Ch. 6 : Lumos

113 16 0
                                    

I DIDN'T OWN THIS STORY. THIS IS BELONGS TO ARGOSY

——

"Orang-orang keji. Pecinta Darah Lumpur. Bajingan yang busuk!"

"Aku pikir wanita itu tidak menyukai topi Santa terbarunya," Granger terkekeh sambil terengah-engah ketika mereka berhasil melarikan diri dari aula.

"Pencemar. Pengkhianat Darah. Pezina kotoran..."

"Hati-hati. Itu sedikit lebih personal," Draco berhenti, memanggil kembali potrait perempuan tertua pemilik rumah. Walburga Black.

"Anjing remaja yang kotor—"

"Kau sama sekali tidak membantu, kau tahu" Granger menarik Draco masuk melewati pintu yang terbuka dan menutupnya dengan segera. Draco masih dapat mendengar umpatan dan jeritan Mrs. Black yang teredam. Seekor domba penakut, kan dia?

Draco mengamati ruangan di sekelilingnya. Itu cukup kecil dan juga redup. Sesuatu menusuk dirinya di tempat yang menarik. "Granger, aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalamu, tapi..."

Granger ikut mengamati ruangan sapu itu dan mendesah. "Mari kita menunggu di dalam sini sampai perempuan itu diam. Kalau tidak, dia akan melakukannya sepanjang hari"

Draco menarik diri untuk duduk, menyingkirkan gagang pel yang menyakitkan. "Lumos," gumamnya, dan cahaya dari tongkat sihir Granger menerobos masuk dan menerangi seluruh ruangan yang hanya sepetak itu. Entah bagaimana, di keadaan yang begitu berdekatan dengannya, Draco sama sekali tidak ingin melihat ke arahnya. Justru, dia mengalihkan dirinya untuk mempelajari partikel-partikel debu terbang yang mengkilat karena pantulan cahaya dari tongkatnya. 

Dia menarik sebatang rokok, menunggu untuk dinyalakan dan kemudian untuk merasakan pandangan tegas dari wanita disampingnya, dia mendongak. Granger sedang mempelajari dirinya lagi, mencoba memahami sesuatu. Draco merasa itu sudah cukup. Dia bergerak maju, mengerumuninya, berbicara dengan nada yang rendah.

"Granger, terperangkap di dalam ruangan sapu, tanpa perlindungan, dan aku yang sekarang sedang memegang tongkat sihirnya" Granger sama sekali tidak menarik dirinya untuk mundur. "Harus bermimpi seperti apa sampai bisa mengatur kejadian ini agar terjadi di sekolah"

"Ya. Sayang sekali kau bukan lagi seorang penjahat"

"Siapa bilang aku bukan—seorang penjahat lagi?" Draco meletakan kedua lengannya ke dinding tepat di samping kepala Granger, menatap wanita itu dengan lekat dan menunggunya untuk bereaksi, sedikit rasa terkejut mungkin saja.

Yang mana justru, Granger melalukan hal yang sebaliknya, sialan dia. Draco semakin mendekat, hampir menyentuhnya sekarang. Dia dapat merasakan nafas wanita itu di bawahnya. "Oh ya, tentu saja Malfoy, kaulah yang paling jahat," Granger mengejek dengan lembut.

Draco bertukar pandang dengan Granger, saling menatap satu sama lain dan untuk beberapa saat dia merasa dirinya telah jatuh ke dalam jurang terdalam yang sangat menenangkan. Dan dia memutuskan untuk berhenti lebih awal, menjauh dan mundur ke tembok di belakangnya, yang sebenarnya tidak cukup jauh. Dia menyalakan sebatang rokok dan mulai menyesapnya dengan marah. Tangannya sama sekali tidak bergetar.

"Ayahku—" mulainya dengan pelan.

"Ayahmu berada di Azkaban. Kau—"

"Ayahku adalah tangan kanan Pangeran Kegelapan. Aku akan menjadi sepertinya suatu hari nanti"

"Tidak" Granger terdengar begitu percaya diri, seolah lebih yakin daripada Draco sendiri.

"Bagaimana kau tahu?" Suara Draco terdengar menyedihkan dan pahit.

Granger memberi jeda diantara pertanyaanya, lagi-lagi dengan pandangan selidiknya yang mengerikan itu. Kemudian, dengan perlahan, pandangannya tampak berubah. Wanita itu tampak telah memutuskan sesuatu. "Karena Dumbledore telah menyelamatkanmu"

Draco diam sejenak. Kemudian berkata, "Nox," dan menjatuhkan tongkat sihir Granger di lantai. Dia membuka pintu dan keluar dari ruangan sapu yang menyedihkan. Dirinya merasa butuh jarak dengan si Darah Lumpur, jarak yang jauh, dan secepat mungkin. 

Draco melangkah kembali ke dalam aula. "Noda leluhur. Penghujat kehormatan. Anak anjing yang tak tertahankan," mengikutinya dari belakang.

●●●

Lucius Malfoy berdiri tegak di dalam sel penjara, bertemu dengan pandangan anak lelaki satu-satunya. Dia tidak mengenakan atasan, dan dari apa yang dapat Draco lihat, terdapat goresan penuh luka melintang di sepanjang dadanya. Turun sampai ke pinggang, dengan darah yang terus mengalir, terbelah oleh pisau tak kasat mata.

Draco berusaha untuk mengatakan sesuatu, berusaha untuk bergerak, untuk menyelamatkan ayahnya, tapi seolah dia telah membeku di tempatnya. Lucius menatapnya dengan penuh harap, tampak tidak merasakan rasa sakit sama sekali meskipun darah terus mengalir, mewarnai tubuhnya dengan warna merah yang pekat. Dia telah menunggu.

Draco bergerak maju. Tapi menyadari bahwa dirinya tetap berada di tempat yang sama. Kakinya seolah menolak perintah yang ada di dalam kepalanya. Pandangan di wajah ayahnya dengan cepat berganti dengan kekecewaan. Lalu sebuah penolakan.

Dia merasakan hawa dingin yang mendekat. Draco sama sekali tidak bisa berbalik, tapi dia sadar tanpa keraguan bahwa Dementor tengah menghampirinya dari belakang. Tapi itu adalah hal yang tidak mungkin, ya kan? Apakah para Dementor tidak lagi berada di dalam Azkaban?

Mata Draco terbuka lebar. Dia menatap dengan kosong pada dinding lapuk Grimmauld Place di kamarnya. Dia menutup matanya kembali, berusaha mengontrol nafasnya.

●●●

Draco tampaknya sangat menghindari Granger. Itu seharunya akan menjadi cukup sulit. Wanita itu akan berada di segala tempat, selalu berkeliaran. Kemudian sekarang, wanita itu menghindarinya juga. Bagus.

Tapi Draco tidak bisa terus berada di dalam kamarnya. Dia harus bergerak, untuk memperkerjakan otot-ototnya yang kaku, menggerakkan sarafnya. Dia memilih untuk berkeliaran di malam hari, menjelajahi seisi rumah, menemukan ruangan-ruangan yang tidak terpakai. Draco curiga bahwa rumah itu dapat berubah dengan sendirinya, beberapa ruangan akan muncul dalam satu jam sebelum kemudian menghilang begitu saja.

Dia membuka sebuah pintu ruangan baru yang sebelumnya tidak ada di sana selama tur tengah malamnya. Potter tampak membungkuk di atas satu meja di tengah ruangan.

Potter berpaling dari Draco, berusaha untuk tetap berkonsentrasi secara intens pada suatu hal yang ada di hadapannya. Draco mendekat diam-diam. Itu hanya sebuah bulu Phoenix. Bayangan berkabut dari sosok Dumbledore, mungkin setinggi satu kaki, berpendar darinya. Draco mengerutkan dahinya, mengingat sesuatu; sebuah Memento Mori.

"—para anggota Orde of The Phoenix," banyangan Dumbledore itu berbicara. "Itu bukanlah keputusan yang aku buat dengan mudah..."

Draco mengira seharusnya dia akan merasa lebih penasaran tentang isi pesan Dumbledore yang telah menyelamatkan nyawanya, yang telah meyakinkan anggota Orde untuk melindunginya, tapi entah mengapa itu terasa tidak lagi berguna. Tidak sepenting yang ia harapkan. Draco memilih untuk berbalik dan pergi dengan diam-diam, lagi.

Potter mendengarnya dan mendongak, tidak berusaha untuk menutupi sisa air mata yang mengering di pipinya. Draco menemukan dirinya tidak dapat berpaling dari tatapan kosong yang di arahkan kepadanya. Sampai akhirnya Potter sendiri yang memutuskan untuk kembali pada Memento Mori dan membiarkan Draco untuk membubarkan dirinya sendiri. Dengan diam, dia meninggalkan ruangan dan menjauh.

As Sharp as Any Thorn | DRAMIONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang