1. Abia Senja Kumala

54 17 11
                                    

Gadis cilik dengan baju kodok pendek serta rambut yang dikepang dua itu duduk disudut tempat tidurnya. Ia menekuk lutut dan menutup erat kedua mata serta telinganya, ia sama sekali tak ingin mendengarkan suara riuh rumah yang dihuninya. Bentakan demi bentakan yang keras, barang yang dibanting, bahkan kata-kata kasar yang terlontar dari mulut dua orang yang katanya harus menjadi contoh yang baik bagi anaknya, namun tidak, orang tuanya sama sekali tidak pernah melirik ataupun memikirkan anak sulungnya itu.

Abia Senja Kumala—gadis cilik itu—mengusap kasar air mata yang tak disadari mengalir dipipinya itu, tangannya dingin, tubuh kecilnya terasa bergetar. Ia mengatur napasnya, dan terus menguatkan dirinya sendiri sekalipun ia selalu mendengar suara pertengkaran diluar sana. Suara pertengkaran kedua orang tuanya yang setiap hari selalu mengusik kedamaian hidupnya.

Senja muak.

Suaranya semakin riuh, semakin berisik. Bocah berusia 11 tahun itu sudah tidak tahan lagi. Ia turun dari tempat tidurnya, kemudian berjalan mendekati suara bising yang mengganggu pikirannya itu.

Adista—Ibu Senja—yang menyadari keberadaan putri sulungnya itu langsung memberi tatapan tajam.

"Kamu ngapain? Balik ke kamar kamu, Senja!" ucap Adista tegas.

"Ini urusan orang dewasa, kamu nggak perlu ikut campur." lanjutnya.

Senja menatap sayu ke arah kedua orang tuanya, menatap dengan tatapan sakit. Matanya sudah berkaca-kaca, air matanya terus ia tahan padahal sudah seharusnya jatuh sedari tadi, bahkan ia harus tetap berdiri sambil menahan sesaknya dada yang seperti dihantam tombak.

Lidahnya yang terasa kelu, mulut yang juga kaku untuk berbicara itu ia paksakan untuk mengeluarkan isi hatinya.

"Mama sama Papa bisa nggak sih sehari aja nggak berantem? Sehari aja,"

"Mama sama Papa nggak capek apa berantem terus?,"

"Senja aja capek dengernya, Mah, Pah!"

"Kenapa kalian egois?"

Ucapan dari bocah itu semakin memancing amarah dari kedua orang tuanya.

"DIAM YA SENJA, NGGAK USAH IKUT CAMPUR URUSAN ORANG TUA. BALIK KE KAMAR KAMU SEKARANG ATAU VAS INI BAKAL MELAYANG KE MUKA KAMU??!" bentak Abrama—Ayah Senja—dengan vas bunga yang sudah berada di tangannya.

"SINI, LEMPAR KE NJA, PAH! SINI!!" ucap Senja menunjuk ke mukanya sendiri.

"Kurang ajar!"

Pyarr

Vas itu pecah, serpihannya berserakan dimana-mana. Lemparannya tepat mengenai rahang bagian kanan milik gadis cilik itu. Senja hanya bisa menatap sang Ayah sambil memegangi pipinya yang terasa perih dan panas. Ia sama sekali tak habis pikir dengan Ayahnya itu, Ayah yang seharusnya mengasihi anaknya, menyayangi dan mencintai anaknya dengan sepenuh hati, nyatanya hanya bisa memberi luka kepada dirinya.

"Itu akibat jika kamu tidak mendengarkan saya, Senja." kata Abrama.

Senja hanya bisa tersenyum getir kearah kedua orang tuanya yang kini sama-sama menatap dirinya.

"Hahaa, ini ya? Ini bukan apa-apa, Pah." kata Senja memegangi lukanya.

"Nja udah biasa sama semua ini, Nja udah nggak kaget, Mah, Pah."

"Tapi, Nja nggak munafik, Nja juga nggak bisa kalau disuruh diam terus. Nja punya perasaan, Nja juga manusia biasa yang bisa dan punya rasa capek."

"Nja berani bilang kaya gini juga bukan karena Nja mau ngelawan Mamah dan Papah, bukan. Tapi, Nja capek, Mah, Pah,"

Sajak Sastra SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang