Tenggelamnya Surya di Lautan Ego

99 3 0
                                    

Rintik pagi ini, seakan mengerti hati yang menangis karena mengingat kenangan lalu. Namun, Surya enggan. Lagian, tak etis juga. Gerimis ingat mantan, giliran banjir, baru ingat Tuhan. Daripada buang-buang waktu, ada yang lebih penting ketimbang itu, yakni yang dikejar dan dituju: cita-cita, sebuah kata diekori tanda tanya besar. Sebab bukan hanya tentang kebingungan mau jadi apa, tapi bagaimana meraihnya? Kita memiliki keinginan, tapi semesta punya kenyataan.

Baginya, pagi tetaplah pagi, saatnya berangkat sekolah, naik angkot, dan membuat matahari cemburu dengan semangat yang membara. Waktunya bangun dari mimpi dan mewujudkannya. Mau tidak mau, ia harus menghadapi ketakutan akan ketidakpastian masa depan. Pagi takkan pernah berubah seperti hidupnya yang monoton. Pengecualian hari ini. Bukan cuma langit dan awan, pelangi tumben ikut menyambut awal harinya, sepertinya sisa dari badai lebat semalam. Betul kalau orang bilang, “Nikmatilah hujanmu. Maka, pelangimu akan datang.”

Dari jendela angkot, Surya, lelaki yang sedari kecil terinspirasi oleh alam dan pelangi adalah salah satunya, memandang ciptaan Tuhan Yang Maha Agung itu. Sungguh terlihat memesona dan tak pernah gagal mengukir senyum di bibir setiap orang. Sementara dirinya, yang masih setia di jalan raya bersama kemacetan ibukota, bertanya dalam hati, “Bukankah pelangi indah karena warna yang beraneka ragam?”

Intinya, keindahan adalah kesatuan dalam keberagaman, bukan keseragaman. Pun kita manusia. Sejatinya ditakdirkan beragam ras. Itu mutlak dan tak dapat diganggu gugat adanya. Namun, bukan berarti boleh semena bertindak terhadap yang tidak terikat kuasa Tuhan. Hal tersebut mengusik angan tentang kedamaian Surya, keresahan atas orang dewasa yang terus memaksakan kehendak kepada yang lain, khususnya terhadap perbedaan keinginan dan definisi sukses setiap insan. Dia paling benci sifat itu, betapa egois dan hati mereka, pastilah terbuat dari batu sebab saking kerasnya, pikir Surya. Kenyataan bahwa papa dan mamanya termasuk salah dari mereka, itu yang paling menyedihkan hati lugunya.

“Kamu nggak usah ambil sastra, apalagi Sastra Indonesia. Mendingan Akuntansi, Kedokteran, atau Hukum. Pokoknya jangan sastra. Susah cari kerjanya.” Setiap sarapan pagi, mamanya selalu berkata demikian. “Dulu di umurmu, Mama juga naif kayak begini. Bersyukurlah setidaknya ada Mama sama Papa yang arahin kamu. Dengerin kata orang tua dan suatu saat nanti, kamu akan berterima kasih sama Mama dan Papa.”

Kemudian papanya, yang selalu memandang rumput tetangga lebih hijau, menyambung, “Anaknya Om Firman, dia ambil jurusan hukum dan sekarang sukses sebagai kepala notaris. Kamu nggak mau ikutin jejaknya?”

Sejak setahun lalu, meja makan telah beralih fungsi menjadi ruang pengadilan, meributkan rencana masa depan anak semata wayang itu. Bukannya Surya bingung dengan mimpinya. Malahan, Surya sering kali membawa pulang juara. Namun sepertinya, prestasi-prestasi ini terlalu kecil, sehingga Mama dan Papa tak meliriknya, pikir Surya.

Makanya, mereka merencanakannya sendiri. Sayangnya, Surya cuma jadi pengamat yang membisu seribu bahasa. Dia bukan tuna rungu wicara. Tidak pula kehabisan kalimat untuk menanggapi segalanya. Lagi pula, tidak mesti dari lidah. Daripada hanya akan terjebak dalam perdebatan yang tiada akhirnya, ada kala diam jugalah jawaban. Tidak, bukan jawaban sepakat. Namun, jawaban paling lelah dari seseorang ketika kehilangan kesempatan bicara dan kata-kata tak lagi bermakna. Maksudnya, seberapa panjang yang disuarakannya, apakah akan didengar?

Alih-alih begitu, adanya justru pemantik pertengkaran. Ujung-ujungnya pasti berdebat, tapi kini, Surya tidak lagi. Apalah arti berdebat jikalau tidak menghargai pendapat. Sebelum memutuskan mengunci bibir rapat-rapat, ia telah membuang habis seluruh ego bersama unek-unek yang terakhir kalinya,

“Ma, Pa, bagaimana ujungnya nanti, aku enggak tahu. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa, apalagi sebuah keberhasilan menjadi guru dan penulis apabila definisi sukses adalah menghasilkan banyak uang dan mengangkat derajat keluarga seperti yang dimau. Selama mampu, akan kucoba dan terus berusaha, tapi kalau tanpa restu Mama dan Papa, hakku apa? Sebagai anak, gak mungkin aku melawan orang tua, bukan begitu?”

Dongeng Sebelum TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang