Bolehkah kita egois sekali saja demi orang yang kita sayangi?
***
"Egois boleh saja, tetapi apa itu tidak menyakitinya?"
***
Jey, Jeyfandra Putra Yudistira. Itulah nama yang seseorang yang tengah Fadil perhatikan sejak tadi di ranjangnya. Jey tampak serius, sampai-sampai ia melupakan bahwa Fadil ada di hadapannya. Fadil sebenarnya merasakan bosan, tetapi ia tidak invin mengganggu waktu manisnya Jey dengan leptop yang sudah berjalan kurang lebih satu jam.
"Jey...." Panggil Fadil dengan tangannya yang menyibak selimutnya. Jey tidak menjawab, lebih tepatnya tidak mendengar panggilan Fadil. Fadil berjalan kearah Jey, dan melepas paksa headphone yang sejak tadi bertengger di kedua telinga Jey. "Ow."
"Ck, bisa gak sih tutup dulu itu leptop? Aku mau kau temani aku ke taman." Jey yang hendak protes itu, akhirnya memilih diam disaat mendengar ajakan Fadil.
"Tumben?" Fadil memutar kedua bola matanya dengan malas, ia segera melempar kembali headphone milik Jey dan di tangkap dengan mudahnya oleh sang empu.
"Itung-itung pendekatan kembali lah." Entah kenapa Jey merasakan perih di dadanya, padahal hilang ingatannya Fadil sudah menjadi hal yang lumrah di kehidupannya. Tetapi hatinya berkata lain mungkin?
"Ya," Jawab Jey pada akhirnya, Jey sibuk mematikan leptopnya dan menaruhnya di meja hadapannya.
"Ayo kita kembali mengenal lagi, Fadil." Ucapnya setelah merangkul Fadil, sedangkan Fadil sibuk dengan tiang infusnya. Mereka berjalan keluar dari ruangan kamar bernomer 123 itu, dan menaiki lift untuk sampai ke taman rumah sakit yang berada di lantai satu.
***
Jay, Jay melihat sekitarnya dan ia menemukan sesosok yang tengah ia cari sejak ia kembali dari lantai 3 untuk mencari dua pemuda yang sekarang entah kemana, berjalan mendekati meja resepsionis. Jay memanggil nama orang tersebut, yang ternyata sejak tadi sedang berbicara dengan teman-temannya.
"Nara!" Panggil Jay, sekumpulan suster itu berhneti tertawa dan mengobrol disaat suara panggilan Jay mengganggu acara kumpul mereka. Salah satu suster dengan nametag Edwinara, atau yang akrabnya di panggil Nara itu berbalik dan berjalan menghampiri Jay.
Jarak mereka di sekat dengan meja resepsionis, dan Nara dapat melihat bahwa Jay tampak seperti pemuda yang habis lari maraton. Lihat saja rambutnya yang lepek kerena keringat dan lengan kemeja yang di gulung sampai kelihatan kedua sikutnya. Jay menarik nafasnya dan menghembuskannya dengan sedikit kasar.
"Butuh air?" Tanya Nara prihatin, Jay menatap Nara dan segera mengambil tisu untuk mengelap keringatnya.
"Emang ada air apa aja?"
"Hah? Cuman ada air campur obat nih, mau?" Canda Nara sambil menyodorkan secangkir air, Jay melotot kearah Nara dan membuang tisu bekas keringatnya itu di tong sampah sebelah meja resepsionis, sedangkan Nara hanya tersenyum jahil.
"Lu mau bunuh gue?" Sarkas Jay, tetapi ia tetap menerima cangkir itu karena ia tau bahwa sebenarnya Nara hanya sebatas bercanda. "Bunuh elu, sama aja cari mati sama bokap lu,"
"Makanya siapa suruh tanya 'Emang ada air apa aja?' Lu kira meja resepsionis itu toko minuman gitu?" Jay menaruh cangkir tersebut dengan menghela nafas lega, lalu ia menatap Nara dan menjawab pertanyaan Nara yang konyol itu.
"Ya, siapa tau bokap gue ngubah alih fungsi ini resepsionis."
Dasar, Nara menggelengkan kepalanya. Sudah kurang lebih beberapa detik mereka terdiam, suster yang berada di belakang Nara sudah mulai berbisik-bisik, entah apa yang mereka bisikan itu. Yang terpenting bagi Nara sekarang, apa maksud tujuan seorang Jayendra ini?!
"Jadi ada apa, Jay?" Jay diam, tetapi Nara tau bahwa Jay tengah bingung. Bisa didengar dari gumamannya.
"Hah?"
"Yaelah buset, udah lupa aja lu. Dasar,"
"Lu mau tanya apa Jayendra? Tadi aja sampai lari-lari begitu." Entah ini hari sial Nara atau hari keberuntungan Jay, tetapi sekarang Nara merasa kesal dengan Jay. 100% sangat kesal, bagaimana tidak kesal?! Sifat lemotnya itu membuat Nara harus ekstra sabar rasanya jika harus berhadapan dengan Jay. Seenggaknya kembarannya, Jey, tidak lemot seperti Jay.
"Oh ya!"
'Akhirnya ini anak.' Syukur Nara sambil tersenyum tipis.
"Lu liat Jey sama Fadil kagak? Gue gak liat mereka berdua di kamar tuh." Penantian 1 menit itu tidak sia-sia bagi Nara, pada akhirnya Jay mengungkapkan tujuan awalnya untuk menemuinya. Dan itupun perihal kembarannya dan Fadil.
"Jey sama Fadil?" Jay menganggukkan kepalanya, sedangkan Nara sedang berpose berfikir. Jujur saja, Nara memiliki kelemahan yakni 'Krisis Ingatan'. "Seingatku, jika tidak salah. Satu jam yang lalu aku liat mereka bersua keluar dari lift dan berjalan menuju taman,"
"Mereka sempat menyapaku yang baru saja kembali dari toilet, Fadil sih sebenarnya yang menyapaku." Ucap Nara dengan melas, rasanya ia malas jika mengingat tatapan datar khas milik Jey.
Jay mengangguk mengerti, dan dengan segera ia berlari meninggalkan meja resepsionis untuk menuju taman belakang rumah sakit ini, dan tidak lupa ia melambaikan tangan kearah Nara.
***
"Nar, kau bisa membedakan mereka berdua?" Tanya salah satu suster yang sejak tadi mendengar dan melihat interaksi antara Jay dan Nara, nama suster itu adalah Lia. Nara berbalik dan menatap teman-temannya itu.
"Bisa, mudah caranya sih. Tinggal bedakan aja celana mereka," semua diam dan merasa sedikit bingung dengan kalimat Nara yang terdengar ambigu.
"Bukan itu maksudku, maksudku adalah liat dari perbedaan celana mereka. Jay cenderung lebih suka celana panjang tetapi Jey berkebalikannya, Jey lebih cenderung memakai celana pendek." Jawab Nara dengan cepat, karena ia tau bahwa teman-temannya ini berfikir bahwa yang ia maksud tadi itu adalah kolor, bukan celana.
"Pikiranku ya Allah!" Teriak salah satu suster bernama Yuna itu, sedangkan yang lain hanya bisa tertawa.
"Oh ya, Nar. Siapa pemuda yang sering di jenguk dengan si kembar itu?" Tanya salah satu suster dengan perawakan yang sedikit imut tapi aslinya dia tegas banget, pakek banget jangan lupakan itu. Namanya Queen.
"Kalau tidak salah dengar tadi namanya Fadil kan? Anak korban dari insiden 1 bulan yang lalu kan?" Saut Lia, dan itu berhasil membuat Nara terdiam membeku di tempatnya. Rasnaya lidahnya kelu untuk menjawab, dan hatinya entah kenapa sangat perih disaat Lia menyebutkan kalimat '1 bulan yang lalu' padahal Nara tidak ada sangkut pautnya dengan insiden itu, tapi sakit rasanya.
Karena di insiden itu ia kehilangan sosok yang begitu berharga baginya.
"Nar?" Salah satu suster dengan perawakan cool dan berambut pendek itu menepuk pundak Nara hingga dua kali. Namanya Clara.
"Ah, maaf," Nara mengelus dadanya, ia kembali lagi menatap keempat temannya dan menghela nafas.
"Fadil itu...adalah sepupu si kembar."
Bersambung...
Jangan lupa Vote dan Komen! Jika kalian suka! Terimakasih sudah membaca! Love y'all 💚
Tahap REVISI‼️
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Losing You | Ft: Renjun & Haechan
FanfictionApi berkobar dengan ganasnya, ia melahap semua yang ada di sekitarnya. Ia tak kenal apa itu arti kawan dan musuh, ia hanya melenyapkan apa yang mengganggunya. Api itu melenyapkan sesosok yang ia anggap kakak dalam hidupnya selama ini, api itu jahat...