Bagian Empat

240 47 2
                                        

Terkadang, aku ingin kembali ke masa lalu. Menulis ulang takdir yang telah aku lewati, dengan menolak untuk mengenal seorang Uchiha Sasuke.

"Uchiha Sasuke. Kau?"

"Apa?"

"Siapa namamu, bodoh?"

Keluarga Uchiha pindah ke komplek tempatku tinggal ketika aku berumur lima tahun.

Mereka menempati rumah kosong yang tidak berpenghuni selama dua tahun. Jadi, dulu aku tidak berani mendekati mereka karena takut. Terbayang di otakku bahwa barangkali mereka adalah keturunan hantu atau siluman karena berani menempati rumah kosong itu dengan percaya diri. Jadi, aku memilih untuk menjaga jarak dari keluarga Uchiha sampai pada saat aku akan menangis ketakutan bila bertemu mereka.

Namun, keluarga itu mungkin menganggapnya sebagai hal yang lucu.

Mereka menikmati menertawaiku yang seperti orang bodoh saat itu, dan aku marah karenanya, lalu menyembunyikan diri di gudang rumah yang penuh debu.

Melihat bagaimana aku merajuk, keluarga Uchiha barangkali merasa bersalah.

Jadi, mereka mengirim Sasuke untuk menghiburku, yang kemudian pada suatu hari akan menjadi sumber dari segala masalahku.

Kami menghabiskan waktu sebagai teman selama bertahun-tahun, berhubungan selayaknya teman baik yang tidak terpisahkan, kami kemudian memutuskan untuk menjalin hubungan sebagai pacar yang didukung oleh teman-teman kami sewaktu SMA.

Sayangnya, itu mungkin seharusnya tidak boleh terjadi. Seharusnya, kami tidak usah menjalin hubungan saat itu, jika tahu bahwa setelah itu hanya malapetaka yang terjadi.

Tepat ketika aku lulus SMA, aku dan Sasuke,

berpisah.

"Hah? Gila! Serius kau tinggal bersamanya?!"

Ino memekik kencang hingga membuat gendang telingaku berdenging.

"Ino, tolong tenang."

"Tidak Hinata, maksudku yah, kau tahu... Aduh! Lebih baik kau tinggal bersamaku saja!" Ino berteriak lagi dengan wajah cemas yang tampaknya akan membuatnya lima tahun lebih tua dari sekarang.

Aku menghela nafas panjang, sedikit menyesali keputusanku untuk bercerita dengan Ino karena kami mendadak menjadi pusat perhatian sekarang. Tapi kupikir, bercerita dengan Ino memang keputusan terbaik karena dialah yang tahu bagaimana hubungan terjalin.

Maksudku, dia temanku dari jaman sekolah menengah pertama yang mengetahui bagaimana kehidupanku selama ini. Teman SMP, SMA, Kuliah, dan bahkan kerja.

Dibandingkan aku, Ino mungkin lebih mengetahui tentang diriku sendiri mengingat betapa lamanya kami berteman.

"Aku akan segera pindah." Putusku sembari kembali berkutat dengan komputerku. "Aku akan segera mencari apartemen yang dekat dari sini."

Ino menggeser kursinya ke arahku, menarik tanganku yang sibuk mengetik di keyboard, dan membuat seluruh atensiku kembali pada dirinya yang kini masih memasang wajah cemas.

"Kau yakin, Hinata? Daerah di sekitar sini tidak begitu aman karena kasus itu. Kau tinggal bersamaku saja." Bujuknya padaku.

Sempat otakku berpikir demikian. Tinggal bersama Ino di ibukota jelas hal yang baik sejak awal. Kami perempuan, dan akan lebih baik jika tinggal berdua di tengah padatnya kota Konoha. Tapi, ibuku menolaknya tanpa pikir panjang. Ia lebih rela aku pulang pergi antar kota dibandingkan harus tinggal di apartemen Ino. Ini bukan karena ibuku membenci Ino. Ini hanya karena beliau tidak ingin aku tidur di tempat yang tidak terjamin keamanannya. Tak jauh-jauh, ibuku adalah tipikal strict parent, bahkan kepada anak perempuannya yang sudah dewasa.

UnperfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang