LVM - 14

110 17 0
                                    

Happy Reading ✨️

***

“Nggak mungkin. Karena saya punya daya inget yang kuat.” Akmal bernapas lega ketika Adam menarik tangannya lebih dulu.

Namun, itu hanya kelegaan sesaat sebelum ia melotot pada Hadi. Buru-buru Akmal menarik Hadi untuk berpindah ke sebelahnya. Bukannya apa, posisi Hadi sebelum ia tarik bisa menimbulkan kemarahan suami Cira. Jika dilihat-lihat dari sesama pria, menurutnya Adam adalah sosok suami yang posesif dan pencemburu.

Jadi, untuk meminimalisir keributan yang berkemungkinan akan terjadi, maka Akmal lebih dulu menarik Hadi.

“Lo nggak ngerti suasana banget sih, Di,” bisik Akmal gemas.

“Nggak ngerti gimana maksud lo?” Hadi juga ikut mengecilkan suaranya. Ia menatap bingung Akmal—teman tidak terlalu dekatnya.

“Bego lo dihilangin deh, Hadi. Lo nggak lihat muka suaminya si Cira? Serem banget, anjay. Terus juga kenapa lo masih berdiri di samping Cira? Mau diamuk lo sama si Adam-Adam itu, hah?

“Apa masalahnya gue berdiri di samping Cira? Lagian gue juga nggak sampe pegang-pegang istri orang.”

“Lo tuh—“

“Mal, Di, gue pamit duluan ya. Masih ada urusan lagi habis ini.” Suara Cira berhasil memotong ucapan Akmal yang berisi nasihat teruntuk Hadi.

“Cepet banget, Ci, belanjanya. Emang udah semua lo beli?” sahut Akmal berbasa-basi. Tidak lupa bibirnya tertarik membentuk senyum canggung.

“Udah.” Wanita itu mengkode lewat lirikan matanya ke sebelah. Seketika Akmal dan Hadi langsung paham maksud sebenarnya dari ucapan Cira tadi. Urusan yang Cira maksud adalah Adam. “Pamit ya. Gue sama suami mau langsung balik.”

“Ci, tunggu.” Baru beberapa langkah Cira dan Adam menjauh, Akmal sudah mencegahnya. Pria itu berjalan cepat menghampiri mereka dan merogoh satu per satu kantung celana bahannya sembari bergumam, “Mana ya ....”

“Ada apa, Mal? Apa yang lagi lo cari?”

“Undangan. Perasaan tadi ada satu gue taruh di kantong celana. Tapi ke mana ya?” Karena bentuknya kecil seperti kartu undangan ulang tahun anak-anak, Akmal bisa menaruh undangan itu di mana saja termasuk kantung celana kerjanya.

“Undangan?”

“Iya, Ci. Undangan reuni SMA angkatan kita. Tinggal beberapa orang lagi dari kelas kita yang belum diundang termasuk lo,” jelas Akmal yang sibuk mencari-cari undangan itu.

“Nggak pake undangan nggak apa-apa. Lo inget di mana tempat acara dan waktunya?” tanya Cira. Wanita itu sengaja bertanya demikian karena kasihan melihat Akmal terus mencari barang yang mungkin memang tidak dibawa pria itu.

“Inget. Lo tahu G&Z Hotel? Di sana tempatnya. Untuk waktu, kita makenya hari Sabtu ini jam delapan malem,” jawab Akmal sembari mengotak-atik ponselnya. Dia sudah seperti orang sibuk saat ini.

Cira menyempatkan menatap Adam sebentar yang kebetulan suaminya itu sedang memerhatikan interaksinya bersama Akmal. “Tahu, gue bakal usahain dateng.”

Pria itu menggeleng. “Semua tamu yang diundang wajib hadir. Gue sebagai salah satu panitia penyelenggara maksa lo buat hadir. Lo tahu nggak gimana usaha gue dan panitia lain buat booking ballroom G&Z Hotel itu? Kami selalu keduluan orang pas mau booking. Udah kami tawar pake harga berkali-kali lipat tetep nggak mau. Kata resepsionisnya, siapa cepat dia dapat. Mau booking cabangnya terlalu jauh, anak-anak domisilinya kebanyakan di Jabodetabek. Mana mau mereka jauh-jauh ke Semarang.”

Love Very Much [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang