Part 3

57 37 24
                                    

"Kita akan temukan dimana ada sebuah ikatan saudara meski tak memiliki ikatan darah"

***

Pagi-pagi sekali Shafa telah berangkat dari rumahnya menuju tempat barunya memulai usaha Shasha Co—nama usaha milik Shafa, berbasis jasa jahit pakaian muslimah sekaligus toko perlengkapan muslimah, ya. Hanya untuk muslimah, Shafa tidak ingin ambil banyak resiko jika harus mengukur pakaian untu laki-laki juga. Sudah, muslimah saja sudah cukup.

Pelanggannya pun pasti tahu mengapa Shafa tidak ingin menjahit baju untuk laki-laki kecuali saudaranya sendiri. Jika melihat Shafa Ia termasuk muslimah yang mencoba taat pada aturan agama—memakai pakaian yang menutup aurat sempurna hanya saja dia tidak memakai purdah dan hijab yang tidak begitu panjang tetapi masih menutupi dadanya.

Shafa naik angkutan umum, dia duduk dipojok dekat pintu masuk, terlihat ada penumpang lainnya dua orang lelaki duduk santai berhadapan, disampinya ada seorang lelaki yang bersandar dipojok kiri dekat salon yang sibuk dengan aerphonenya, sementara satu orang lelaki ada didepan samping supir.

Shafa hanya penumpang wanita sendiri tapi tidak ada rasa takut sama sekali, raut wajahnya pun tidak menampakkan kecemasan sedikitpun.

Tak lama angkot berhenti dan menaikan penumpang, dua ibu-ibu yang menenteng sangke kosong pertanda ingin kepasar. Shafa melemparkan senyum ketika kedua ibu-ibu itu duduk dihadapannya.

"Mau kemana, ndok?" tanya Ibu berbaju merah yang baru saja membalas senyum Shafa.

"Mau berangkat kerja, bu." Ibu itu memperhatikan Shafa, tidak lama ibu itu berbicara dengan temannya dengan topik yang asik menurut mereka sedangkan Shafa sesekali melemparkan senyum kala ibu-ibu itu meliriknya. Seakan ingin mengajak bicara Shafa agar bisa masuk kedalam obrolan mereka, tapi Shafa bukan tipe wanita yang suka banyak bicara.

Angkot berhenti ketika penumpang yang dibelakang berkata, "Minggir depan, Bang!" kedua lelaki yang duduk berhadapan itu turun diikuti dengan lelaki yang berada disamping supir.

Sedangkan satu lelaki lagi masih asik dengan aerphone yang menempel ditelinga dan sesekali memainkan ponselnya. Lelaki itu seperti sedang ingin olahraga dari pakaian yang ia kenakan terlihat sporty sekali; sepatu, baju kaos, celana training dan topi.

"Lapangan Korpri, Dek?" tanya Pak supir dan memberhentikan lajunya, dengan arah matanya melirik dari kaca kearah lelaki yang dipojokan.

"Sudah sampai ya, pak?" angkot pun berhenti, lelaki itu pun turun.

Dreett...

Handphone Shafa berdering, tanpa melihat lagi nama dilayar Shafa mengangkatnya.

"Halo, Fa. Yok bareng, turun lagi dari angkot itu!" ucap seseorang dari seberang telpon yang Shafa sangat mengenalnya, belum saja membalas ucapannya telpon itu telah terputus.

Lelaki yang baru saja turun tadi masih melakukan transaksi pembayaran, tubuhnya menghalangi Shafa sebab lelaki itu tengah berdiri. Lelaki itu masih merogoh isi kantungnya sampai Shafa hilang kesabaran, "Permisi, bang!" berharap lelaki yang didepannya mengerti dan bergeser sedikit untuk memberi ruang. Tapi ternyata tidak, lelaki itu berkata pada supir, "Maaf pak, bayarnya bisa saya transfer, uang cash saya nggak..."

Shafa mendengar jelas perkataan lelaki didepannya, "Ini berdua ya, Pak. Terima kasih." Shafa menerobos lelaki didepannya dan memberikan kepada Pak Supir tadi pecahan uang sepuluh ribu.

Shafa pergi tanpa menunggu ucapan terima kasih dari lelaki yang baru saja ditebengi tanda kasihan, tapi anehnya setelah berjalan lima langkah dan angkotpun sudah tidak ada didepan mata, lelaki itu masih berdiri kaku ditempat yang sama seperti tidak terjadi pergerakan sama sekali.

SHAFA [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang