Vote dan komen jangan lupa 💚
•• ────── ••
[Sevian Gumilar POV]
Sore mendadak telah tiba. Wilo mengirimkan chat berupa pesan terusan tentang lowongan part time yang baru saja didapatkannya dari circle pertemanan sebelah. Di sela-sela kesibukanku sebagai pelajar sekolah vokasi, aku juga sering berkelana ke kota-kota sekitaran Jakarta untuk mengambil pekerjaan paruh waktu yang sekiranya menambah pemasukanku di era gencatan ekonomi keluarga.
Beberapa saat, aku merasa ingin untuk egois lagi. Aku ingin hidup layak tanpa harus mengesampingkan kebebasan masa mudaku. Hingga kini, saat akhirnya aku mulai mengejar mimpi, semua tanggung jawab yang dibebankan pada ragaku seolah mengekangku. Mereka tak mengizinkan nalar ini berharap tinggi pada nasib.
Ada bagian dari diriku yang memaksa untuk jujur. Meraung menyerah pada kebohongan atau pada topeng yang selama ini aku kenakan. Diriku yang telah terkontaminasi oleh pemahaman-pemahaman yang dibentuk oleh kebutuhan sosial.
Aku meraih jaket marun dari atas ranjang dan merogoh kantung belakang jins yang sedari tadi kupakai. Ada pecahan uang dua puluh ribu dan beberapa recehan kecil sebagai pelengkap. Hanya ini sisa pundi-pundi rupiah yang akan kupakai menyambung hidup.
"Cukup buat bensin."
Aku memang begitu senang menyiksa diri. Keadaan seperti ini membuatku mengerti, lebih baik terluka dalam ingatan dari pada tidak merasa sakit sama sekali. Seolah mati rasa. Persis seperti yang sekarang aku alami. Aku penasaran bagaimana rasanya menangisi hal berharga, aku lupa caranya tertawa karena hal sepele. Ini bukan perkara ingin baik-baik saja, tapi perkara ingin merasakan sesuatu selain kehampaan.
Sevian: Kirim maps. Gue otw Tangsel.
Wilo: Lah, beneran diambil?
Sevian: Ambil lah, mayan 150 sehari.
Wilo: [Share Location]
Langkahku tergesa keluar kamar dan berbelok pada lorong dapur guna mengambil botol sekaligus mengisinya dengan air dingin sebagai bekal perjalanan. Sambil menunggu air dalam botol penuh, aku membuka maps dari Wilo. Jarak yang ditempuh sekitar 21 kilometer. Cuaca diluar juga sedang terik-teriknya.
Aku memakai masker buff hitam polos dan melapisi kepalaku dengan tudung jaket sebelum membuka pintu rumah. Helm oranye mencolok kebangganku juga tak lupa kutenteng keluar dengan segenap perasaan penat.
Hembusan napas letih aku beri saat netraku pertama kali melihat atmosfer luar setelah seharian kemarin mendekam dalam rumah. Hawa pengap menyambutku tanpa aba-aba. Bau tak sedap dari gunungan sampah di tiap sudut jalanan juga berebut menunjukkan mana yang paling berkuasa dalam distorsi kemiskinan. Ada banyak anak pra-sekolah di sekitar sini, tapi mereka selalu terlihat kotor, perawakannya tak terurus tanpa alas kaki.
Terkadang, semua kemunduran ini membuatku marah.
•• ────── ••
Omong-omong soal pekerjaan paruh waktu, aku sungguhan bekerja meski masih dilabeli anak di bawah umur. Terlebih lagi, aku memang belum punya tanda pengenal resmi. Biasanya aku selalu menanyakan persyaratan, bila mereka tak menuntut untuk melampirkan kartu tanda penduduk, maka aku langsung bekerja hari itu juga. Lagipula pekerjaan yang aku ambil hanya di jam pulang sekolah ataupun akhir pekan.
Semua jenis pekerjaan pernah kucicipi. Mulai dari sales penjualan barang, pramusaji, pialang, model pakaian, sampai kurir ekspedisi. Mereka membuka lowongan secara dadakan tanpa persyaratan formal karena sedang kekurangan orang di hari-hari tertentu. Aku memanfaatkan situasi-situasi seperti ini sebagai ladang penghasilan tambahan. Beruntungnya, teman-temanku juga memahami keadaan finansialku yang tak baik.
Sebenarnya akhir-akhir ini aku sedang dilanda dilema yang begitu besar. Aku ragu mengambil keputusan karena takut salah melangkah.
"Menurut lo gimana, Jer?"
Jerien menyeruput es mangga yang tadi kami beli di perempatan jalan sebelum sampai di rumahnya. Maklum, harganya murah. "Kalo kata gue mending lo lanjut interview kelas industri, Sev. Si Jovan juga keterima di bagian kitchen kok. Sayang tau. Ini kesempatan emas enggak dateng dua kali."
"Gitu, ya?" Aku memainkan es batu dalam gelasku yang isinya telah kandas. "Tapi ntar gue enggak bisa kerja sampingan lagi, dong. Pulang hotel kan sesuai shift. Mana kalo kelas industri begini enggak digaji."
"Ah, tau lah! Pusing gue ngasih saran!" Ia menaruh gelas jus dengan kasar. "Ini tuh batu loncatan supaya nanti pas lulus lo bisa dapet kerja yang enak. Emangnya lo mau serabutan terus?!"
Tamparan perkataannya memang pantas aku terima. Inilah alasan mengapa aku memilih Jerien sebagai teman curhat paling erat. Karakteristiknya berbeda dengan Jovan yang pasti menggampangkan permasalahan, atau Mahen yang malah akan menghinaku plin-plan.
Mungkin ... itu karena nasibku dan Jerien hampir sama.
Orang tua kami memutuskan berpisah pada jalannya masing-masing sampai akhirnya menemukan kebahagiaan hidup. Bedanya adalah, Jerien memiliki figur Ayah yang masih bersedia merawat dan mendidiknya secara benar. Sedangkan aku sendirian. Ayah dan Ibu pergi tanpa pernah peduli eksistensi anak sulung yang mereka titipkan pada sanak saudara terdekat kala itu. Masing-masing dari keduanya telah menempuh kehidupan baru dengan anak-anak yang diberi kepercayaan serta kasih sayang yang telah lama aku idam-idamkan. Kini harapan itu telah terkubur jauh dalam nurani gelap dalam jiwaku.
"Lo masih dikasih uang saku sama keluarga lo?" tanga Jerien yang kini menatapku serius.
"Dikasih, tapi enggak seberapa. Nominalnya bahkan kurang buat sekedar praktek jurusan."
"Kalo lo keterima di Hotel The Iland, urusan makan pasti terjamin. Kalo lagi mujur bisa aja dikasih tip sama tamu, kan? Percaya sama takdir Tuhan, Sev. Enggak mungkin lo dikasih lolos tanpa pertimbangan."
Aku tak menjawab. Pura-pura menyibukkan diri dengan berbagai notifikasi perpesanan yang masuk dalam ponselku.
"Dengar-dengar, sih, katanya Wihel juga lolos."
Jerien menggodaku seperti biasa. Padahal sudah kujelaskan jika Wihel dan aku hanya sebatas teman semasa jaman putih-biru. Akhir-akhir ini kami sering bertemu karena Wihel sedang ada projek menggarap buku bertema patriarki dan kesenjangan ekonomi. Walau sama-sama berasal dari kalangan miskin, tapi kuakui jika tutur pikir dan tingkah lakunya selalu mencerminkan perempuan yang bermartabat.
Lelaki mana yang tak jatuh saat menatap mata cantiknya?
•• ────── ••
a/n:
Tabungan bab aku udah abis. Entahlah berikutnya gimana.. padahal tinggal 5 hari lagi sebelum eventnya berakhir 😭
we call his name:
“sevian”
“vian”
“sev”
KAMU SEDANG MEMBACA
Maître D'Hôtel ; Jangkku
Ficção Adolescente"Masuk perhotelan mau jadi apa? Jual diri kayak Ibu kamu?" *** Sejak lahir, Wihelmina Gayatri dibesarkan dalam lingkungan yang berpikiran kuno. Para tetangga menghina almarhum Ayahnya pecandu, juga mencaci mendiang Ibunya semasa hidup dengan sebutan...