part. 14 Tragedi

1.4K 58 2
                                    

Kampung Gondang Gede namanya. Perkampungan sederhana di tepian kota yang menjadi tempat untuk Revan dan Theo menyelesaikan tugas mereka.

Begitu sampai di kampung tempat mereka melakukan pengamatan, Theo dan Revan segera menuju rumah ketua RT, memarkirkan motor di sana sekalian minta izin buat observasi.

"Permisi, Pak. Kita yang mau pengamatan di kampung ini." Theo lebih dahulu menyapa dengan mengatakan tujuan mereka datang.

"Oalah, iya iya Mas, monggo masuk dulu. Mohon maaf agak berantakan, maklum cucu lagi di sini." Namanya Pak Sholeh, keturunan Jawa asli. Emang agak aneh kenapa pendatang luar yang dipilih jadi ketua RT, tapi kalo berdasarkan kesepakatan bersama saat pemilihan RT di kampung ini dua tahun yang lalu. Pak Sholeh orang yang baik dan punya jiwa sosial makanya ditunjuk jadi ketua RT, dengan harapan pak Sholeh bisa mengayomi masyarakat kampung Gondang Gede.

Setelah masuk, dua sahabat itu disambut Bu Desi, istri Pak Sholeh. Bu Desi orang asli sini, mereka ketemu di tempat kerja. Jadi ceritanya, Pak Sholeh ngerantau dari kampungnya ke kota buat nyari kerja, pas udah dapet kerjaan, beliau ketemu Ibu Desi sebagai rekan kerja, sering nganter pulang eh kok lama-lama timbul rasa lain. Karena yakin akan perasaannya, Pak Sholeh memberanikan diri ke rumah Bu Desi buat ketemu orang tuanya, jadi pasangan deh sekarang.

"Ini siapa, Pak?" Karena Theo cuma komunikasi sama Pak Sholeh buat ngelakuin observasi di sini, jadinya Bu Desi nggak tau kalo bakal ada dua anak muda yang melakukan observasi di kampung mereka.

"Ini loh, Bu. Mereka mau pengamatan, buat tugas sekolah," jawab Pak Sholeh.

"Oalah, duduk dulu nak. Ibu buatkan minum."

"Nggak usah, Bu. Repot-repot aja," Theo menjawab sungkan.

"Aduh, enggak repot kok nak, tunggu sebentar ya." Bu Desi kemudian beranjak menuju dapur.

"Monggo mas lenggah."

"Iya, pak. Terima kasih."

Revan yang duduk di samping Theo menyikut lengan temannya itu pelan. Merasa keganggu karena pergerakan Revan di sampingnya, Theo menoleh.

"Lengga tuh apa?" Bisik Revan pelan.

"Lengga tuh bahasa jawanya duduk."

"Oh iya ini mau mulai dari mana itunya? apa namanya? Oborasi?"

"Observasi, Pak," sahut Revan membenarkan.

"Ah, iya itu. Jadi mulai dari mana?"

"Mungkin dari sini aja dulu, Pak. Nanti kita wawancara bentar, setelah itu baru keliling-keliling buat nyari bahan data."

"Oh begitu, yasudah mau dimulai sekarang atau istirahat sebentar?"

"Langsung sekarang aja pak biar nggak makan waktu banyak."

"Boleh-boleh, monggo silakan diajukan pertanyaannya."

Dua sahabat itu kemudian saling bergantian mengajukan pertanyaan yang sudah mereka buat. Di mulai dari mewawancarai Pak Sholeh sebagai pendatang lama di kampung, Bu Desi sebagai penduduk asli, anak perempuan mereka sebagai narasumber anak muda asli penduduk kampung Gondang Gede, dan suaminya sebagai narasumber pendatang baru.

Dua jam sudah mereka habiskan untuk melakukan wawancara. Selanjutnya mereka akan berkeliling untuk melihat interaksi sosial di sana ditemani anak laki-laki Pak Sholeh yang seumuran mereka, namanya Raka.

"Seru ya di sini, rame. Anak-anaknya masih suka main permainan jadul gak ada yang main hp." Revan agak terharu, pasalnya di kompleks perumahannya, anak-anak semuanya udah main gadget, jarang banget yang keluar rumah buat main bola, main gasing, atau main boneka-bonekaan dari kertas kayak di kampung ini.

"Di sini bocah-bocahnya juga main hp kok, cuma biasanya kalo siang hari pas hari Minggu gini, mending main bareng temen. Ntar malemnya baru main hp."

"Keren ya."

Setelah dari lapangan mereka lanjut keliling lagi. Mengambil gambar ibu-ibu yang kumpul di teras rumah sambil membicarakan entah apa, ada juga yang ngobrol sambil bikin rujakan, seru pokoknya.

"Eh, bentar. Kayak gue kebelet deh." Theo menghentikan perjalanan sejenak.

"Nggak bisa entar aja? Masak harus balik sekarang sih," protes Revan.

"Nggak bisa, Re. Lo lanjutin bareng Raka dulu ya, ntar gue susul. Gue balik ke rumah Pak Sholeh dulu nabung." Theo langsung berlari meninggalkan temannya itu bersama Raka.

"Mau nunggu di sini aja atau lanjut?" Tanya Raka ramah.

"Eumm, tunggu di sini aja deh."

Dua orang berjenis kelamin sama itu, akhirnya menunggu di tempat mereka ditinggal oleh Theo tadi. Mereka menunggu sambil duduk di balai yang tak jauh dari sana.

"Lo punya pacar?" Rak bertanya sebagai pemecah kesunyian.

"Nggak ada. Gebetan aja yang ada, tapi dia malah suka temen gue."

"Temen yang tadi?"

"Bukan temen yang satu lagi, temen gue dari kecil. Kalo Theo baru temenan pas masuk SMP."

"Ouh gitu."

Senyap. Tak ada lagi dari mereka yang bersuara lagi setelahnya.

"Re."

Raka memanggilnya pelan. Revan yang merasa dipanggil pun menoleh, namun, sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Raka mencium Revan di bibir, memangutnya pelan sementara tangannya mencoba bergerak ke arah tengkuk Revan.

Si empunya bibir sempat terkejut begitu ciuman itu terjadi, menepis tangan lawannya yang belum mencapai pemberhentian. Revan kemudian mendorong Raka memutuskan tautan.

Keduanya kemudian saling diam, tak ada yang bersuara seperti sebelumnya sebelum tragedi itu terjadi. Hingga lima belas menit setelahnya, Theo telah kembali.

"Lah, gue kirain kalian bakal lanjut berdua."

"Kagak, nungguin elo aja. Lagian capek gue jalan mulu."

"Halah, emang dasarnya lo tuh mageran makanya milih duduk."

"Diem lo."

To be continued

OUR SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang