Prolog

9 3 0
                                    

Bel berbunyi keras hingga menggelegar seluruh setiap sudut penjuru sekolah. Setiap guru mulai mengakhiri pelajaran dengan pidato singkat sebagai penutup sebelum pada akhirnya mengizinkan para siswa-siswi untuk segera pulang. Para murid segera menyusun buku-buku mereka dan peralatan sekolah mereka ke dalam tas dengan gerakan yang cepat, mempersiapkan diri dengan mantap untuk segera keluar dari kelas dan meninggalkan area sekolah.

Keramaian yang bising mulai menghiasi suasana momen akhir dari pelajaran. Hiruk-pikuk yang sebenarnya terdengar sangat kacau dan tidak nyaman untuk di dengar oleh telinga. Begitupun dengan Riona yang kerap kali memejamkan matanya dan menghela napas pendek, mengeluh dalam hati mengenai suasana rusuh setiap pulang sekolah. Ia sengaja bergerak lamban untuk menunggu momen kedamaian sekolah mulai hadir. Sekiranya kelas sudah mulai terasa sepi, Riona kemudian memakai tas ranselnya dan berjalan menuju pintu kelas.

Ia memasang earphone pada kedua telinganya untuk memutar sebuah lagu, menemaninya ketika dalam perjalanan menuju rumah agar tidak merasa kesepian. Namun, dalam langkah-langkah damainya itu ia harus terpaksa berhenti karena seseorang yang ia benci mulai menghalangi jalannya. Seorang teman kelas bersama teman-teman satu geng-nya yang kerap kali mengganggu ketenangan Riona secara bertubi-tubi dan menjadikannya seperti aktivitas normal setiap hari.

Populernya, seseorang yang memiliki keberuntungan saat hari kelahirannya, akan merayakan pesta ulang tahun dengan meriah dan penuh kebahagiaan serta kasih sayang yang melimpah. Namun, Riona hanyalah salah satu di antara sebagian seseorang yang belum mendapatkan keberuntungan di hari ulang tahunnya kali ini yang menginjak usia lima belas tahun.

Seorang anak laki-laki dengan senyuman mengejek yang menyebalkan, menatap Riona penuh dengan tatapan licik. Anak laki-laki itu mencengkram erat pergelangan tangan Riona dan menarik paksa Riona menuju sebuah lapangan belakang sekolah yang tidak terlalu jauh.

"Aww! Sakit! Lepaskan aku!"

Riona meringis keras saat kulit tangannya terasa memanas akibat tekanan yang kuat.

"Hahahaha, diem lo! Alay banget sih, sudah besar masih pakai kata 'Aku'. Sok alim lo!"

Dahinya mengernyit heran, Riona bingung dengan ucapan tidak masuk akal yang dilontarkan seseorang yang berniat jahat padanya.

Sesampainya di lapangan belakang sekolah yang masih belum dijamah oleh cairan bitumen yang berbau menyengat minyak mentah tersebut, Riona di dorong keras hingga jatuh tersungkur di lapangan rerumputan hijau. Belum sempat Riona menghindar  karena mengaduh kesakitan telapak tangannya yang bergesekan keras dengan rerumputan dan tanah yang penuh batu-batu kecil, sebuah serbuk putih dalam jumlah banyak menghampiri wajahnya. Itu adalah tepung terigu yang kini menghancurkan penampilan wajah Riona.

Selanjutnya, Riona di kejutkan dengan lemparan sebuah telur yang sangat bau. Aroma busuk yang menyengat pada lubang hidung yang membuatnya sangat tidak nyaman. Para anak-anak yang kini mulai bersemangat untuk mengganggunya, mulai melempari dirinya dengan hal-hal tersebut.

"Katanya lo ulang tahun, ya? Kita baik loh sudah mau merayakan hari ulang tahun lo! Hahahaha."

"Selamat ulang tahun ya, Riona jelek dan cupu!"

"Ahahaha, muka lo jadi cantik tau engga sih pake tepung? Jadi putih, hahaha."

"Selain pake tepung, di tambah telur biar makin cantik dan glowing!"

"Nih, tambah lagi! Hahahahaha, sumpah lo jadi wangi banget."

"Wangi busuk hahahahaha!"

Total mereka ada lima orang anak laki-laki yang kerap kali mengganggunya. Ia tidak tahu kapan salah satu dari mereka mengetahui hari kelahirannya, yang pasti ia selalu merahasiakan dari teman-teman di kelas. Berbicara mengenai teman, selama tiga tahun duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia tidak pernah memiliki teman atau sekedar gandengan untuk ke kantin.

Menyedihkan.

Tepung dan telur yang mereka bawa telah habis. Mereka tiada habisnya tertawa dan melemparkan kalimat-kalimat jahat kepada Riona yang hanya bisa terdiam menunggu semuanya selesai. Ia menghela napas lega ketika mereka berlima telah meninggalkan lapangan beserta Riona sendirian.

"Sekarang bagaimana? Penampilanku sudah sangat kotor, engga mungkin aku naik angkutan umum untuk pulang ke rumah nenek."

Riona menundukkan kepalanya dengan hati yang mulai terasa begitu sesak. Napasnya mulai pendek, rongga dadanya penuh. Ia menahan dengan kuat air mata yang mendesak keluar. Mencengkram kuat kain roknya dan tertunduk dalam. Ia menangis dalam diam melihat dirinya yang begitu lemah dan tidak kompeten untuk membela diri sendiri apalagi menyelamatkan dirinya sendiri.

Jika ia terus seperti ini, lantas kapan kehidupannya berubah menjadi lebih baik? Ia bahkan tidak bisa mempercayai dirinya sendiri. Ia kehilangan banyak kepingan dari dirinya yang entah terbang kemana, layaknya daun yang tertiup angin, terombang-ambing mengikuti arus angin yang tidak beraturan.

Riona mencari aplikasi ojek online di smartphone-nya. Ia harap ojek online yang ia pesan mau mengantarnya sampai rumah dengan cepat ke rumah nenek, meskipun dalam keadaan yang sangat berantakan serta bau busuk.

"Maaf pak, kalau penampilan saya berantakan seperti ini. Tadi ada beberapa teman yang bercanda dengan saya. Saya akan memberikan uang lebih untuk bapak, jika bapak mau mengantar saya pulang."

Ekspresi pria paruh baya yang melihat Riona sangat prihatin, dia merasa kasihan dengan anak seusia Riona tapi diganggu berlebihan dengan temannya.

"Iya, engga masalah. Ayo, naik saja, Nak." 

Kemudian, berterima kasih karena ojek yang ia pesan secara online mau menerima dan mengantarnya. Selama di perjalanan, Riona hanya diam menunduk karena malu, melalui ekor matanya ia dapat melihat banyak orang yang ia lewati menatapnya. Entah apa yang mereka pikirkan mengenai Riona, ia sudah lelah. Earphone-nya juga jadi rusak karena tertarik saat ia dipaksa menuju lapangan belakang sekolah.

Sampai di rumah sang nenek, Riona merogoh saku roknya dengan tergesa-gesa sebelum neneknya menyadari kehadirannya. Ia langsung memberikannya kepada sang ojek dan berterima kasih dengan cepat. Dengan gerakan secepat kilat, Riona melepas sepatunya dan berlari menuju kamarnya. Ia buru-buru melepaskan tas ransel di kamarnya, kemudian mengambil handuk untuk menuju kamar mandi, membersihkan setiap sudut tubuhnya yang sudah kotor dan bau busuk.

Diluar kamar mandi, terdengar neneknya yang sudah menyadari kepulangannya dari sekolah.

"Riona, ini kenapa sepatu di lempar begitu saja?"

"Riona! Pakaianmu itu di cuci, jangan di tumpuk begitu saja!!!"

"Astaga! Kaki siapa ini yang sangat kotor! Riona kamu dimana?!"

"Riona! Dasar anak engga berguna!"

Begitulah seterusnya, ocehan-ocehan yang terkadang menyakitkan di telinga. Riona memilih untuk mengeraskan hatinya agar dapat melindungi hatinya sendiri, meskipun sesekali runtuh karena tidak dapat mempertahankan dinding yang terus-menerus di serang.

Sampai ia selesai mandi dan smartphone-nya berdering keras. Muncul nama ayah pada layar smartphone, lantas ia segera menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilan telepon tersebut.

"Bunda sudah meninggal."

Rasa sesak yang kuat menyeruak masuk memenuhi rongga dadanya hingga rasanya sulit untuk bernapas meskipun hanya napas pendek. Waktu terasa berhenti beberapa detik, perlu tiga menit ia memahami kalimat yang di ucapkan ayah. Bukan karena ia bodoh dan tidak mengerti bahasa yang di ucapkan ayahnya. Namun, ia perlu memahami bahwa ia berada di realita bukan berada di alam mimpi. Detik berikutnya, Riona mematikan telepon ayahnya dan tubuhnya yang mulai melemas kemudian meluruh ke lantai. Manik matanya menatap kosong sudut kamarnya, binar mata telah hilang. Menyisakan kehampaan yang begitu luas. 

"Aku mau mati."



•••••●•••••









Pink Rose Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang