Part 1

80 47 55
                                        

"Satu kebaikan yang kamu lakukan untuk orang lain, sesungguhnya kamu sedang melakukan satu kebaikan untuk dirimu sendiri"

                                                   ***

"Apa yang papa bisa banggain dari kamu? Nggak ada!"

"Bisanya cuma habiskan uang untuk hobi kamu yang nggak ada gunanya sama sekali!"

"Iya, Pa! Nggak ada! Karena sekeras apapun aku berusaha, dimata Papa semua itu nggak ada nilainya, semua yang aku lakuin salah dimata Papa!"

"Berani kamu salahin Papa, anak durhaka! Angkat kaki kamu dari rumah ini!"

                                                                                            ***

Bandung, 23 Desember 2018

Faqih seperti biasa bersama hobinya memotret; sedang mengabadikan jalanan Bandung yang ramai, melakukan hal yang Ia suka adalah satu kebahagian tersendiri untuknya. Ia bahkan seringkali bertengkar dengan Baskoro—Papanya terkait hobi yang dianggapnya sia-sia.

Baskoro selalu berkomentar, "Jadi anak muda produktif, cerdas, aktif dan inovatif." Tapi dalam sudut pandang Baskoro bukan sudut pandang yang dibangun tersendiri oleh Faqih. Dua keperibadian yang punya tujuan sama tapi jalan yang diambil berbeda dan menurut Faqih; Papa terlalu kuno.

Sejak pertengkaran dua hari lalu, Faqih bertahan hidup dengan sisa tabungan seadanya dan juga menunggu ada beberapa orang yang tertarik dengan karya fotografi yang Ia jejer dipinggir jalan—berharap ada yang membeli, sudah dua hari ini juga Faqih rasakan menjadi anak yang mandiri dan susahnya mencari uang. Karena biasanya Ia akan meminta transferan dari ibu atau kakak perempuannya.

Lahir dari dua bersaudara, dua puluh dua tahun yang lalu, usia yang masih muda dan memiliki pemikiran yang jelas sangat jauh berbeda dari kakaknya; terlampau santai dan bercanda. Sedangkan kakaknya—Renata; pekerja keras dan serius.

"Fa, Fa. Sampai kapan sih ini semua?" Suara dari belakang punggung Faqih yang familiar ditelinganya, Dimas—sahabat yang kini dia tebengi tempat kosannya sekaligus hidupnya.

Faqih tak merespon, Ia hanya membalikkan badan tanpa melihat wajah Dimas, matanya hanya fokus pada kamera DSLR dan jari yang sibuk menekan tombol next.

"Lo itu ganteng loh, kalo gua liat-liat. Kenapa nggak jual diri aja?" Dimas kembali berbicara, karena sebelumnya terabaikan.

"Gila ya lo, gini-gini gue masih punya iman!" mendengar respon dari Faqih, Dimas hanya tertawa geli mengingat tawarannya yang terdengar memang gila—orang kaya kok jual diri.

Faqih duduk dikursi tepi jalan masih fokus dengan kameranya sambil sekali-kali mengambil gambar, diikuti Dimas yang juga duduk disamping Faqih sambil memperhatikannya memotret.

"Fa. Dari tadi lo moto terus, nggak laper?"

Faqih memberhentikan aktifitasnya, menoleh dan menatap sahabatnya ini, "Moto gini aja udah buat gua kenyang." Jawab Faqih dan kembali dengan aktifitasnya semula.

"Alah, bilang aja nggak ada duit!" Dimas berbicara dengan santai sambil menekuk kedua tangannya kebelakang leher, "Kita makan di cafe bokap lo aja, gimana?" celetuk Dimas.

"Nggak!" sahut kilat Faqih, tahu bahwa ide gila itu hanya akan membuat Baskoro tambah murka padanya.

Faqih tahu bahwa untuk menemui Baskoro dan meminta makan disana hanyalah akan menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang anak sekaligus ke-lelakiannya. Kalo sudah begini ya, tahan untuk tidak makan hanya bisa berharap keberuntungan singgah untuk sekali ini.

SHAFA [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang