Air putih

60 4 0
                                    

Sasmaya menatap indahnya pagi melalui balkon kamarnya. Dia menyesap cokelat hangat kesukaannya.

Pagi hari membuat sebuah puisi muncul dari otaknya.

Embun
Menggenang dalam daun
Dingin, menyegarkan mata
Hingga membuatnya berkaca
Embun
Singgap dalam jernihnya netra
Temani hati tatkala sepi menghampiri
Embun
Terimakasih telah mengaliri gersangnya hidup
Tenangkan yang hampir redup

Sasmaya menutup matanya, menghirup udara segar pagi hari.

Ketika membuka mata, Sasmaya melihat betapa hangatnya sebuah keluarga di depan rumahnya.
Tetangganya itu memiliki kasih sayang satu sama lain. Senyum juga tawa menghiasi wajah mereka ketika hendak mengantarkan anaknya pergi ke sekolah.

"Aku iri," gumam Sasmaya.

Sasmaya menuruni tangga, dapat dia lihat Araya sedang menyantap sarapannya, sendirian.

Sasmaya segera mendekatinya.
"Morning, kak Raya," sapa Sasmaya.

Araya tak menjawab. Dia segera menyelesaikan makannya.

Dan beranjak pergi.

Sasmaya terdiam. Dia menatap jari Araya.

Ternyata Raya tidak memakai cincin darinya.

Sasmaya menarik kursinya, segera menyantap sarapannya.

"Mama!" panggil Sasmaya ketika melihat mamanya yang sudah berpakaian rapi, hendak pergi bekerja.

"Pagi, Maya," sapa Tamara — mamanya.

Tamara menatap Sasmaya sebentar kemudian meneruskan langkahnya untuk pergi.

"Mama mau kemana? Mama belum makan. makan dulu, ma." Sasmaya mengejar langkah Tamara.

"Tidak sempat, Mama sudah telat. Mama pergi dulu. Bye, sayang." Tamara membelai rambut Sasmaya sebentar sebelum pergi.

Sasmaya tersenyum. Dia memegang rambutnya. Dia merindukan sentuhan mamanya, kasih sayang mamanya.

---

Sasmaya mendatangi perpustakaan umum dekat rumahnya, dia memilih beberapa buku yang menarik untuk dibaca.

Dia melihat ada bangku kosong didekat seorang gadis yang tengah fokus membaca.

Sasmaya menghampirinya.
"Boleh aku duduk disini?" tanya Sasmaya.

Gadis itu melihat Sasmaya kemudian menggeleng.
"Sorry, lo cari tempat lain aja. Gue gamau ya orang-orang bandingin gue yang burik ini sama elo yang cantik." Selama ini dia selalu dibandingkan saat dekat dengan orang-orang yang cantik, membuat kepercayaan dirinya menurun, dan kebenciannya pada orang-orang cantik meningkat.

Sasmaya menghela napasnya. Selalu saja begini.

"Kamu juga cantik," puji Sasmaya kemudian pergi mencari tempat lain.

Sasmaya terlalu fokus dalam membaca bukunya, tak ia ketahui bahwa ada seseorang yang sedang melukis dirinya.

"Cantik," puji orang itu.

"Sasmaya." Edward menepuk pelan bahu Sasmaya.

Sasmaya menoleh. Dia harus segera pergi. Bukankah Araya menyuruhnya menjauhi Edward?

"Lu mau kemana? Buru-buru amat." Edward menahan Sasmaya.

"Aku ada urusan." Sasmaya melepaskan genggaman tangan Edward di bahunya.

"Tunggu sebentar aelah, gua mau ngasih sesuatu buat lu." Edward memberi Sasmaya sebuah lukisan yang tadi dia buat, lukisan wajah Sasmaya.

Sasmaya segera mengambilnya.
"Terimakasih." Dia pun pergi.

SasmayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang