Part 4

39 30 24
                                    

"Bila seseorang menyukaimu dan dia adalah penyuka seni sudah bisa dipastikan bahwa segalanya tentangmu akan tertuang"

***

Beberapa hal yang indah hanya bisa diabadikan oleh mata, sebagiannya lagi disimpan oleh memori yang dinamakan ingatan. Terkadang hal-hal yang indah semacam itu akan hilang karena ingatan manusia yang terbatas, sesuatu itu perlu diabadikan baik lewat foto, video, tulisan, musik, lukisan atau hal apaun yang bisa dikenang secara fisik.

Berada ditempat wisata yang entah dimana atau apa nama tempatnya, Faqih hanya berkeliling mengikuti jalan lurus tanpa denah menggunakan motor yang telah dia sewa. Pantai yang terletak dipinggir jalan membuatnya terpukau dan berhenti.

Biru air laut, deru ombak yang terdengar jelas, awan putih yang cerah, serta pepohonan disepanjang jalan yang terlewat memang menjadi tempat yang cocok untuk seseorang yang menyukai keheningan tapi tidak untuk gangguan bisingnya suara manusia dan kendaraan.

Berada ditempat yang sama, menghirup udara yang sama tidak menjadikan Faqih berhasil dengan cepat menemukan apa yang dia cari. Telah berada dua bulan disini Faqih sama sekali tidak menemukan tanda-tanda Shafa, entah harus berkeliling berapa lama lagi untuk menemukannya, tempat seperti apa yang harus dikunjungi untuk menemukannya?

Andai saja Shafa dan Faqih memiliki radar yang sama, pertemuaan itu akan mudah terjadi. Rasa putus asa sempat dilalui Faqih bahkan pada saat ini dia sedang merasakannya.

Duduk dipinggir pantai, dibebatuan yang membatasinya dengan air laut. Dia meletakkan kameranya disamping, merobek kertas yang dia keluarkan dari dalam tas.

"Aku akan mencintaimu, sampai tulisan ini kembali padaku."

Faqih menulisnya lalu membuatnya menjadi perahu kertas, membiarkannya berlayar tanpa nahkoda dan tanpa tujuan, yakin bahwa perahu itu tidak akan kembali padanya seperti itu pula rasa yang dia miliki untuk Shafa.

Bukan kali ini saja Faqih melakukan hal serupa, dibeberapa kesempatan jika dia mengunjungi pantai ditempat baru saat berkeliling untuk pemotretan dia akan melakukan hal yang sama. Berkeliling mengunjungi tempat baru, hal baru, pemandangan yang indah adalah pekerjaannya sebagai fotografer jalanan.

Faqih jarang mengabadikan foto manusia, dia termasuk orang yang pemilih makanya saat ditawari menjadi photografer acara wedding atau pre-wedding dia selalu menolak. Shafa satu manusia yang tanpa sengaja pernah masuk dalam lensa kameranya dan pertama kali juga Faqih membuat pas foto.

Kembali berkeliling untuk memotret dengan berjalan santai menikmati hembusan angin yang menyapu rambutnya yang sedikit gondrong. Kaki Faqih berhenti disebuah warung makan pinggir pantai, warung makan yang terbuka terbuat dari kayu dan seng ini hanya menyediakan makanan penunda lapar, tidak ada menu nasi sama sekali. Apa boleh buat, Faqih akan memakan menu seadanya dengan memesan siomay, pop ice dan frozen food.

Sambil menunggu pesanannya dibuatkan Faqih duduk dikursi yang tersedia, melihat lagi hasil jepretannya dengan teliti, belum selesai dengan itu pesanan Faqih sudah jadi.

"Setidaknya ada yang masuk buat tambah energi!" gumam Faqih sambil melahap makanannya dan tak lupa mengucap 'bismillah' dalam hati.

Duaar!!!

Faqih kaget, disampingnya ada seorang wanita yang terjatuh tersungkur menyenggol mejanya dan hampir menjatuhkan kamera miliknya.

"La, nggak apa-apa kan?" ucap wanita yang ada didepan dan membantu temannya berdiri.

"Hehe, nggak apa-apa. Laura keasikan ngejer kodok." Ujar teman yang satu lagi dan membantu membawakan tas yang jatuh.

Faqih memperhatikan ketiga wanita yang kini berdiri disampingnya dan saling melemparkan tawa, matanya tertuju pada gadis yang membantu temannya berdiri. Wajahnya tak asing dalam bingkai matanya, senyumnya, sorot matanya mirip seperti wanita yang dia cari.

"Sa, Shafa! Puji Tuhan banget yaa hari ini, hehe." Ujar wanita yang terjatuh tadi kepada teman yang mengendongnya.

Kita tidak pernah tahu kapan datangnya mendung atau kapan datangnya cerah, kita hanya tahu jika matahari menampakkan wujudnya berarti hari itu cerah dan jika matahari menyembunyikan wujudnya maka kita harus sianga barangkali akan turunnya hujan atau hanya mendung saja.

Hari ini harapan Faqih terpenuhi, seperti dua buah hati yang saling asing atau hanya terlihat asing, untuk sekedar menyapa lidahnya beku bak es dikutub. Matanya terpana tanpa sadar, intuisi menguasainya.

***

Shafa duduk diserambi tepian pantai, meresapi pergantian petang menuju malam, menikmati angin yang berhembus sepoi mengenai kerudungnya dan lembutnya menelisik indra perasa. Semburat orange yang menantang petang diujung langit.

Diam-diam, Shafa menyembunyikan bising degup jantungnya bersamaan dengan matahari yang meninggalkan senja, tangannya sesekali menyentuh dadanya memastikan bahwa semua baik-baik saja.

Pria disampingnya menyebut namanya dengan ragu, terasa sekali keduanya gugup, dengan jarak duduk semeter ini atmosfer panasnya sangat terasa, "Panggil Sa, aja." Ucap Shafa memecahkan suasana yang tak seharusnya terjadi dipertemuan pertama setelah sekian lama tak bertemu.

Beberapa menit setelah itu hanya suara deru ombak yang terdengar.

"Sekarang kegiatannya apa?" Faqih dengan keberanian bertanya.

"Masih dengan kegiatan yang sama. Sibuk jait." Jawab Shafa, "Sekarang jadi kang foto keliling?" tanya Shafa sambil menunjuk kamera yang ada digengaman Faqih.

"Iya, hehe. Nggak ada kerjaan lain." Ucap Faqih dengan cenggiran, sebenarnya Faqih ingin sekali menunjukkan semua kelebihan dan pencapaiannya, tapi buat apa? Dia tidak ingin menjadi pria yang sombong dimata Shafa.

"Iya nggak apa-apa. Sambil tingkatkan skill foto dan belajar skill lainnya, yang penting konsisten dan terus semangat!" Shafa melemparkan senyum termanis. Kata-kata yang selalu sukses membuat Faqih semangat dan berfikir terbuka.

"Sibuk jait dimana, Sa?"

"Aku buka kios kecil namanya Shaha Co, jahit khusus muslimah aja." Mendengar jawaban Shafa, Faqih mengurungkan diri terasa sekali tembok tinggi yang memisahkan mereka-kalau begini bagaimana cara mendekatinya, mengambil hatinya?

"Kesini sama siapa?" Shafa kembali bertanya.

"Sendiri." Faqih tertunduk sedikit sedih, masih terpikir tembok besar yang tinggi.

"Kapan balik ke Bandung?" Shafa kembali bertanya kali ini tanya menoleh untuk melihat lawan bicara. Shafa tahu pertanyaannya ini tak seharusnya dia layangkan untuk seseorang yang baru saja dia temui, tapi bukankah lawan kata dari datang adalah pergi, bukan hanya lawan kata tapi juga adalah kata yang selalu terikat dan mengikat. Walau bagimana pun juga, ini bukanlah rumahnya.

"Belum tahu...aku belum punya alasan untuk meninggalkan kota ini!"

Shafa menoleh, menatap sepatu milik Faqih. "Untuk pergi dan pulang kerumah haruskah punya alasan?"

Faqih tersenyum, "Aku akan pulang, kalo tujuanku disini udah aku dapatkan, entah kapan hal itu terjadi. Tapi yang pasti aku jatuh cinta pada kota ini!"

Mendengar kalimat terakhir Faqih, Shafa tersenyum tipis, "Tapi kayanya Bandung lebih indah deh." Ucap Shafa pada Faqih yang sedikit heran, entah kenapa kota kelahirannya sendiri begitu biasa saja dimatanya.

"Aku jatuh cinta pada kota ini karena ada kamu didalamnya." Ucap Faqih dalam hati.

"Sekarang tinggal dimana?"

Faqih terdiam, ingin rasa menjawab yang sejujurnya bahwa dia sementara ini tinggal dihotel tapi takut terdengar mewah dan terlihat sombong, "Disekitaran sukaraja..." Faqih sedikit ragu menjawab, "Oh iya Sha, kalo misalkan kamu tahu loker photografer atau editor gitu, kasih info ya."

"Ha? Mau kerja disini?"

"Aku juga butuh uang Sha, buat bertahan hidup."

"Kalo jadi kang foto keliling dipantai juga sepertinya kurang Sha, kurang kalo untuk menghidupkan anak gadis orang, cuma bisa buat makan sendiri." Lanjut Faqih dengan cengiran.

Bersambung...

SHAFA [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang