Bagian 3

317 2 0
                                    

Danu menuruni anak tangga dengan wajah datar. Sejak kemarin sore ia kena semprot oleh Pak Bagus–asisten manajer, karena target penjualannya menurun. Pun tunggakan sekolah-sekolah SMP yang ia tangani hampir tak ada kemajuan.

Sesekali tangan besar dan putih miliknya mengusik kasar surai rambut lurus yang sudah ia sisir rapi tadi pagi di kos. Langkahnya masih santai saat menemui anak tangga terakhir. Hingga ia memutuskan untuk berbelok ke kiri, ke ruang administrasi. Di mana uang senilai dua puluh lima juta yang ada dalam ransel akan segera pindah tangan.

Desain ruangan administrasi paling 'tertutup' jika dibandingkan ruangan lain yang cenderung lebih terbuka dan bisa dijangkau siapa saja. Maklum, dalam ruangan ini terdapat dua brankas uang, berkas-berkas penting sejak tahun 2010, alat penghitung uang, dua komputer besar dan benda-benda lain yang dianggap berharga. 

Bahkan ruangan yang dihuni oleh dua orang ini memiliki pintu sendiri dengan dinding kaca di sekelilingnya. 

"Weh, si Danu. Ke mana aja kamu?" sapa perempuan bertubuh gendut di belakang komputer besar yang tengah sibuk menggeser-geser mouse ke kanan dan kiri. Mata bulatnya membeliak saat bertemu tatap dengan pria dingin, datar, nan tampan seperti Danu.

Tanggapan Danu tak akan seheboh yang dibayangkan. Pria itu mendongak sebentar lalu menoleh ke arah ranselnya yang sudah ia turunkan ke atas sofa hitam di depan dua layar komputer yang tengah beroperasi.

Tangan kanannya sibuk merogoh isi tas, mencari bundel uang yang ditaruh di dalam dua lapis keresek hitam yang diikat dengan karet gelang merah. Saat benda itu dapat ia jangkau, dengan segera lengan kekar itu menariknya keluar.

Raga tegapnya berjalan ke arah meja Tami–bagian keuangan yang tengah sibuk mem-barcode kertas biru tipis yang tebalnya hampir lima sentimeter.

"Sini sama aku aja, si Tami lagi sibuk." Wanita gendut itu kembali berceloteh dengan suara yang menggelegar. Senyumnya terus mengembang kala melihat layar komputer yang tengah menayangkan acara makan-makan di salah satu channel youtobe luar negeri. Sesekali rahangnya terbuka lebar karena adegan lawak para pemain. 

Wanita itu bernama Yesi, usianya sudah tiga puluh enam tahun dan belum menikah. Baginya pernikahan tak begitu krusial. Berbeda dengan Danu. Bahkan dirinya ada niatan menikahi Indira meski pun telah memiliki Devi.

Kala tungkainya sampai di ujung meja administrasi, bundel keresek itu diberikan pada Yesi.

"Berapa ini?" tanyanya menyelidik dengan mata besar dan membulat.

"Dua puluh lima juta," jawab Danu sambil menahan kuap.

Bersamaan dengan itu ponsel merahnya berbunyi. Saat benda persegi panjang itu dikeluarkan dari saku jaket, ada pesan baru dari kekasih gelapnya.

Indira:
A, sarapan bareng kan?

Terkadang, Danu merasa bahwa pacar remajanya ini kurang tahu waktu. Ia tak mengerti jika kegiatannya di pagi hari bukan hanya menemaninya sarapan. Namun, dengan raut wajah sedatar keramik, Danu cepat membalas chat tersebut sebelum gadis itu menerornya dengan puluhan spam chat.

Yesi membawa bundel kuitansi dan beberapa berkas kelengkapan setoran lainnya sebagai prosedur pembayaran tunggakan di batas meja antara dirinya dan Tami. Kemudian wanita setengah baya itu sibuk menghitung uang lima puluh ribuan di mesin penghitung.

"Pas, ya," ucap Yesi.

Kemudian wanita yang memiliki bulu mata lentik itu keluar dari kursi kerja dan berjalan ke arah brankas, mengeluarkan beberapa bundel uang lainnya yang disetorkan tim marketing kemarin sore.

"Aku ke bank dulu. Kalo butuh apa-apa ke Tami aja," ujarnya sambil memasukkan uang-uang itu ke dalam tasnya.

Danu hanya mengangguk. Kemudian mengikuti langkah Yesi ke arah parkiran. Sudah waktunya ia menjemput Indira untuk sarapan.

Bukan Istri KeduaWhere stories live. Discover now