"Gimana, Kak?" todong Giana setelah memamerkan hasil pencariannya siang tadi. Matanya menatap Ariani dengan pandangan berbinar seolah berkata "kerjaku bagus, 'kan?".
Ariani menghela napas panjang. Merasa lega sekaligus gemas dengan tingkah adiknya itu. Ia masih bisa merasakan detak jantungnya yang meningkat sesaat akibat tindak tanduk adik satu-satunya itu. Ariani baru saja membuka pintu, langsung kaget saat ditarik paksa oleh Giana yang sudah berdiri di samping pintu seolah sedang menunggunya.
"Kak, buruan," desaknya membuat detak jantung Ariani bertambah cepat beberapa ketuk. Giana menutup pintu dengan rapat secara terburu-buru, lalu mendorong Ariani masuk ke dalam dan mendudukkannya ke atas sofa. "Kakak harus lihat ini."
Ariani menerima ponsel pintar Giana dengan tangan gemetar. Entah kabar buruk apa yang akan ia terima kali ini. Ia benar-benar sudah lelah.Ia bahkan merasa sudah menghabiskan rasa kagetnya tahun ini akibat kedatangan Briptu Joshua serta Aiptu Andre dan juga pemikiran Giana mengenai situasi mereka saat ini. Ariani benar-benar sudah lelah, ditambah lagi saat ini Sonya—atasannya—sedang uring-uringan akibat proyek baru mereka berskala besar. Sonya benar-benar rewel karena menganggap semuanya masih kurang dan tak sempurna.
"Gimana, Kak? Kakak mau pilih yang mana?" desak Giana tak sabar. Bukannya ia ingin segera angkat kaki dari rumah ini, masalahnya mereka memang benar-benar diburu waktu. Saat ini sudah pukul 01.00 pagi dan mereka harus segera mengurus semua masalah penyewaan rumah sebelum pukul 19.00 malam di hari ini juga. Waktu yang mereka miliki benar-benar tak banyak. Belum lagi bila pemilik rumahnya tak bisa dihubungi atau ada halangan lain yang tak terduga. Secepat mungkin mereka harus membuat keputusan agar bisa bergerak.
"Kakak gak lupa kan tenggat waktu yang diberikan Om Ridwan itu hari ini jam 7 malem?" tanya Giana mencoba memastikan.
Ariani menepuk jidatnya keras. "Gawat! Kakak lupa, Dek. Maaf, ya, harusnya kakak yang bertugas buat mikirin masalah rumah, tapi malah kamu yang sibuk cariin rumah buat kita," ujarnya penuh rasa bersalah.
Giana menggeleng tegas. 'Wajar, kok. Banyak yang terjadi beberapa hari belakangan. Jadi, kakak pasti bisa lupa. Apalagi, di kantor kakak juga sibuk 'kan? Sepertinya di kantor juga lagi masa-masa sensitif, ya?" ungkap Giana penuh pengertian. Bukan tanpa alasan ia bisa menarik kesimpulan seperti itu. Ia bisa melihat dengan jelas kebingungan wajah resepsionis tempat kakaknya bekerja tadi saat ia bertanya bolehkah ia bertemu dengan Ariani ataukah tidak.
"Tahu dari?" Ariani menghentikan pertanyaannya setelah mengingat Giana memiliki kemampuan analisa yang cukup bagus. Gadis berwajah datar tanpa ekspresi itu cepat mempelajari situasi. Maka dari itu, bila ia menyelesaikan pertanyaannya, hanya ia saja yang akan terlihat konyol. Baiklah, kini ia harus kembali ke realita dan memilih calon rumah baru mereka.
Rumah pertama, rumah berukuran 6 x 6 berwarna abu-abu yang lebih dekat dengan jalan besar. Di depan rumah minimalis tersebut terdapat teras kecil yang sudah dilapisi keramik. Ariani bisa membayangkan mereka menghabiskan waktu bertiga saat sore sembari memakan cemilan dan bersenda gurau. Pasti sangat menyenangkan.
Rumah kedua berukuran 9 x 4 berwarna putih gading. Keadaannya sedikit kotor, sepertinya sudah lama tak ditinggali seseorang. Letaknya agak jauh dari jalan besar sehingga sulit mencari kendaraan umum di sana. Mereka harus berjalan keluar terlebih dahulu baru bisa menemui kendaraan umum.
Ariani menatap foto rumah abu-abu dan rumah putih itu bergantian sambil menimbang lebih bagus memilih rumah yang mana. Setelah menimbang cukup lama dan juga ditemani desakan dari Giana, pilihan Ariani pun jatuh pada rumah abu-abu itu.
Giana bersorak gembira. Ia mengecup pipi sang kakak sekilas. "Asyik. Kita memang sehati," soraknya. "Baiklah, nanti pagi aku akan menelepon pemilik rumahnya dan mengurus semua pindahan kita. Sekarang kakak mandi aja dulu," ujar Giana berjalan sembari melompat kecil menuju kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who's the Killer [ON GOING]
Misteri / Thriller[Berisi adegan Kekerasan!!!] Label "anak pembunuh" sudah melekat sempurna pada diri Giana setelah berita resmi ayahnya keluar. Muak dengan label tersebut, Giana memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Awalnya, ia berusaha mencari...