•• ────── ••
Netra mataku menatap lurus dalam layar monitor warnet yang kusewa selama dua jam. Sibuk mencari-cari hingga berhasil mengumpulkan beberapa opsi. Pilihanku akhirnya rampung pada tiga sekolah perhotelan yang letaknya tersebar di sekitaran Jakarta.
Jariku tanpa ragu mengisi lembar penerimaan peserta didik baru dan memasukkan tiga sekolah itu sebagai tujuan akhir, ketiganya aku tulis untuk jurusan perhotelan. Sama sekali tak mengindahkan bahwa terdapat banyak jurusan lain seperti busana, kuliner, kecantikan, atau bahkan pariwisata. Padahal aku sempat terbesit menjadi seorang tour guide, atau translater.
“Bang, sama ngeprint nambah berapa?” Aku bertanya setengah berteriak.
“Kalo berwarna seribuan, hitam-putih gope,” jawab Bang Farul masih sembari matanya fokus memainkan game.
Setelah yakin aku mengisi formulir dengan benar, akhirnya aku menyelesaikan tahap satu. Dua kertas print berukuran A4 aku pegang erat-erat sebagai bukti keteguhan hatiku. Di dalamnya sudah tercetak namaku, token pendaftaran, nilai-nilai semasa SMP, dan persentase akumulasi rapor ataupun non-akademis milikku yang lumayan berguna.
“Duluan, ya, Bang. Duitnya di meja.”
•• ────── ••
Jakarta sedang diguyur hujan, sejak tadi siang tak mau reda. Mungkin Jibril sedang tak rela. Malam harinya sudah lumayan mengecil, hanya tertinggal gerimis-gerimis tipis yang terlihat dari balik sorot lampu jalanan. Ada senang yang menunggu namun resah sedikit menganggu.
Karena hawa yang cenderung dingin membuatku betah berlama-lama menatap langit-langit kamar dari atas ranjang. Aku melirik jam sekali lagi, sudah pukul tujuh malam. Rasanya aku ingin keluar tuk sekedar menikmati cipratan air hujan. Merasakan angin dingin yang berhembus menembus jaket, lalu melompati kubangan air di jalan. Pikiran itu membuatku resah, akhirnya aku bangkit dan mewujudkan ide kekanak-kanakan barusan dengan semangat.
Aku mengantongi uang lima belas ribu sebagai cadangan bila melihat jajanan hangat yang cocok dimakan saat hujan-hujan begini. Langkah demi langkah aku telusuri sembari menghirup napas panjang nan dalam, teringin menenangkan jiwaku yang gundah menunggu kepastian hasil PPDB tadi siang. Apa benar aku sanggup?
Dari keluarga Ibuku, hanya Tanteku si akuntan lah yang berhasil mengangkat derajat keluarga. Dia juga satu-satu anggota yang mampu masuk kejuruan negeri dan lulus dengan nilai sempurna.
Sedangkan dari keluarga Ayah ... seingatku tak ada yang berhasil masuk seleksi negeri. Rata-rata semuanya berakhir swasta, baik jenjang SMA atau SMK. Mereka memang tergolong mampu membiayai uang pangkal dan SPP setiap bulan. Sering kulihat postingan sosial media mereka saat berlibur ke luar kota. Barang-barang branded juga menjadi makanan sehari-hari sepupuku di sana. Kesenjangan ekonomi itu memang benar adanya.
“Otak-otaknya empat aja, Wihel?”
“Sosisnya dua, sama kaki naga tiga.”
Jajanan hangat yang sempat kusebut di atas ialah goreng-gorengan seperti sosis dan teman-teman sebayanya. Jarak antara rumahku ke sini hanya terpaut satu gang. Beruntungnya Kak Reni belum menutup warungnya saat aku tiba. Dia masih sibuk menggoreng martabak lumpia pesanan anak-anak yang mangkal saat gelap datang.
“Tunggu dulu, ya, Hel. Masih agak lama soalnya.”
“Iya, santai aja, Kak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Maître D'Hôtel ; Jangkku
Ficção Adolescente"Masuk perhotelan mau jadi apa? Jual diri kayak Ibu kamu?" *** Sejak lahir, Wihelmina Gayatri dibesarkan dalam lingkungan yang berpikiran kuno. Para tetangga menghina almarhum Ayahnya pecandu, juga mencaci mendiang Ibunya semasa hidup dengan sebutan...