pelan.
Dia menghampiriku dan duduk di kursi yang telah disediakan tepat di samping kasurku. Tangan kak Sae tidak kalah berbakat dari kakinya yang lihai menendang bola, tangannya pun bisa membuat setidaknya beberapa masakan dan memperbaiki berbagai macam barang.
"Buka mulut lo, Aaaaa."
Aku mengikuti intruksi kak Sae, membuka mulut menerima suapan pertama dengan rasa hambar. Meskipun begitu aku tidak akan bilang ke kakak kerena dia sudah susah payah membuatkanku makanan, aku tidak mungkin mengkhianati usahanya.
"Enak kak, enak banget! Mirip bubur buatan Mama dulu." Kataku sedikit bernostalgia.
Kakak tertekeh, "Padahal cuma bubur instan."
"Tapi tetep aja enak apalagi kalo dibuat make tangan kakak. Enaknya nambah jadi berkali-kali lipat."
"Bisa aja lo mujinya kain rombeng, udah nih makan lagi."
Aku tahu kakak sedang tersipu malu, aku tipe adik yang sangat jarang memuji makanya kakak tidak pernah terbiasa dengan pujianku.
Bubur masuk ke dalam mulutku sesuap demi sesuap rasa hambar menerpa rongga mulutku namun aku memilih abai. Rasa itu tidak seberapa bila melihat betapa senangnya kakak saat menyuapiku tadi. Betapa senangnya kak Sae saat aku menyukai bubur buatannya.
Disaat Rin tidak mau menghancurkan kebahagiaan kecil kakaknya yang dia tangkap lewat sorot mata nya berbeda pula dengan Sae yang sengaja berpura-pura bahagia di depan sang adik padahal hatinya semakin hancur.
Sae tahu kalau Rin tidak bisa merasakan apa-apa tapi adiknya itu masih bisa memuji bubur instan buatan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TUNA DAKSA [ Itoshi Brothers ] ✔️
Fanfiction(•) karakter milik Muneyuki Kaneshiro dan Yusuke Nomura, saya hanya meminjam. Cerita ini pure dari imajinasi dan pemikiran saya selaku author, apabila ada kesamaan dengan cerita lain itu murni ketidaksengajaan.