Halaman empat

943 118 13
                                    

Enam bulan lalu dari sudut pandang Itoshi Rin.

Dadaku terasa sesak, seperti ada yang menyumbat saluran pernapasanku. Tubuh ini meringkuk kesakitan di atas tempat tidur. Sebulan yang lalu aku telah di perbolehkan untuk pulang, kupikir semua akan berjalan kembali normal meski impianku untuk menjadi pemain bola harus di relakan.

Akan tetapi perasaan sakit ini kembali menyerangku, aku tidak bisa berjalan keluar kamar dan menghampiri kakak, yang bisa kulakukan hanya terbaring lemah di atas tempat tidur seorang diri.

"Ka ... Kakak! Hhh ... Kak— Sae hahh!"

Nafasku terengah-engah, keringat turun membasuh seluruh tubuhku yang menggigil kedinginan padahal suhu di kamarku lumayan panas. Aku berkeringat tapi tubuhku menggigil kedinginan.

Kepalaku menoleh menatap pintu kamar, berharap kak Sae mendengar panggilanku meski sepertinya mustahil. Suaraku begitu kecil dan lirih untuk di dengar olehnya yang saat ini entah berada dimana.

Aku memegangi leherku dan seprei kasur, berharap aku bisa bernapas kembali namun semakin kucoba semakin sesak rasanya.

Tak lama kemudian pintu kamar terbuka menampilkan sosok kak Sae dengan sebuah nampan di tangan berisikan mangkuk dan gelas diatasnya.

"RIN!"

Kak Sae segera meletakan nampan tersebut diatas nakas, ia lalu mendekat ke arahku dan segera menggendongku menuju mobil.

Aku tahu tujuan kami selanjutnya pasti adalah sebuah bangunan berisi bau obat-obatan yang sudah pernah ku cicipi sebulan lalu.

Sesampainya di rumah sakit aku segera di periksa, dokter dan kak Sae sedang berbincang di ruangan lain. Kini aku sendirian, menunggu kedatangan kakak dengan tubuh yang sudah kembali tenang.

Aku kembali bisa bernapas berkat suntikan yang tadi dokter berikan.

Sejujurnya aku tidak begitu paham dengan keadaan tubuhku sendiri, aku juga tidak tahu cairan apa yang barusan dokter berikan pada tubuhku.

Kulihat pintu terbuka lalu muncul lah sosok kak Sae dengan senyum yang terpatri di bibirnya. Melihat gelagat kak Sae sepertinya aku baik-baik saja. Tapi setelah mendengar apa yang dia katakan selanjutnya membut tubuhku seolah mati rasa.

Lidahku terasa kelu dan kepalaku mendadak pening.

"Rin, lo ngidap penyakit yang namanya belom di ketahui. Gak bisa nafas, sakit kepala, tubuh berkeringat dan kedinginan sampe badan menggigil, selanjutnya penderita penyakit ini bakal ngalamin mual dan muntah darah,"

"Selain itu, ternyata lo juga mengidap kardiomiopati atau penyakit jantung—"

"Yang menyulitkan jantung mengedarkan darah ke tubuh dan bisa menyebabkan gagal jantung." Potong ku cepat sebelum kakak melanjutkan kalimatnya.

Mata Sae membulat, "Lo ..."

Aku sudah tahu, jauh sebelum aku kecelakaan aku sudah mengidap itu karena faktor turunan. Dulu Mama adalah seorang pengidap kardiomiopati yang diturunkan ke aku.

Kak Sae menatap ekspresi wajahku yang tampak biasa aja meski sebelumnya aku sempat terkejut karena aku mengidap penyakit lain selain kardiomiopati, sejujurnya kak Sae sangat takut ketika mengatakan fakta baru itu tapi dia mencoba untuk tidak menyembunyikan apapun dariku.

Kemudian aku tersenyum, "Gapapa, semua bakal baik-baik aja. Penyakit ini bakal sembuh kok!"

Kukatakan itu untuk menghibur kakak seolah-olah dia yang sakit padahal aku lah yang mengenaskan disini. Aku hanya tidak mau kakak terlalu cemas padaku, aku tidak mau kakak takut kehilanganku.

Kakak hanya diam, kepalanya menunduk, pandangan matanya kosong seolah tidak ada lagi secercah titik kehidupan di dalam netranya.

Saat itu juga aku sadar bahwa kakak sedang sangat terpukul, dia tidak pernah sefrustasi ini sebelumnya. Bahkan sampai membuatnya menunjukan kesedihan yang dia rasakan di hadapanku.

.

.

Aku terbangun dari tidur.

Pandanganku menjalar ke seluruh ruangan mencari satu sosok yang kini tidak ku temui keberadaannya.

Aku bertanya-tanya kemana sosok ini pergi?

Aku ingat tadi aku tertidur di sebelahnya dengan usapan-usapan lembut yang ku terima di kepala.

Yeah, kakak selalu mengelus kepalaku ketika sebelum tidur.

Lalu tak lama kemudian sayup-sayup aku mendengar ada suara tak asing di telingaku sedang menangis kecil dari dalam bilik kamar mandi.

Aku diam mendengarkan suara itu, aku penasaran tapi aku tidak bisa beranjak kesana.

Sedetik kemudian aku ikut menitihkan air mata, ikut merasakan sesak di dada. Aku tahu itu adalah kakak, kakak pasti sangat sedih mengingat aku yang sudah tidak bisa berjalan ini tidak bisa hidup dengan tenang karena penyakit pula.

Sayup-sayup aku kembali mendengar kakak seolah berkata semua akan baik-baik saja kepada dirinya sendiri. Dia sedang mencoba menenangkan dirinya sendiri namun semua itu tak berhasil ketika aku kembali mendengar tangisnya yang semakin kencang.





Malam itu kami seolah saling menyalurkan rasa pahit dan sesak, lewat tangisan pilu di satu ruangan yang sama dengan pintu kamar mandi sebagai pembatas di antara kami berdua.


"Tuhan, aku tidak mau terus-terusan menjadi beban kakak. Dia sudah mengurusku sejak kecil, jadi aku tidak mau membebaninya. Jika boleh meminta sekali ini saja, aku ingin engkau berikan dia kebahagiaan lain agar dia bisa melupakanku yang hanya bisa menyusahkannya ini, Tuhan ..."

Aku tahu kakak pasti akan marah bila mendengar doaku tapi aku juga akan sangat sedih bila kakak menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk mengurus tubuh lemah tak berdayaku ini.

TUNA DAKSA [ Itoshi Brothers ] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang