Reaksi

79 10 3
                                    

"Sayang, tolong ambilkan selai stroberinya."

Citra mengernyit saat mendengar bagaimana manjanya suara Sekar. Tapi gadis itu juga diam-diam senang sekali. Panggilan tersebut adalah panggilan yang selalu Sekar tujukan padanya kala mereka masih duduk di bangku SMA. Ia tak mengira, Sekar masih mengingatnya.

"Kau tadi memanggilku apa?" balas Citra, pura-pura acuh. Tapi tak urung, diambilkannya sang sahabat selai stroberi yang diinginkan.

"Sayang," jawab Sekar tanpa beban.

Langsung mendapat cibiran dari Citra. "Kau sedang berlatih, ya? Coba panggil Mas Sigit dengan sebutan itu saat ia kembali nanti. Apa kau berani?" tantangnya kemudian terkekeh.

Ia tak sanggup menyaksikan bagaimana lesunya wajah Sekar setelah mendengar Citra menyebut nama sang suami. Ia bermaksud ingin menghiburnya, karena saat ini Sigit sedang sangat dirindukan. Pria itu tak juga pulang ke rumah. Sudah sepuluh hari, lewat tiga hari dari waktu yang awalnya dijanjikan pada Citra dan Haikal, yaitu seminggu.

Dan selama tiga hari juga Citra tidak pulang ke rumahnya sendiri, karena tidak bisa berkomunikasi dengan Sigit, ia mengkhawatirkan Sekar yang harus sendirian di rumah sebesar itu. Citra memutuskan ijin pada Rangga dan Kalina untuk menginap di rumah Sekar. Menemani sang sahabat yang tengah berbadan dua tersebut. Entah apa yang terjadi pada Sigit, pesan-pesan yang Citra kirim pada pria itu tak lagi mendapat respon. Saat ia mencoba menghubungi langsung, nomornya malah tidak aktif.

Citra tentu saja panik tapi ia harus tetap tenang agar Sekar tak kehilangan 'harapan'-nya sendiri.

"Aku sangat rindu padanya, Cit..." Sekar bergumam lirih nyaris tak terdengar, "Apakah ia benar-benar membenciku sekarang? Mengapa ia tak kunjung datang?"

Citra langsung mematung usai mendengar curahan hati gadis cantik itu. Agak merasa bersalah juga, karena secara tidak langsung ia dan Haikal yang menyarankan serta mendukung kepergian Sigit. Citra meletakkan roti yang tadinya hendak dilahap. Tatapan penuh simpati miliknya hanya tertuju ke arah gadis di hadapannya. Bila Sekar sedih, Citra juga ikut sedih.

"Sabar, ya, Kar..." ujarnya berusaha menenangkan, "Aku masih sangat yakin, Mas Sigit tidak bermaksud membuatmu khawatir seperti ini. Ia... Ia sangat menyayangimu dan juga calon anaknya yang sedang kau kandung."

"Dari mana keyakinanmu itu berasal, Cit? Aku yang selama ini tinggal serumah bersamanya saja, sudah pasrah bila ia benar-benar tak ingin melihatku lagi..." Sekar menunduk. Roti yang sudah ia olesi selai juga tergeletak rapi di atas piringnya.

"Kau ingat, saat kau terbaring di rumah sakit terakhir kali?" Citra mencoba memberi gambaran akan keyakinannya ini.

Sekar mengangguk.

"Saat Mas Sigit akhirnya datang dan aku pamit pulang, aku melihat semuanya." Citra menatap Sekar lekat-lekat.

"Apa yang kau lihat?" sementara Sekar masih terlihat bingung.

"Perlakuan penuh pujanya hanya untukmu, aku melihat itu semua, Kar!"

Sekar kini terlihat berusaha menerawang ke dalam alam ingatannya sendiri.

"Ia membawakan bunga mawar merah untukmu, kan?"

Sekar mengangguk ragu. Antara ingat dan tidak, karena saat itu adalah saat paling kacau dalam hidupnya. Untuk satu ini, ia yakin. Sekar menghela nafas dalam-dalam.

"Ia menata beberapa kuntum di dalam vas yang disediakan di kamar rawatmu, kemudian ia sengaja mengambil sekuntum untuk ia berikan langsung padamu!" suara Citra terdengar sangat antusias karena ia gemas sendiri menyaksikan Sekar seperti masih belum ingat adegan yang dimaksud, "Aku melihatnya bagaimana ia memberikan sekuntum mawar itu padamu! Kau menerimanya dengan tatapan kosong dan agak enggan, tapi Mas Sigit tetap tak peduli! Tatapannya padamu tak pernah berubah sedetikpun, meski reaksi yang kau tunjukkan padanya seperti itu, tatapan Mas Sigit selalu sama! Tatapan yang penuh kekaguman dan kelembutan! Tapi karena reaksimu diam saja, ia akhirnya memberanikan diri untuk tetap mengecup keningmu! Setelah itu ia baru menanyakan keadaanmu, kan?!"

Citra Dan HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang