Itoshi Rin.
Rumah.
Kata yang muncul dari bilah bibirku saat ada orang lain menanyakan apa arti Rin untukku.
Bagiku Rin adalah keluarga, teman, support system, dan rumah terbaik yang aku miliki. Kepergian Papa Mama memang melukai hatiku tapi Rin selalu ada untuk menghiburku padahal dia juga kehilangan.
Disaat aku sakit, adikku lah orang pertama yang akan memcemaskan kondisi tubuhku. Disaat aku terluka, Rin akan dengan berani melindungiku di balik tubuhnya yang tinggi. Disaat aku bersedih, Rin dengan tulus merengkuh tubuhku ke dalam sebuah pelukan hangat.
Apakah ada rumah terbaik yang bisa ku anggap selain Rin?
Kurasa aku tidak bisa apa-apa tanpa adikku. Tanpa teman hidupku. Tanpa rumah ternyamanku.
Malam ini aku pulang ke rumah dan menitipkan Rin ke Shindou, salah satu temanku. Aku percayakan Rin kepada Shindou karena aku sudah lama berteman dengannya dan Shindou pun dengan senang hati menjaga Rin untukku.
Pintu rumah ku buka dan aku pun melangkah masuk sebelum mengunci pintu. Rumah ini begitu sepi tanpa kehadiran Rin, tidak akan ada lagi yang mengajakku mengoceh tentang banyak hal.
Tidak ada lagi partner berantemku, tidak ada lagi teman yang bisa ku ajak ngobrol tentang sepak bola, tidak ada lagi yang akan meramaikan suasana di rumah.
Sorot mataku sungguh sendu nyaris mengeluarkan air mata ketika tidak sengaja melihat figuran foto Rin saat dia memenangkan lomba sepak bola tingkat SMA.
Itu terjadi saat Rin kelas XI, sebulan sebelum dia mengalami sebuah insiden kecelakaan sekaligus terserang penyakit yang mengharuskan Rin rawat inap di rumah sakit.
Adakah yang lebih menyakitkan daripada harus melihat rumahmu terbaring lemah di rumah sakit?
Sebulir air mata sukses lolos dari sudut mataku, aku perlahan mendekat ke figuran foto itu, tujuh bulan lalu aku memotret Rin dengan sebuah piala yang selalu dia genggam kemana-mana, katanya takut pialanya kecolongan tim sebelah.
Aku tertawa geli ketika mendengar alasan konyol Rin, tapi sekarang aku malah menangis ketika kembali mengingat kenangan lama itu. Dadaku sesak, aku memukul dada sebelah kiriku, tangan kiri ku gunakan untuk menjambak rambutku sendiri.
Tubuh ini pada akhirnya merosot ke bawah, runtuh sudah semua pertahanan yang selama ini ku bangun susah-susah. Aku berjanji tidak akan menangis dan bersedih demi Rin tapi ketika mengingat dia sedang terbaring lemah di rumah sakit dengan mengandalkan selang infus serta obat-obatan untuk bertahan hidup, itu hanya semakin menyakiti hatiku.
Rin tidak bisa merasakan nikmatnya makanan seperti dulu.
Rin tidak bisa bermain bola lagi padahal sepak bola sudah seperti separuh hidupnya.
Rin bahkan tidak bisa berjalan, dia di nyatakan lumpuh total semenjak kecelakaan.
"Tuhan, aku mohon sembuhkan adikku, kembalikan senyuman yang dulu selalu dia tunjukan."
"Aku tidak bisa terus-terusan hidup bebas seperti ini sedangkan adikku sekarang sedang mati-matian bertahan hidup melawan penyakitnya, Tuhan ..."
Kedua lenganku memeluk tubuhku sendiri, memeluk tubuh lemah yang bahkan tidak mampu hanya untuk sekedar berdiri. Dulu bila aku dalam kondisi seperti ini selalu ada Rin yang bersedia merentangkan tangan dan memelukku, menyalurkan kehangatan lewat sebuah pelukan.
Tapi sekarang aku harus mencari kehangatan itu dimana? Adikku sekarang sedang dalam kondisi tak baik, dia bahkan membohongi kakaknya sendiri agar tidak terlihat lemah, Rin pasti sudah terlalu lelah, tidak mungkin aku menambah beban pikirannya dengan menunjukan kelemahanku disaat dia mati-matian menyembunyikan kelemahannya.
Ting!
Bel rumah berbunyi menandakan ada orang yang baru saja berkunjung. Aku segera berdiri, berlari kecil ke arah kamar mandi untuk mencuci muka. Aku tidak mungkin membuka pintu menyambut tamu dengan muka kacau seperti ini.
Setelah di rasa sudah beres, aku pun segera berlari menuju pintu. Ku buka pintu itu dan melihat ada sosok Kaiser dan Isagi datang dengan dua bungkus makanan di masing-masing tangan keduanya.
"Eh kalian, ayo masuk dulu."
"Maaf kak, kami ganggu waktu lo. Gue sama Kaiser cuma mau kasih lo ini,"
Tangan Isagi terulur memberikan bungkus makanan di genggamannya.
Aku tersenyum lalu menggeleng pelan.
"Makasih tapi gapapa buat kalian aja, gue udah makan kok."
"Sae, jangan batu. Lo kira kita udah kenal berapa lama? Kami tau lo bahkan belum makan apapun sejak selesai tanding. Jadi, ayo makan ya? Gue sama Isagi juga bakal ikut makan." Bujuk Kaiser.
Jika sudah begini aku tidak bisa melakukan apapun jadi ku izinkan keduanya masuk dan membiarkan mereka membuka bungkus makanan itu di atas meja makan.
Memang benar ucapan Kaiser, aku memang belum makan sejak selesai bertanding tadi karena aku menyempatkan diri ke rumah sakit untuk memberi Rin makan, jika sudah menyangkut adikku yang satu itu semua kebutuhanku seolah terlupakan.
"Sae, lo habis nangis?" Kaiser bertanya pelan sembari memperhatikan wajahku.
Aku mengangguk. Toh tidak ada gunanya berbohong dengan mereka, aku tidak bisa membohongi mereka.
"Nangisin Rin lagi, kak?"
"Yah, gitu lah, Gi. Lo tau gue gimana."
"Tapi lo jangan keseringan nangis, Sae. Lo pikir kami gak tau kalo seminggu penuh ini lo selalu nangis setiap pulang ke rumah?"
"Mau gimana lagi, Kai? Gue sedih banget, disaat gue selalu dapet kebahagiaan dari publik karena bakat gue di bidang sepak bola, adek gue malah harus menderita mendekam di rumah sakit."
"Gue gak tega ngeliat kondisi Rin dari hari ke hari semakin mengenaskan, Kai. Gue sedih, gue kecewa karena belum bisa jagain Rin dengan baik. Gue takut ... takut kalau suatu hari nanti dia pergi."
"Kadang pikiran apakah dia bakal balik lagi ke rumah ini atau justru nyusul Mama Papa untuk bahagia disana selalu muncul di otak gue."
"Kalo boleh egois gue mau minta pilihan pertama, gue mau dia balik lagi ke rumah ini, gue mau dia balik dengan senyuman, gue mau dia sehat, gue mau dia sembuh kayak dulu. Gue kangen segala hal tentang dia Kai, Gi."
"Gue kangen adek kecil gue, cuma itu ..."
Meluapkan segala emosi dan curahan hati yang selama di pendam membuat emosiku tidak stabil. Aku mulai kembali menitihkan air mata dengan sesak di dada yang semakin hebat, aku benar-benar terlihat sangat rapuh di depan Kaiser dan Isagi.
Isagi dengan cekatan memeluk tubuhku yang mulai gemetaran dengan mata berlinang air mata.
Kaiser pun mendekat, ikut memelukku sambil mengelus pundakku sesekali berkata maaf karena ucapannya aku jadi emosional begini.
"Maaf Sae, kata-kata gue nyakitin lo,"
Aku menggeleng pelan, ini semua bukan salah Kaiser. Memang aku yang terlalu lemah.
"Kak, percaya sama Tuhan kalau Rin bakalan sembuh kayak dulu lagi, jangan mikir sesuatu yang belum tentu terjadi. Oke?"
Aku hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, tidak sanggup membalas ucapan Isagi.
Aku benar-benar merindukan sosok Rin yang ceria, sosok yang sering mengejekku bahkan menjahiliku, sosok yang akan merengek minta di belikan permen ketika dia masih SD dulu.
Bukan sosok yang hanya mampu berbaring di atas kasur rumah sakit dengan tubuh lemahnya yang semakin lemah dari hari ke hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
TUNA DAKSA [ Itoshi Brothers ] ✔️
Fiksi Penggemar(•) karakter milik Muneyuki Kaneshiro dan Yusuke Nomura, saya hanya meminjam. Cerita ini pure dari imajinasi dan pemikiran saya selaku author, apabila ada kesamaan dengan cerita lain itu murni ketidaksengajaan.