"KIA!!!"
Kia yang baru saja bersiap-siap untuk berangkat sekolah, buru-buru berlari ke arah warung di mana Mamanya berteriak memanggilnya.
"Kenapa, Ma?" tanya Kia melirik Yasa yang sudah ada bersama motornya seperti biasa menjemput Niken.
"LO NGAMBIL DUIT KAN???" Bentak Mama membuka mesin kasir dan menunjukkan uang pada Kia.
Kia menatap isi uang yang ada di dalam mesin dan otomatis menghitung. Seingat dia, kemarin uang masih ada 500 ribu, tetapi mengapa uang 50ribu hanya ada 3? Bukankah kemarin ada 5?
"LO NGAMBIL DUIT KAN KIA?? Lo bener-bener ya jadi anak enggak tahu di untung!!" Mama mengambil sapu dan mulai memukuli Kia.
"MA SUMPAH BUKAN KIA YANG AMBIL!!! Kemarin kan habis tutup warung, Kia langsung masuk ke kamar buat tidur. Ma jangan pukul KIA! SAKIT MA! MALU!!" Isak Kia.
"Ma, apaan sih pagi-pagi gini marah-marah?" Niken baru saja datang dan melihat pemandangan adiknya yang dipukul oleh Mama. Gadis itu menatap acuh adiknya dan berjalan menuju Yasa yang menatap cemas Kia.
"Ken, bantuin adek lo. Kasihan dituduh ambil uang. Kia tuh teliti, enggak mungkin dia ambil uang."
Niken berbalik memandang Kia. Mata mereka bertemu, ada senyum tipis di bibir Kia. "Yang biasa megang duit kan emang si Kia."
Mendengar ucapan Kakaknya, Kia merasa sangat sakit. Ia benar-benar tidak pernah mengambil uang di warung! "Ma ampun! Badan Kia udah sakit banget karena kemarin ngangkat galon Ma!"
"Balikin enggak duitnya hah? Kalau enggak gue usir lo!!" bentak Mama masih memukul Kia.
Orang-orang yang akan berbelanja mulai berdatangan dan mereka tertegun melihat pemandangan Ibu yang memukuli anaknya. Namun para tetangga tidak bisa berbuat apa-apa dan menatap kasihan pada Kia, karena mereka tahu bagaimana perlakuan Fina pada anak bungsunya.
"Tante udah Tante! Kasihan Kia." Yasa akhirnya nekad menengahi. Ia benar-benar tidak tega melihat Kia yang sudah pucat.
Fina akhirnya menghentikan pukulannya. Wanita itu menghela nafas, membenarkan tatanan rambutnya dan seakan tidak terjadi apa-apa, ia mulai melayani pembeli.
Sementara Kia di bantu Yasa berdiri. Badannya terasa sakit yang dipastikan ada banyak memar biru di tubuhnya mengingat Mamanya memukul dengan ganggang sapu.
"Ki, berangkat bareng Kakak ya.. kita naik mobil aja."
"Duh Sa, gue buru-buru tahu! Kalau lo lama, gue mending pake gojek aja deh."
"Lo enggak kasihan sama adek lo, Ken?" tanya Yasa penasaran.
"Itu konsekuensi dia karena nyuri. Jadi gimana nih? Berangkat bareng apa enggak? Gue enggak mau di hukum cuma karena si tukang nyuri ini ya."
Yasa nampak bimbang, sebagai murid kelas XII, jadwal kelas mereka lebih pagi daripada kelas bawah dikarenakan mereka harus mengerjakan soal latihan ujian. Namun melihat kondisi Kia yang benar-benar pucat membuat Yasa tidak tega.
"Kia jangan sekolah ya, istirahat aja." Bujuk Yasa lembut.
Kia menggeleng pelan, di rumah pun ia akan semakin tertekan karena pasti akan ada pukulan kedua untuknya dan kata-kata makian yang harus ia dengar. Lebih baik ia sekolah.
Yasa yang mengerti pemikiran Kia, mengeluarkan Hpnya dan menelpon seseorang. Setelahnya ia kembali berbicara dengan Kia. "Kia, kakak udah panggil supir buat anter kamu ya." Yasa mengambil dompet di saku celana dan memberikan beberapa lembar merah pada gadis itu. "Nanti kamu kembaliin ke Mama ya biar Mama enggak marah."
Kia menatap Yasa kecewa. "Ka, aku enggak nyuri." Bisiknya lemah.
"Kakak tahu kok. Kamu ambil aja ya, Kakak berangkat dulu." Ucap Yasa menepuk kepala Kia pelan dan berjalan menuju motornya di mana Niken sudah menunggu.
Mata Kia menatap Niken yang sedang naik motor, gadis itu menatap Kia dan tersenyum lebar dan mengancungkan jari tengah kepadanya.
Sudah ia duga, bahwa Nikenlah pelakunya.
Rasanya Kia ingin mati saja.
.....
"Ya ampun Ki, badan lo memar semua!" ucap Ghea memeriksa badan Kia ketika mereka berada di UKS.
"Kia, kamu minum obat pereda nyeri ini." Ucap Bu Yuni dokter UKS menyerahkan secangkir air putih dan obat pada Kia. "Ibu kamu tuh tega banget sih mukul anak kayak gini."
Ghea membantu mengompres badan Kia, sahabatnya benar-benar pucat dan semenjak tadi Kia sama sekali tidak berbicara. Ia pun tahu badan Kia luka karena ketika ia merangkul Kia, Kia memekik kesakitan.
Ada apa dengan hidup sahabatnya ini? Mengapa keluarganya begitu tega dengan Kia yang dinilai Ghea adalah gadis yang sangat penurut dan baik.
"Kamu istirahat aja ya, tirainya Ibu tutup biar leluasa."
"Makasih ya Bu," ucap Kia pelan.
"Lo baik-baik aja, Ki?" tanya Ghea pelan. "Lo udah makan?"
Kia menatap sahabatnya yang menatapnya cemas. Gadis itu menggigit bibir, menahan diri untuk tidak menangis.
Namun gagal!
Ia tidak sanggup untuk selalu terlihat kuat di depan sahabatnya.
"Ki... huhuhu... gue sedih sumpah lihat lo kayak gini! Padahal besok ulangtahun lo yang ke 17. Ki... lo berhak bahagia Ki, udah mending lo minggat aja dari rumah."isak Ghea menggenggam kedua tangan sahabatnya.
Kia menggeleng lemah. "Gue enggak punya tempat tujuan, Ghe. Gue cuma bisa bertahan dan gue enggak tahu sejauh mana gue mampu bertahan." Isak Kia. "Gue kayaknya bukan anak kandung Mama, Ghe. Kata orang setiap Ibu punya naluri untuk melindungi anaknya dan akan selalu menyayangi anaknya terlepas anak itu melakukan hal yang mengecewakan. Tapi Ghe, gue sejak dulu selalu nurut sama Mama, gue bahkan enggak pernah ngerasain main kayak orang-orang karena gue lebih memilih bantu Mama jaga warung, gue juga enggak ngeluh dapatin baju bekas Kak Niken ataupun bekas Mama yang udah kucel. Tapi kenapa Mama selalu pilih kasih?"
Ghea dengan hati-hati memeluk bahu sahabatnya. Ia mengeal Kia sejak SD karena mereka satu sekolah, ia tahu bagaimana Kia. "Sabar ya Ki, gue yakin pasti Tuhan nyiapin waktu bahagia buat lo!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Waktu
Fantasy"Lo tuh cuma beban aja tahu enggak??" " lo cukup nurut, patuh!" " hidup lo enggak ada hak buat ngebantah!!" Itu menurut orang-orang kepada Kia. Beberapa bulan kemudian. "Napa lo jadi kayak gini sih? lo stress ya?" "Ini kenakalan remaja yang terla...