Rela

56 5 0
                                    

Aku, Barcl, dan Iraz kini telah kembali ke asrama putra, dan berada di kamar kami.

Aku masih termenung memikirkan saran yang diberikan oleh Floryn, memang masuk akal tetapi tidak pasti juga kebenarannya. Aku hanya takut... Apabila harus berteleportasi ke tempat baru dan ternyata tak kutemukan satu makhluk pun yang akan menemaniku.

Sementara itu, Barcl dan Iraz mempersiapkan tempat, kalau-kalau ternyata benar kami berteleportasi bersama. Dari raut wajahnya, mereka tampak tidak mengkhawatirkan apapun.

"Nah, pakailah ini." Iraz mengikatkan tali di lenganku yang tersambung dengannya dan juga Barcl.

Tali elastis yang mengikat kuat namun tidak membuat kesulitan bergerak.

Aku mengangguk pelan.

Malam semakin larut bahkan telah mendekati tengah malam, aku belum juga menutup mata. Sementara Barcl dan Iraz sepertinya telah asik di dunia mimpinya.

Aku melamunkan banyak hal, teringat pada Floryn yang begitu tidak peduli padaku sehingga walau aku menghilang pun tak masalah. Tapi bisa jadi sebenarnya dia peduli, namun mungkin begitulah cara dia menunjukkan kepeduliannya, yaitu dengan bersikap acuh.

Hm... Apa yang kupikirkan? Seharusnya aku tidak merisaukan hal ini!, Aku harus mengisi waktu malamku agar tidak tertidur, bagaimanapun caranya.

Aku bangkit dari tempatku berbaring, melepas ikatan di tanganku. Karena aku memutuskan untuk tetap terjaga sepanjang malam ini. Kakiku melangkah menuju balkon.

Aku menengadah menatap langit, sinar bulan menerangi kelamnya malam yang sunyi itu, bintang-bintang bertaburan di angkasa. Berkelap-kelip selayaknya cahaya lampu tumbler.

Apa nanti aku masih bisa menatap langit ini?

Aku bingung harus melakukan apa. Saat tengah berpikir, aku mendengar suara nyanyian lembut dari arah Selatan, tepatnya di asrama putri.

Angin malam yang dingin mengusap kulitku dan membuat rambutku yang sebagian kecil menghalangi mata bergerak tertiup angin sepoi. Aku mengusap pundak, rasanya sedikit merinding. Sendirian menatap bulan dan malah mendengar suara nyanyian perempuan.

Huh, aku tidak sepenakut itu. Aku menatap ke arah asrama putri yang gelap di ujung sana. Jarak antara asrama putra dan putri sekitar seratus lima puluh meter yang di antara keduanya terdapat Akademi tepatnya di sebelah timur. Dan ketiga gedung itu menghadap aula yang membentang luas. Pagar besi yang menjulang tinggi berbaris mengelilingi tempat disana kemudian diakhiri pintu gerbang besar di depan aula. Pintu itu tidak pernah terbuka, bahkan gemboknya sebesar TV LED berukuran 42 inci.

Suara merdu yang kudengar hanyalah pantulan gema dari gedung-gedung itu. Tapi tetap mengalun indah.

Siapa kira-kira manusia yang bernyanyi di malam selarut ini?

Gumaman lagu itu menusuk hatiku. Terdengar seperti Lullaby tapi menyedihkan. Mendengarkannya membuatku seolah ikut merasakan kepedihan yang tengah dirasakan oleh sang penyanyi misterius tersebut.

Aku masuk ke dalam untuk mengambil selembar kertas dan pena, lalu kembali ke balkon. Aku pun menulis sesuatu di kertas itu, setelah selesai menulis, ku buat kertas itu menjadi pesawat kertas. Dengan menghembuskan napas pelan aku menerbangkannya ke arah selatan.

Aku tetap diam menunggu di balkon, mengetuk-ngetuk pagar besi. Tidak ada jawaban. Nyanyian itu juga telah berhenti. Angin malam itu benar-benar dingin hingga membuat bulu kudukku berdiri.

Aku pun berbalik, berniat kembali ke kamar. Tapi sontak aku terkejut ketika merasa ada benda kecil menabrak punggungku. Ku lihat sebuah pesawat kertas tergeletak di lantai. Begitu ku buka, ini... Adalah tulisanku yang tadi.

Adventure Delightful Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang