Dalam fase hidupnya, mungkin saat ini Giana sedang berada dalam titik terendahnya. Ada banyak hal dalam hidupnya yang tidak bisa dia kendalikan. Perjalanan duka yang begitu panjang dengan arah yang rumit membuat dirinya harus berjibaku melawan ego dan bernegosiasi dengan kekecewaan serta kesedihannya.
Semuanya terpendam rapih dibenaknya. Dia juga tidak punya banyak tempat untuk mengadu. Namun nyatanya, diam adalah salah satu cara mengekspresikan rasa sakit yang paling berbahaya. Sebab disanalah tempat bersemayamnya kekecewaan, kesedihan serta kemarahan yang apabila dibiarkan berlarut-larut akan berdampak buruk pada mental dan kesehatan tubuhnya.
Giana sering kali jatuh sakit akibat beban pikiran dan psikisnya yang lemah. Seperti saat ini contohnya. Setelah dua kali mengunjungi dokter untuk memeriksakan kesehatannya, kondisi Giana tak kunjung membaik dan malah terlihat semakin parah. Giana sudah tidak bisa makan sama sekali karena rasa sakit ditenggorokannya hingga dadanya yang terasa seperti terbakar.
Giana juga kerap mual dan memuntahkan semua yang masuk kedalam perutnya. Keadaan itu membuat tubuh Giana kian melemah dan demam tinggi sehingga dokter menyarankannya untuk menjalani rawat inap.
Seperti biasanya, Giana tidak pernah sendirian dalam menghadapi kesulitannya. Karena akan ada Dini, sahabat terbaik yang selalu setia berada di sampingnya.
Namun ada yang berbeda kali ini. Bertambahnya seseorang yang turut menemani Giana membuat semuanya terasa jadi spesial. Bagaimana tidak, Pria bernama Ardika yang beberapa bulan ini selalu mendekat ke arahnya terlihat tidak sungkan dan ragu lagi memperlihatkan rasa yang dia punya. Bahkan Ardika sampai rela jauh-jauh mendatangi rumah Giana hanya demi mengantarkan wanita yang sedang dalam keadaan pingsan itu ke rumah sakit.
"Terima kasih atas bantuannya. Maaf saya jadi merepotkan pak Ardika." ucap Giana pada Ardika saat mereka sudah berada diruang rawat inap.
"Panggil saya Ardika kalau diluar sekolah. Biar nggak terlalu canggung." pinta Ardika.
"Ehh..jangan pak. Nggak sopan kedengarannya."
"Tapi saya suka."
Giana melirik ke arah Dini, hendak meminta pendapatnya. Namun yang dilirik malah senyum-senyum sendiri. Entah apa yang dipikirkan wanita itu, Giana tidak paham.
"Pak Ardika mau dipanggil apa sama Gia?"
Giana memutar bola matanya. Merasa kesal sendiri sebab sahabatnya itu seakan berpihak pada Ardika, bukan dirinya.
"Apa saja boleh. Asal jangan bapak. Saya kan bukan bapaknya Gia."
Dini lagi-lagi menyunggingkan senyumnya, merasa lucu dengan jawaban Ardika. "Mungkin Gia bisa panggil pak Ardika dengan sebutan mas aja, biar lebih enak. Gimana pak?" saran Dini.
"Nggak masalah. Saya malah senang dipanggil mas. Gimana Gi, kamu bersedia?" tanya Ardika penuh harap.
"Tapi kenapa cuma saya aja, pak." Protes Giana.
"Kan pak Ardika maunya kamu, bukan aku." Cetus Dini ambigu.
Giana menatap Dini dan Ardika secara bergantian sebelum akhirnya menganggukan kepala tanda setuju. Mau bagaimana lagi, dia tidak punya pilihan lain. Kondisi tubuhnya yang sedang dalam keadaan lemas membuat dirinya tak punya banyak tenaga untuk berdebat.
Dini tersenyum penuh kemenangan karena sudah berhasil mendekatkan Giana dan Ardika. Sebetulnya dia tidak berniat menjadi mak comblang yang ngotot mengantarkan mereka hingga ke pelaminan. Karena dia sadar betul kalau jodoh adalah urusan Tuhan. Namun Dini hanya ingin Giana kembali membuka hatinya dan berani berdekatan dengan lawan jenis meskipun hanya sebatas teman dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terhalang Restu (END)
Romance~Gama & Giana~ Keputusan Suryahadi untuk menikahkan Gama dan Giana rupanya tidak disambut baik oleh Dewinta yang tak merestui putranya menikahi gadis itu. Dewinta sangat menyayangi Giana, tapi menginginkan gadis itu menjadi putrinya saja, bukan menj...