Bagian Tujuh

353 39 7
                                        

Dini hari pada jam dua pagi, Sasuke akhirnya dibawa ke rumah sakit, berbaring di ranjang dengan selang infus yang terhubung ke tangan kirinya.

Dia terkena demam berdarah.

Keputusan yang benar bagiku untuk memaksa Sasuke datang ke Rumah Sakit setelah lelaki itu menolak sebelumnya, dengan alasan bahwa ia baik-baik saja. Tapi nyatanya, ia berbohong. Aku tahu benar tentang hal itu, dan karenanya, setelah suasana canggung yang sempat terjadi di antara kami, aku tetap memaksanya untuk datang menjalani pemeriksaan.

"Mau minum, Sas?" Tanyaku, sembari menyodorkan sebotol air minum kepadanya yang ia tanggapi dengan anggukan pelan.

Sasuke menerima botol dariku. Ketika jarinya tidak sengaja menyenggol lenganku, aku bisa merasakan suhu tubuhnya yang kelewat panas.

Dia benar-benar sakit.

Mendadak, pikiranku berkelana pada momen bertahun-tahun yang lalu, saat aku masih kecil, dan dibawa ke rumah sakit karena tulang tanganku  patah akibat jatuh dari pohon. Sasuke yang kala itu masih kecil, datang dengan tas punggung sekolah, lengkap dengan seragamnya yang belum diganti.

Ia selalu datang ke rumah sakit selepas bel pulang sekolah berbunyi. Kemudian menemaniku hingga malam hari datang, dimana akhirnya, Sasuke harus membuat wajah sedih karena harus pulang, meninggalkanku di rumah sakit yang penuh dengan bau obat.

Itu kejadian yang lama sekali.

Barangkali saat aku masih menduduki bangku sekolah dasar.

Aku raih ponsel di saku jaketku, kemudian mengetikkan pesan kepada Bibi Mikoto. Sekedar memberi tahu bahwa putranya kini terbaring di rumah sakit karena demam berdarah, dan kemudian kembali menaruh ponsel pintar itu di saku setelah pesan terkirim. Aku tidak mengharapkan balasan dari Bibi Mikoto mengingat jam berapa sekarang ini.

Ini hampir jam tiga pagi dan tentu saja semua orang masih tertidur sekarang.

"Kau mau makan?" Aku menerima botol air minum yang sebelumnya dipegang Sasuke, dan menaruhnya di nakas.

"Tidak perlu."

Balasan singkat itu datang dan akhirnya aku memilih untuk diam, duduk di kursi sebelah ranjang pasien sembari melihat selang infus ditangan pria itu dengan canggung.

Aku.......

seharusnya pulang, kan?

Sembari membasahi bibirku yang mendadak kering, aku termenung.

Benar, aku seharusnya pulang dan melanjutkan tidur, mengingat besok masih banyak pekerjaan yang harus aku urus. Tapi, rasanya kakiku enggan melangkah.

Lagipula, jika aku pergi,

Sasuke akan sendirian.

Namun, seharusnya itu bukan masalah, kan?

Sasuke sudah dewasa, dan barangkali keberadaanku disini juga sangat aneh. Apa maksudnya dengan orang yang bersikap dingin padanya di hari-hari sebelumnya kini malah bersikap baik dengan menjaganya di rumah sakit?

Jika aku menjadi Sasuke, jelas aku akan kebingungan.

"Kau bisa pulang, aku bisa sendiri."

Aku dongakkan kepalaku menatap Sasuke ketika pria itu tiba-tiba berkata demikian. Itu tawaran yang seharusnya menjawab apa yang aku resahkan kali ini.

Pulang.

Sasuke menyuruhku pulang. Kembali tidur, dan bekerja pada keesokan hari seperti biasanya.

Tapi, seolah ada yang mencegahku pergi sekarang, barangkali kakiku sekarang terasa kaku hingga rasanya terlalu malas untuk melangkah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UnperfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang