Bagian 1

473 9 0
                                    

Matahari masih belum muncul, bagaimana tidak, ketika gorden disibak saja langit masih sendu temaram.

"A, bangun." Devi menepuk sebelah pipi Danu yang masih bertelanjang dada di atas ranjang.

Rambut Devi masih berbalutkan handuk karena perbuatan hangat mereka semalam. Sebelum Danu menghilang satu sampai dua minggu ke depan, pasangan suami istri ini selalu menyempatkan diri merawat cinta yang sudah berjalan delapan tahun.

"A, ih. Udah jam setengah lima lebih lima menit, lho," ucap Devi lagi sambil mengusap-usap kening pria yang memiliki mata bulat dan rahang tegas itu.

Danu hanya berdeham sebentar lalu berpindah posisi. Kemudian melanjutkan kantuknya yang belum usai.

Devi hanya menatap Danu sekilas lalu kembali ke samping nakas untuk melipat sajadah dan mukena yang tadi ia gunakan sembahyang subuh. Iris mata cokelat muda itu memandang tas ransel berwarna hitam yang tergeletak di ujung meja rias. Benda itu sebentar lagi akan hilang seiring sang empunya meninggalkan rumah.

Terdengar napas pendek-pendek dari rongga pernapasannya. Ia tak mau jika harus seperti ini setiap awal pekan. Merasa sedih saat melihat punggung Danu perlahan menjauh.

Langkah Devi mundur setelah menyimpan sajadah, kemudian kembali memandang wajah Danu yang masih terlelap. Perlahan tulang panggulnya bersatu dengan sisian ranjang. Tangan lentik, kurus nan putih itu mengelus pelipis tegas sang suami. Lalu tak lama membenamkan diri dalam pundak lebar milik sang pria.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, lengan lebar milik Danu melingkari pinggang Devi dengan lembut.

"Sabar, Sayang. Dua minggu lagi kita ketemu. Okay?"

Devi tak menjawab, ia terus melesakkan wajah dalam benaman dada bidang Danu.

"Kalo aku ikut aja ... gimana, A?" tanyanya merajuk. Pupil hitam itu membola menatap penuh harap pada pria yang tengah mendekapnya erat.

Perlahan pelukan itu mengendur, dua raga yang saling rapat agak memudar mundur. "Terus ... orang tua kita gimana?" tanya Danu mengerutkan kening.

Devi mundur beberapa inci. Ia menegakkan tubuhnya menjadi duduk di punggung ranjang.

"Ya udah, A. Demi kebaikan kita bersama," jawabnya sambil menunduk. Jari dari dua tangan itu dimainkan ragu. Terkadang helaan napas kasar terdengar dari dua lubang hidungnya.

Danu dan Devi adalah teman bermain sejak kecil, orang tua mereka pun tetangga satu kampung–dan sekarang sudah sepuh.

"Kalo gitu aa mandi dulu terus siap-siap berangkat, ya?" Izinnya sambil membuka selimut yang sejak semalam membungkus raganya yang atletis.

Devi hanya mengangguk pasrah.

Perempuan yang memiliki rambut sebahu itu masuk ke dapur dan menyiapkan bekal untuk Danu. Tangannya cekatan menakar beras dan bahan mentah lain.

"Dev," panggil Danu dengan handuk di lengannya. Netra bulatnya seakan hendak memberitahukan sesuatu.

Namun, Devi hanya berdeham sambil pikirannya fokus mengaduk beras mentah dengan tangan telanjang di bawah kucuran wastafel.

"Hm, aku nggak usah dibekelin nggak apa-apa. Beli sarapan aja di deket kantor," ujarnya dengan pandangan bersalah. Bagaimanapun, sekitar sepuluh sampai lima belas menit lagi Danu harus berangkat ke tengah kota.

Pukul lima kurang sepuluh menit Danu sudah melambaikan tangan di depan pagar yang terbuat dari rangkaian bambu. Motor bebek berpulas merah-hitam yang sudah menemaninya sejak awal pernikahan itu menyiarkan sinar lampu kuning samar menjelang pagi. Jaket kulit hitam, ransel hitam dan helm merah akan menemani perjalanannya selama dua jam ini dengan setia.

Sedang Devi hanya menatap sendu di balik kosen pintu. Air muka perempuan itu tampak sedih melepas kepergian Danu.

Matahari mulai terbit saat pria berusia dua puluh delapan tahun itu berdesakan di jalanan bersama ratusan kendaraan lain di satu ruas kiri yang sama. Matanya awas menghindari pengendara lain atau perempatan yang padat karena persimpangan manusia. Belum lagi kawasan sekolah yang ramai dengan hilir mudik pelajar–pun satpam yang membantu menyeberangkan makhluk kecil berseragam merah-putih itu.

Sesekali napasnya kasar karena harus menarik tuas rem kuat-kuat karena kendaraan umum seperti bus dan angkot yang berhenti tiba-tiba, apa lagi saat Tuhan mempertemukannya dengan ibu-ibu yang menyalakan sein kanan lalu ia melaju kencang lurus dan berbelok ke kiri.

"Hei, Danu," sapa seorang pria yang tingginya sepantar saat ia membuka pintu utama kantor dengan napas memburu.

"Hei," jawab Danu datar.

Pria ini bukan tipikal ceria yang akan membalas panjang basa-basi orang atau memulai suatu percakapan di satu forum tak resmi. Ia akan cerewet hanya pada Devi ... dan Indira–kekasihnya yang baru saja melaksanakan kelulusan SMA minggu kemarin.

"Target kemaren gimana?" tanya rekan kerjanya lagi sambil memutar jempolnya di fingerprint.

Danu menoleh pada Ifan sekilas lalu memperhatikan fingerprint kembali. Tepat pukul tujuh lebih dua puluh delapan menit, presensinya di kantor telah terdeteksi oleh alat tersebut.

Syukurlah aku tidak telat. Ucap batinnya menggema.

"Ayo, Dan." Ifan melangkah terlebih dahulu ke anak tangga pertama.

Pukul setengah delapan tepat, Danu bersama manajer, asisten manajer, group leader, dan rekannya sesama tim marketing akan melaksanakan meeting rutin selama sepuluh menit. Bahasan mereka tak jauh dari target dan pencapaian. Bosan.

"Jaya! Jaya! Jaya!" Seru satu ruangan di lantai dua. Tiga kata sudah terucap, berarti meeting pagi ini pun usai.

Danu berjalan cepat ke meja kerjanya. Tangan kanan kekar itu buru-buru membuka laci. Ponsel berwarna merah terus berkedip, banyak sekali pesan dan telepon dari Indira.

Indira:
A, nanti sarapan bareng, kan?

Dua sudut bibirnya melengkung membentuk bulan sabit. Ponsel kedua yang sengaja ia taruh di laci setiap weekend itu akhirnya terjamah kembali. Pikirannya membayangkan gadis belia berusia delapan belas tahun yang masih ranum dan segar, berbeda dengan istrinya Devi. Perempuan yang sudah berusia dua puluh delapan tahun itu menampilkan tiga kerutan di samping netra kanan dan kirinya, pun kulitnya tak sekencang dulu.

Danu:
Iya, Sayang. Nanti jam delapan aa jemput kamu.

Dengan segera ponsel berwarna merah itu melesat masuk ke dalam seragam kemejanya yang berwana biru telur asin, menukar posisi letak dengan ponsel satunya yang berwarna hitam pekat.

Netra bulat itu memandang sekejap pada layar bening ponsel satunya sebelum dimasukkan ke dalam ransel. Ada dua chat masuk dari Devi.

Devi:
A, aku udah kangen lagi. Aa udah sampe? Jangan lupa sarapan.

Danu menghela napas pelan sebelum panggulnya bertegur sapa dengan kursi besi berbantal busa biru gelap di ruang kerja. Di layar tersebut menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Saatnya dia menjemput Indira di rumahnya. Pasti gadis itu sudah duduk di kursi kayu depan pintu utama rumahnya.

Danu:
Sudah, Sayang. Siap. Kamu juga.

Jawabnya dengan terburu-buru. Kemudian sebelah tangannya sigap mengubah metode dering menjadi senyap dan membenamkan ponsel hitam itu di antara berkas-berkas tagihan yang harus ia hadapi hari ini.

Sebetulnya, agar Indira tak mengetahui keberadaan Devi dalam hidupnya juga.

***

Halo ~

Aku datang bawa cerita baru, lho. Happy reading, yaaa.
Jangan lupa vote dan komen, okay?

Salam,

Author 💙

Bukan Istri KeduaWhere stories live. Discover now