Bab 9 - Pilihan

214 15 0
                                    

Wiliam yang sudah susah payah memaksakan diri untuk melangkah kedepan sekarang jadi begitu penasaran dengan Juwita dan siapa pria yang ia sukai itu. Wiliam kembali terbakar api cemburu dan tenggelam dalam rasa penasarannya. Baru beberapa hari ia dan Juwita tidak bicara dan dengan mudahnya Juwita mencintai pria lain. Ck! Menyebalkan sekali.

Makan malam kali ini juga terasa kurang menyenangkan karena kedua orang tua Wiliam ada di rumah. Suasana benar-benar canggung ketika mereka mulai membahas soal Camila dan merencanakan banyak hal yang sama sekali tak di inginkan oleh Wiliam. Wiliam hanya diam dengan wajahnya yang benar-benar lesu dan sudah terlalu muak dengan semua ini.

"Besok kita makan malam dengan Kakekmu, dengan keluarga Tanoe juga," ucap Antonio memberitau acaranya besok.

"Loh! Bukannya tunangannya masih lama?" tanya Wiliam kaget.

"Iya, tapi Kakekmu ingin memastikan semuanya terlebih dahulu. Dia ingin melihatmu bersama Camila makan malam bersama," ucap Kartika menjelaskan.

Wiliam menelan bantahannya sendiri. Ia tak mungkin membantah orang tuanya apa lagi kakeknya. Mencoba berpendapat baik-baikpun rasanya juga sia-sia. Tak ada yang mau mendengarkan pendapat Wiliam selama ini. Bahkan para pelayan pun tak mau patuh padanya. Hanya satu orang yang bisa mengerti dirinya, Juwita, tapi Juwita juga sekarang mengambil jarak darinya.

***

Juwita begitu senang mengenakan dress baru pemberian Camila. Ia terus mematut dirinya di cermin kamarnya. Ibunya begitu senang Juwita bisa memiliki circle pertemanan yang baik dan bisa bergaul dengan banyak kalangan atas.

Derrrt...derrrt...derrt... ponsel jadul pemberian Wiliam kembali bergetar. Juwita melihat jam. Sudah hampir tengah malam dan Wiliam tetap nekat memintanya bertemu di taman belakang seperti biasanya.

"Tuan Muda?" tanya Susi.

Juwita mengangguk. "Aku akan menemuinya sebentar Bu," pamit Juwita lalu mengambil jaket dan menutupi gaun indahnya di balik jaketnya yang sudah mulai pudar.

Juwita berlari kecil menuju taman belakang yang cukup jauh dari kamarnya beristirahat. Wiliam tampak sudah menunggu dengan secangkir teh hangat di sampingnya.

"Tuan, ada yang bisa ku bantu?" tanya Juwita begitu berhadapan dengan Wiliam.

"Suaoa pria yang kamu sukai?" cerca Wiliam yang sudah begitu penasaran dan terus kepikiran dari tadi.

Juwita mengerutkan keningnya bingung. "Apa maksud Tuan? Aku tidak menyukai siapapun," jawab Juwita kelabakan.

"Alah jangan bohong! Tadi yang kamu bicarakan dengan Camila. Siapa? Siapa temanmu itu?" paksa Wiliam.

Juwita tertawa mendengarnya. "Kalau hanya mau tanya itu, tidak akan ku jawab," goda Juwita yang kembali tersenyum sumringah karena tau Wiliam masih mencintainya dan sekarang tengah cemburu padanya.

"Heh! Jangan main rahasia ya! Kamu ini masih punyaku! Jangan bermain api kalau tidak mau terbakar!" omel Wiliam yang sudah terbakar api cemburu.

"Punyamu? Ah iya aku pelayanmu..." sindir Juwita pelan lalu menundukkan wajahnya dengan murung.

Wiliam menggeleng pelan sambil menghela nafas. "Tidak, bukan itu maksudku..." lirih Wiliam menyesal.

"Aku mengatakan itu pada Nona Camila hanya karena dia mudah cemburu padamu, dan mencurigai semua orang di sekitarmu. Itu saja," jelas Juwita dengan cepat dan sudah tidak bercanda lagi.

Sial senyum sumringah dan wajah ceria itu hilang kembali dan Wiliam mulai di liputi rasa bersalah juga semakin muak dengan kepalsuan dalam keluarganya.

"Juwita..."

"Aku takut di pecat, takut tidak bisa melihatmu, tapi tidak masalah itu perasaanku. Tanggung jawabku sendiri, jangan di pikirkan," Juwita mendongakkan kepalanya untuk menahan airmatanya.

"Juwita..." lirih Wiliam lalu menarik gadis itu kedalam dekapannya. "Kita akan tetap bersama, selamanya selalu bersama. Perasaanmu ada juga karena aku, aku tetap harus bertanggung jawab atas hatimu," ucap Wiliam lembut lalu mengecup kening Juwita.

Juwita mulai memnangis dalam dekapan Wiliam. Ternyata menjadi sadar diri dan memberikan batasan lebih sulit dan menyakitkan dari yang Juwita bayangkan. Ia tak sekuat ucapannya. Ia tetap rapuh dan remuk saat Wiliam tidak ada untuknya dan menjadi sandaran bagi wanita lain. Meskipun Juwita tau ia juga tidak pantas untuk Wiliam.

Wiliam dan Juwita sama-sama kesulitan mengendalikan perasaannya. Jika sebelumnya mereka hanya bisa membayangkan satu sama lain sambil menerka-nerka dan menahan rindu karena tak bisa berjumpa. Sekarang mereka menghadapi hantaman yang lebih besar lagi.

Perasaan itu terus bergulir bagai bola salju, semakin mereka mengabaikannya, semakin mereka mencoba mengelak, semakin besar pula perasaan itu. Rasa rindu yang berubah menjadi hasrat, rasa cinta yang terasa seperti obsesi, interaksi sederhana yang terasa begitu istimewa dan keintiman yang menjadi candu. Rasanya seperti ingin berteriak pada dunia dan meluapkan rasa cinta ini pada semua orang, agar mereka tau jika Wiliam dan Juwita saling mencintai.

Juwita buru-buru menyeka airmatanya begitu ia merasa lebih tenang. Lalu langsung menjaga jarak dari Wiliam.

"Maaf..." ucap Wiliam dan Juwita dengan kompak yang membuat Juwita tersenyum.

"Tuan, lihat aku memakai gaun dari Nona Camila. Bagus tidak?" tanya Juwita yang buru-buru melepas jaketnya untuk memamerkan dress barunya.

Wiliam tersenyum lalu menggenggam tangan Juwita dan mengecupnya. "Kamu cantik, aku suka pilihanmu," puji Wiliam.

Juwita tersibu mendengar pujian Wiliam. Juwita selalu ingat apa yang di sukai Wiliam, Juwita tau persis bagaimana selera Wiliam.

"Aku akan sering menggunakan ini ketika menemuimu," ucap Juwita yang membuat Wiliam menyerah pada benteng pertahanannya dan saat itu juga memutuskan untuk terus bersama dengan Juwita.

"Aku akan membelikan beberapa lagi," ucap Wiliam lalu bangun untuk memeluk Juwita.

"Aku akan menerimanya dengan senang hati, aku akan bersolek untukmu," lirih Juwita sambil mendongakkan kepalanya dan mulai memejamkan matanya menerima ciuman lembut dari bibir Wiliam.

Wiliam melumat bibir lembut Juwita, berbeda dengan sebelumnya kali ini Juwita membalas lumatan bibir Wiliam dengan sama agresifnya dengan yang Wiliam lakukan. Wiliam menjelajahi isi mulut Juwita, dan Juwita mempersilahkannya. Saling melumat, saling menghisap. Tangan Wiliam juga tak tinggal diam. Ia mulai mengelus pinggang ramping Juwita dan meremas bokongnya yang padat berisi. Hingga keduanya kehabisan oksigen dan mulai melepaskan diri dengan benang saliva yang masih terhubung.

"Aku ingin terus bersamamu," lirih Wiliam yang kembali memeluk erat Juwita.

Juwita mengangguk. "Tuan..." lirih Juwita tanpa berani menatap Wiliam untuk menyampaikan perasaannya.

Wiliam menangkup wajah Juwita memaksanya menatap mata Wiliam saat sedang bicara. "Iya Sayangku?" saut Wiliam lembut.

"A-apa...apa boleh aku cemburu padamu?" tanya Juwita yang membuat Wiliam tersenyum sumringah.

"Tentu saja," jawab Wiliam mantab.

"M-maaf aku lancang, tapi aku cemburu saat Tuan bermesraan dengan Camila. Tapi tidak masalah, aku sudah mengatakan perasaanku. Aku sudah lega," ucap Juwita lalu tersenyum.

Wiliam terdiam. Ia tak pernah dalam posisi bisa memilih. Camila adalah keinginan keluarganya dan Juwita adalah pemilik seluruh hatinya.

"Aku tidak berdaya Juwita, besok aku juga harus makan malam bersama Kakekku dan keluarga Camila," lirih Wiliam.

Juwita tersenyum mendengarnya. "Tidak apa-apa Tuan, aku sadar dimana posisiku. Aku tidak memintamu memilihku. Aku sudah cukup bahagia kita bisa bersama dan memiliki perasaan yang sama. Aku akan tetap menemuimu kapan saja selama aku dirumah ini," hibur Juwita.

****

Bersambung...

Gundik Rahasia Tuan Muda [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang