1. Grogol, Jakarta

823 94 10
                                    

Vote dan komen jangan lupa~

•• ────── ••

Malam itu sekitar pukul 22.00 aku kembali menemani Karina—temanku—ke hotel bintang empat di daerah Grogol. Setelah menurunkan Karin, aku mencari tempat parkir di dekat lobi yang agak terang dan tidak terlalu ramai. Lumayan, dua-tiga jam aku bisa membaca buku dengan tenang.

Besok ada ujian sekolah. Salah satu mata pelajaran yang aku sukai adalah pendidikan kewarganegaraan, tapi belakangan aku mulai sadar jika yang sebenarnya aku ingin adalah belajar mengenai sejarah. Aneh. Padahal dulu saat masih di sekolah dasar aku begitu pintar dalam pengetahuan alam. Bahkan, sampai punya banyak medali dan piagam.

Aku belum terpikirkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA atau SMK. Aku hanya ingin cepat lulus agar tidak menyusahkan keluarga Ibuku yang bekerja ekstra demi memenuhi kebutuhan anak yatim-piatu sepertiku.

Setelah kematian Ibu saat aku berusia tujuh tahun, lalu disusul Ayah sekitar dua tahun berikutnya, aku sering mengajukan diri membantu mereka mencari uang dengan putus sekolah sementara waktu. Namun, Karin selalu menghalangi dan meyakinkan jika aku bisa membalas kebaikan mereka setelah lulus sekolah. Tentunya dengan mendapat pekerjaan yang jauh lebih layak dibanding harus menjajakan diri demi lembaran uang yang tak seberapa seperti dirinya.

Karin juga anak yatim piatu. Bedanya, dia benar-benar hidup sebatang kara tanpa satupun keluarga di tanah perantauan ini. Perempuan yang umurnya berselisih delapan tahun di atasku itu hanya mengatakan kalau dia berasal dari Medan sana. Aku ketahui pula segala tanda indentitasnya adalah hasil menembak dengan calo. Karin tidak punya kartu keluarga, ataupun kartu tanda penduduk asli yang menyatakan diri sebagai warga negara Indonesia.

Pekerjaan sehari-hari Karin ... bukan sesuatu yang bisa dibanggakan dari seorang perempuan. Saat berangkat tadi dandanannya dempul, bibirnya dilumuri lipstik merah merona serta telinganya berbandul anting-anting panjang yang seharusnya terlihat menawan dan elegan. Perempuan berdarah Medan itu sebenarnya cantik dan tinggi. Tapi, bagi orang pribumi yang menjual diri tetap saja disebut “ayam kampung”. Bayarannya pun tak seberapa, malah cenderung seperti sistem kerja paksa.

Dari Karin, aku bisa tahu beberapa nama orang yang setidaknya harus aku waspadai atau kuhormati ketika berpapasan tanpa sengaja. Di antaranya adalah pemilik-pemilik ‘rumah bordil’ yang sudah beroperasi sejak era 80-an. Bisnis keluarga turun-temurun katanya. Jika diajak bicara oleh mereka, aku harus menunjukkan eksistensi mahal dan berlagak seperti remaja gadis yang sekedar bersenang-senang, bukan mencari profesi haram.

“Wihel, nungguin lagi?” sapa Bu Zaitun, biasa dipanggil Bu Atun oleh masyarakat sekitar. Pemilik warung makan sederhana, sekaligus menyediakan rokok dan kopi itu sudah berumur kepala enam. Dia adalah saksi hidup target pengoperasian hotel yang digunakan sejak tahun 90.

Aku lantas tersenyum, menutup buku bacaanku sebentar. “Iya nih, sekalian cari angin,” dustaku.

Bu Atun tertawa kecil, mungkin mengejek jawabanku. “Orang dimana-mana itu cari angin, ya, jalan-jalan ke Puncak atau Bandung ... lah, kamu? Malah baca buku ke hotel remang-remang begini. Ada-ada aja.”

Mungkin karena merasa kalah argumen, akhirnya aku malah mengalihkan pembicaraan dengan memesan segelas es susu coklat. Warung Bu Atun adalah langgananku saat menunggu Karin begini. Setidaknya di sana akan ada beberapa orang yang juga bernasib sama. Kutemui pula satu-dua tukang ojek yang mangkal sambil minum kopi hitam panas menyegrak. Mereka pasti sudah dibooking untuk menjemput wanita-wanita seperti Karin. Namanya juga mencari rezeki demi anak dan istri di rumah. Jadi, mereka bakal iya-iya saja ditawari menjadi supir antar-jemput sekalipun boncengannya perek.

“Naik dulu, ya, Dek Wihel.”

Perempuan malam yang kukenal menyempatkan diri untuk menyapaku. Mungkin di matanya, aku seperti anak kecil yang sedang menunggu jemputan Ibu. Wajar saja kalau dia berpikiran begitu, buktinya sekarang di depanku sudah tergeletak es susu coklat yang kupesan sementara genggaman tanganku tetap setia pada sebuah buku rangkuman materi.

Aku tahu jelas arti sapaan barusan, pasti dia mau ‘ngamar’ karena sudah kebagian jatah operasi. Aku lantas mengangguk dan melambaikan tangan secara singkat. “Besok kalau ketemu, aku minta traktir bakso Agus, ya, Kak Neng!” pintaku dengan cengiran lebar.

Meski jarak kami sudah lumayan jauh, Kak Neneng tetap membalas permintaanku dengan acungan jempol. Hampir separuh wanita malam di sini sudah kukenal namanya. Terlepas dari pekerjaan mereka yang hina, mereka tetap saja manusia yang punya rasa belas kasih. Saat aku kesulitan membeli peralatan sekolah karena kurang biaya, mereka lah yang bersedia membantu agar aku bisa lanjut bersekolah. Saat ditanya alasan, mereka hanya menjawab satu hal bermakna serupa, yang sukses mengetuk hati terdalamku sampai menitikkan air mata.

“Karena kami enggak sekolah, Wihel. Paling mentoknya, ya, lulusan sd. Kami enggak mau kamu putus sekolah dan harus jalani hidup yang bejat seperti kami.”

“Ngeliat kamu pakai seragam bikin kami senang. Sekalipun bukan kami yang sekolah, tapi kami berasa dikasih kesempatan hidup lagi lewat perantara kamu.”

Aku bertekad untuk melanjutkan impian kecil mereka dengan bersungguh-sungguh belajar dan mendapat sekolah terbaik.

Apa pun caranya, aku harus bisa sukses dan membuktikan ke para tetangga bermulut sarkastik di sekitar rumah, kalau anak pecandu dan pelacur ini juga bisa jadi orang berguna! Bukan jadi sampah masyarakat seperti yang mereka bilang!

Kemarahan yang mengungkap deritaku itu bagiku adalah api semangat. Sangat membara untuk menentukan masa depanku dan mengabadikannya dalam pencapaian yang gemilang.

“Namaku Wihelmina Gayatri! Sering dipanggil Wihel!”

“Aku bukan lonte! Lebih tepatnya enggak akan pernah!”

Itu adalah lontaran kalimat polos yang pertama kali aku utarakan saat berkunjung ke asrama tempat dimana para wanita malam itu tinggal. Saat itu mereka mengerubungiku sambil mencecar berbagai pertanyaan perihal atmosfer pendidikan. Tawa di mulut berlapis gincu merah mereka terdengar ringan dan lepas dari beban. Mereka bilang aku adalah anak yang dianugerahi Tuhan.

Lamunanku terhenti tatkala tepukan hangat menjumpai pundak. “Yuk, cari bakmi. Nasi uduk malem juga boleh, deh. Gue laper nih.” Karin tersenyum ke arahku. Dandanannya tetap cantik, mungkin sehabis touch-up sebelum turun menghampiriku.

Kalau sudah begini, aku tak bisa bicara apa pun selain menuruti kemauannya.

•• ────── ••

⚠️ Dimohon untuk tidak membawa alur cerita ini dalam kehidupan pribadi para idola ⚠️

Maître D'Hôtel ; JangkkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang