Halaman tiga

998 125 5
                                    

Tujuh bulan lalu, dari sudut pandang Itoshi Sae.

Siang ini aku harus bergegas menuju tempat pertandingan adikku. Aku mungkin sedikit telat karena baru saja menyelesaikan tugas yang sial deadline-nya satu jam lagi. Beruntung Rin paham kondisiku jadi dia tidak banyak mengomel karena aku akan telat datang.

Tugas sialan ini ku kerjakan sat-set-sat-set, persetan akan benar atau salah yang terpenting sekarang aku bisa pergi ke tempat pertandingan dan menonton Rin adik kecilku yang hebat bertanding bola.

Mobil sedan ku hidupkan tak lama kemudian aku menerima sebuah telpon Rin, dahiku mengernyit. Kenapa adonan cimol ini menelpon? Apakah pertandingannya telah usai? kalau itu adalah kebenarannya maka habislah riwayatmu Sae.

"Halo adonan cimol? Kenapa nel—"

"Kak Sae, Rin! Rin kak— Hiks ... Hiks .."

Detak jantungku seolah berhenti berdetak.

"Rin? Rin kenapa!?"

"RIN KENAPA BANGSAT!"

Tanganku bergetar, tanpa sengaja aku membentak seseorang di seberang sana.

"Rin kecelakaan kak ... Hiks, hiks ..."

Ponsel di genggamanku jatuh, tubuhku seketika lemas, mataku mulai memanas dan berair. Aku sangat ketakutan sekarang, aku takut akan keselamatan satu-satunya keluarga yang ku punya.

Lalu dengan secepat yang ku bisa, aku mengendarai mobil membelah hiruk pikuk kota. Menyalip segala macam mobil dan motor serta mengabaikan beberapa kali klakson dari pengendara lain.

Prioritas utamaku saat ini hanya satu, yakni Rin.

.

.

Setibanya di rumah sakit aku segera berlari menuju ruang resepsionis namun sebelum aku sampai seorang anak SMA terlihat memanggil-manggil namaku dari kejauhan.

"Kak Sae!"

"Kak Sae!"

"Kak Sae, disini!"

Aku kalang kabut, dengan mata memerah menahan tangis aku pun segera mendekati sekumpulan anak SMA tersebut. Ada satu bocah yang aku kenal sebagai teman Rin meski tidak begitu dekat dengan Rin tapi aku tahu dia satu-satunya yang berteman dengan adikku.

"Rin ada dimana?"

"Kecelakaannya parah?"

"Seburuk apa lukanya?"

Begitu sampai aku langsung menyerbu mereka dengan banyak pertanyaan.

Isagi Yoichi, satu-satunya teman adikku menunduk seolah takut menyampaikan sesuatu.

"Rin, anu ... dia lagi di operasi, kak."

Seketika aku terdiam, air mata sukses meluruh turun membasahi pipiku. Aku tahu ini mungkin menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan Rin tapi dadaku merasa semakin sesak begitu mengingat bahwa Rin sejak dulu selalu takut dengan yang namanya operasi.

"Rin, kakak tau kamu bisa, kakak mohon untuk kali ini berjuanglah melawan rasa takut kamu demi keselamatanmu, ya?"

Kepala ku tundukan dengan kedua tangan yang saling melipat. Aku berdoa pada Tuhan agar menguatkan adikku di dalam sana.









Satu jam berlalu, operasi pun selesai. Dokter yang tadi menangani operasi adikku keluar dari ruang operasi, seketika aku langsung berdiri menghampiri dokter tersebut.

"Dok, gimana keadaan adik saya?"

"Dia baik-baik aja kan?"

"Adik saya gak kenapa-napa kan?"

Berbagai macam pertanyaan lainnya ku layangkan tanpa mempedulikan sang dokter. Raut tak enak di tunjukan sang dokter, itu semakin membuatku takut akan kenyataan. Aku tidak berani mendengar fakta buruk apapun tentang adikku.

"Syukurlah Itoshi Rin adik anda baik-baik saja tapi, karena benturan di kakinya sangat keras jadi itu menyebabkan kepatahan di tulang kaki sebelah kanan serta kelumpuhan."

Detik itu pula aku terdiam, mulutku tak seberisik sebelumnya, mataku yang awalnya telah kering kembali basah, pipiku kembali di hiasi air mata.

Aku terduduk lemah di lantai dingin rumah sakit mengabaikan teman-teman adikku serta sang dokter yang mencemaskan kondisiku. Pandanganku kosong dengan air mata kembali turun membasuh pipi.

Aku memang selemah ini bila menyangkut adikku tersayang.

Rasanya aku ingin menutup telinga agar tak bisa mendengar apa yang dokter jelaskan barusan. Dadaku sesak, rasa takut mulai muncul memenuhi rongga dadaku, pemikiran yang paling kutakutkan seolah muncul begitu saja di otak.





Bagaimana bila suatu hari nanti Rin akan meninggalkanku seorang diri?





Ketika hari itu tiba, aku benar-benar tidak siap.

Ku buka pintu, menyaksikan Rin yang menyambut hangat kedatanganku dari dalam ruangan.

Hatiku kembali sesak, ingin sekali rasanya meringis pelan. Bagaimana bisa Rin tetap mampu tersenyum padahal hidupnya sudah hancur berantakan?

"Kakak, gimana tugasnya? Lo telat banget gak liat gue menang di pertandingan tadi," Ia terkekeh.

"Gue seneng bisa menangin pertandingan ini, lo bangga gak punya adek kayak gue?"

Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku bangga, sangat bangga malah. Aku benar-benar bangga pada adik kecilku yang mampu bertahan hingga sejauh ini.

Rin menatapku dengan senyum teduh, seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

TUNA DAKSA [ Itoshi Brothers ] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang