Bagian Enam

239 37 2
                                        

Jam enam pagi, aku sudah berangkat ke kantor yang mengundang rasa keheranan satpam penjaga. Sengaja aku lakukan agar aku tidak bertemu Sasuke setelah apa yang kami perdebatankan fajar tadi. Yah, meski sekarang aku menjadi seperti manusia hilang yang duduk sendirian di depan meja kerjaku dengan wajah mengantuk.

Aku hanya tidur kurang lebihnya tiga jam sebelum pertengkaran itu terjadi, dan setelahnya, aku tidak bisa tidur sama sekali, menghabiskan waktu untuk menangis hingga pagi.

Mataku bengkak sekarang, dan ini sudah tiga puluh menit sejak Ino mengomeliku tentang apa yang terjadi.

"Sepertinya, hidup dengannya hanya membuatmu menjadi sering menangis," gerutu perempuan itu dengan wajah merengut.

Ino duduk di sebelahku, dengan berbagai alat tempur make up di tangannya untuk membenahi wajahku yang terasa bengkak. Mataku lebih sipit dari biasanya dan ini tidak menyenangkan karena membuatku terlihat aneh.

"Pindah sajalah Hinata, aku akan segera mencarikanmu apartemen baru. Oh, aku juga bisa mengusir Sai dan menyuruhnya kembali ke rumahnya yang besar itu. Bagaimana?"

Itu tawaran yang konyol.

Meski aku juga ingin cepat-cepat pindah, mencari apartemen strategis di era kasus pembunuhan ini bukan hal yang mudah, dan membiarkan Sai pergi yang berarti penjagaan untuk Ino berkurang juga bukan hal yang baik. Oh Tuhan, aku tidak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu kepada Ino dan tidak ada yang melindunginya.

Lebih baik untukku tinggal bersama Sasuke daripada melihat temanku terkena bahaya. Aku ingin melihat Ino aman, selamanya.

"Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak." Sejenak, aku melirik ponsel pintar milikku yang tergeletak di meja sebelum akhirnya menghela nafas. "Aku sudah menelpon Shino tentang apartemen terdekat, tapi belum ada kabar," keluhku dengan wajah tidak puas.

Seperti apa yang aku katakan sebelumnya, mencari apartemen baru itu tidak mudah.

Aku raih masker yang kuletakkan di meja selama Ino membenarkan riasan wajahku, dan kemudian memakainya, tak lupa dengan kacamata bulat yang kini bertengger di hidungku. Sengaja aku kenakan untuk menutupi wajahku yang kacau. Tidak akan baik menerima perhatian banyak teman kantor karena wajahku bengkak karena acara tangis menangis, kan?

Kemudian, seolah tak tahu malu. Pikiranku kembali pada hal yang terjadi pada pagi tadi. Dimana aku dan Sasuke lagi-lagi bertengkar,

tentang masalah yang sama.

Bagiku terasa aneh bagi Sasuke yang dahulu sempat menggantiku dengan orang baru, mulai berbicara tentang hal-hal yang sebaiknya terkubur rapat dalam kenangan masa lalu. Aku tidak ingin hal itu kembali diusik, yang kemudian hanya akan membawaku lagi ke dalam rasa perih yang bahkan hingga kini masih terus menggerogoti hati, menghantuiku seolah tidak mau berhenti.

Lagipula, untuk apa?

Untuk apa ia—orang yang jelas-jelas tampak baik-baik saja setelah usainya hubungan kami—bertanya tentang apa yang terjadi di masa lalu?

Untuk kembali membawaku ke dalam kejamnya hal tersebut yang membuatku sakit hati?

Atau ia hanya bertanya karena rasa penasaran?

Apapun itu, itu tidak penting sekarang. Yang aku tahu adalah bahwa dia baik-baik saja, bersama orang baru yang membawanya ke dalam dunia baru yang lebih berwarna, menjejaki jalan menuju masa depan dengan hati yang barangkali kini merasa jauh lebih bahagia. Sedangkan aku, kini masih terbelenggu dalam pekatnya kegelapan masa lalu, sendirian bersembunyi dari hal-hal yang membuatku terasa perih, dan melihatnya bahagia dari ujung dunia, dimana semuanya terasa abu-abu.

UnperfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang