01 ; Night Rain

187 19 1
                                    

Hujan deras mengguyur kota saat itu. Meski jalanan sudah basah bahkan terlihat banyaknya air yang mengalir di permukaan jalan layaknya banjir kecil, masih banyak kendaraan besar antar-kota yang lalu-lalang dengan lampu-lampu menyala. Langit sudah mulai gelap, namun tidak menujukkan tanda-tanda hujan akan segera berhenti.

Yuli menghela napasnya. Ia baru saja turun dari bus yang mengantarnya dari kota asalnya menuju kota tempatnya merantau untuk melanjutkan pendidikannya. Namun, kini gadis itu dilanda kebingungan. Di sebuah halte bis Yuli merasa seperti terjebak karena tidak mendapatkan satupun taksi online yang bisa mengantarkannya ke kost barunya. Dengan alasan hujan deras, semua pesanan Yuli ditolak.

Melihat tetesan air hujan yang kian menit semakin merapat itu, Yuli berpasrah apabila ia harus terjebak di halte itu semalaman, karena ia tidak memiliki siapapun yang dapat dihubungi. Sambil merapatkan jaket tipis yang dikenakannya, Yuli kembali mengecek ponselnya, berharap ada secercah cahaya yang dapat membantunya keluar dari kegelapan ini.

Detik itu juga, Yuli akhirnya bisa bernapas lega. Ada driver yang menerima pesanannya dan mobil itu telah berhenti di depan halte tempat ia berteduh. Yuli pun berlari kecil sembari membawa barang-barang bawaannya menuju mobil tersebut.

"Atas nama Brianna?" tanya driver tersebut begitu Yuli masuk ke dalam mobilnya.

Yuli mengangguk, "Iya, Pak," jawab gadis itu.

"Ke kost biru ya?" tanya driver itu kembali memastikan.

Dan Yuli kembali menjawab dengan, "Iya, Pak,"

"Kebetulan saya sering kesana karena ada kenalan saya yang ngekost disana. Mbanya penghuni baru, ya?" tanya driver yang memang terlihat masih muda itu.

"Iya, saya baru datang hari ini," jawab Yuli.

Kemudian semenjak itu, si driver yang Yuli ketahui bernama Agam itu berbicara tentang segala hal mulai dari dimana dia tinggal, sudah mendapatkan berapa penumpang, bahkan sampai mengomentari tentang sulitnya ekonomi saat ini. Sedangkan Yuli hanya mengangguk mendengarkan dan menyahuti apabila pembicaraannya sesuatu yang ia ketahui.

Hingga tak terasa, kost biru yang menjadi tujuan mereka kini sudah berada di depan mata. Yuli tidak menyangka kalau kost yang akan menjadi tempat tinggalnya selama beberapa tahun ke depan itu ternyata lebih besar dan lebih bersih dari yang dipikirkannya.

"Sudah sampai, Mbak." ujar Agam sambil melepaskan sabuk pengamannya dan bersiap turun untuk membantu membawa barang-barang milik Yuli.

Yuli mengangguk pelan dan ikut turun sambil membawa tas ransel yang sedari tadi dipeluknya.

Agam mulai mengeluarkan barang Yuli satu persatu dari bagasi mobilnya. Beruntung hujan sudah mulai reda sebelum mereka tiba di kost, jadi kini mereka tidak memerlukan payung untuk berteduh.

"Udah semua, kan, barangnya?" tanya Agam sebelum menutup kembali pintu bagasinya.

Yuli mengangguk pelan, "Sudah, Pak. Terimakasih banyak," gadis itu menunduk kemudian memberikan beberapa lembar uang sejumlah tarif taksi online sesuai dengan aplikasi tempat ia memesannya tadi.

Agam tersenyum dan mengangguk menerima uang yang diberikan Yuli, "Panggil Kak saja, saya masih kuliah tahun ke 4,"

Yuli spontan menutup mulutnya malu, kemudian membugkukkan badannya, "Maaf, Kak,"

Agam terkekeh, "Gapapa, Mba." ujarnya. "Ini, saya duluan gapapa kan? Atau perlu saya bantu bawa masuk barang-barang Mba ke dalam kost?"

"Eh, gak usah Pak, eh, maksudnya Kak," Yuli melambaikan tangannya.

Agam terkekeh, "Kalau gitu saya duluan ya, Mba," pamit lelaki itu kemudian kembali masuk ke dalam mobilnya.

Yuli mengangguk menatap kepergian mobil yang menjadi penyelamatnya di saat ia sedang bingung-bingungnya tadi. Ternyata masih ada orang baik di dunia yang kejam ini.

Yuli mulai mengangkat kopernya dan beberapa tas kecil yang bisa dibawa dengan tangannya kemudian membunyikan bel yang ada di pintu kost.

Tak menunggu waktu lama, pintu terbuka dan muncullah seorang gadis tinggi dengan senyum ramah menyambut kedatangan Yuli.

"Yuli ya? Penghuni baru, kan?" tanya gadis itu.

Dengan senyum canggung, Yuli mengangguk pelan, "Iya,"

"Oh iya, kenalin, gue Hera," ujar gadis tinggi bernama Hera itu mengulurkan tangannya.

Yuli kembali tersenyum, membalas uluran tangan Hera, "Salam kenal, Hera,"

"Ayo masuk. Aduh, pasti lo capek banget. Kehujanan ya tadi di jalan?" cecar Hera sambil merangkul Yuli dan membantunya membawa barang-barang untuk dibawa masuk ke dalam kost.

Yuli yang masih merasa canggung hanya dapat tersenyum, bingung harus menjawab apa.

"EH, bantuin ini ada anak baru. Lo pada gak denger apa yang dibilang Pak Johnny tadi?!" seruan Hera dengan suara yang cukup lantang itu mampu membuat tiga orang lelaki yang sedang bermain game di depan televisi segera beranjak menghampiri Hera dan Yuli.

"Mana yang harus gua bawa?" tanya lelaki dengan rambut agak gondrong.

"Ini bawa kemana ini?" tanya lelaki tinggi yang udah siap membawa koper besar milik Yuli.

"Ini udah pada lo bawa, terus gua bawa apaan?" tanya lelaki satunya kemudian melirik Yuli, "Oh, gua bawa enengnya aja gimana?"

Tanpa aba-aba Hera langsung memukul lengan lelaki itu, "Heh Pian! Anak baru aja udah lo ganjenin,"

Vian yang kena pukul langsung meringis pura-pura kesakitan, "Iya ampun dah," ujarnya mengelus lengannya, "Lo mau dibantu bawa ranselnya gak?"

Yuli yang merasa ditanya menoleh, "Eh, iya, boleh," gadis itu melepaskan ransel yang sedari tadi dipakainya kemudian memberikannya pada Vian.

Kemudian, Hera, Yuli dan ketiga lelaki itu naik ke lantai dua untuk meletakkan barang-barang milik Yuli ke kamar barunya.

"Ini kata Pak Johnny lampunya baru ada nanti agak malaman, soalnya beliau belum pulang. Paling sekitar jam 9-an. Ntar kalau udah ada minta tolong pasangin si Shaka aja tuh," ujar Hera menunjuk lelaki jangkung yang tadi membawa koper Yuli.

Yuli mengangguk pelan, "Makasih ya, Hera. Gue jadi ngerepotin dan ganggu waktu santai kalian,"

"Eh, gapapa. Gak ngerepotin kok. Emang udah seharusnya itu cowo-cowo kerja biar gak mabar terus kerjaannya. Apalagi si Bian tuh," jawab Hera menunjuk Bian, lelaki berambut gondrong yang kini membulatkan matanya.

"Yeee, sirik aja lo," ujar Bian menyikut lengan Hera.

"Eh, iya ntar kalo jam 9 lampunya belum ada, ke kamar gua aja," kata Vian yang kedengeran kayak flirting.

"Astaga Pian, kamu mau berbuat apa?" tanya Shaka pura-pura kaget.

"Mau gua pinjemin lampu elah, kotor amat pikiran lo," sahut Vian.

"Lo pada awas aja pada nakalin Yuli ye, gue tendang satu-satu tulang kering lo pada," ancam Hera yang cukup bikin ketiga lelaki itu bergidik.

"Yaudah kita turun dulu ye," ujar Shaka mendahului kedua temannya untuk turun dari lantai dua.

"Kalau ada apa-apa calling Abang ya, Neng," ujar Vian mengedipkan matanya pada Yuli.

"Anjir, Pian gue jorokin juga lo ke bawah," ancam Hera yang udah siap mengangkat kakinya.

Sebelum keributan terjadi, Bian langsung menyeret temannya itu untuk segera turun.

"Oh iya Yul, gue balik dulu ya. Kalau ada butuh apa-apa, lo bisa ngetuk pintu kamar nomor 12 itu, kamar gue," ucap Hera sebelum meninggalkan Yuli di kamarnya sendiri.

Yuli mengangguk, kemudian sepeninggal Hera, ia masuk ke dalam kamarnya untuk merapikan barangnya. Meski belum sanggup merapikan secara keseluruhan, karena selain lelah, lampu kamarnya belum ada jadi keadaannya masih gelap.

Yuli merebahkan dirinya di atas kasur ranjangnya yang belum beralaskan sprei. Perjalanan hari ini cukup melelahkan dan menguras energi. Ia jadi memikirkan, bagaimana kehidupan kedepannya di kost ini nanti?

Bright Azure ; 01LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang