Untuk merayakan kemenangan Linda, papah mengajak keluarganya untuk makan malam bersama.
Untuk pertama kalinya dia pulang cepat untuk anak perempuannya, biasanya papah tidak terlalu peduli tapi ya mungkin dia ingin berubah.
Kini keempatnya sedang berada di mobil, di iringi dengan musik yang mengalun dengan merdu.
"Gimana soalnya tadi? susah atau gampang?" papah memulai percakapan.
"Biasa aja," jawab Linda seadanya.
"Tapi tadi Ekal liat Linda itu keren banget loh pah, dia cepet banget jawabnya padahal yang lain masih ngitung tapi Linda udah nemu jawabannya." Haekal dengan semangat menceritakan kejadian tadi.
"Anak papah emang harus pinter, itu yang papah inginkan sejak awal." Keadaan menjadi hening seketika.
"Kita mau makan dimana pah?" Haekal mengalihkan pembicaraan karena dirasa pembicaraan sebelumnya terlalu dingin.
"Kita bakal makan di restoran bintang lima milik teman papah, kebetulan dia ngundang kita buat makan malam jadi sekalian." Haekal mengangguk saja.
"Loh tumben sekali jalanan ini ramai," Haekal melihat keluar jendela.
"Kayanya ada kecelakaan deh, itu ada ambulans soalnya." tunjuk Haekal ke arah mobil ambulans yang berjarak beberapa meter dari tempatnya.
"Inalillahi, semoga korbannya selamat."
Mereka menunggu cukup lama sampai Haekal dan Linda mengantuk dibuatnya.
Jalanan telah kembali seperti biasa, kendaraan mulai menginjak gas untuk menjalankan kendaraan masing-masing.
Untungnya perjalanan menuju resto sudah dekat jadi mereka tidak usah berlama-lama di jalan.
Kini keempatnya sedang duduk di meja nomor 16 di lantai dua resto tersebut.
Setelah memilih menu yang akan menjadi makan malam mereka, mereka terus mengobrol untuk mencairkan suasana.
Gelak tawa sesekali terdengar saat Haekal memberikan candaannya.
Penyaji makanan datang membuat mereka berhenti mengobrol dan fokus kepada makanannya masing-masing.
"Haekal katanya mau ada lomba band ya?" tanya papah di sela-sela makannya.
"Iya pah," Haekal mengangguk.
"Kalo gitu kamu harus latihan yang bener, gapapa gak juara asal kamu sudah melakukan yang terbaik." Haekal mengangguk dengan mulut yang penuh makanan.
Diam-diam seseorang mengepalkan tangannya di bawah meja, 'kenapa dia yang lomba boleh kalah tapi kalo saya yang lomba harus menang?' batin orang tersebut.
"Saya mau ke toilet dulu," Linda beranjak dari tempat duduknya.
Ketiganya mengangguk mengiyakan, setelahnya Linda meninggalkan tempat tersebut.
Di dalam toilet Linda menggosok tangannya dengan kasar di aliran air wastafel, itu kebiasaannya saat sedang emosi atau takut.
"Anak sialan itu, harusnya saya gak nerima dia. Anak itu, anak tiri tapi di sanjung seperti anak kandung." ucapan keluar dari mulutnya.
"Sialan sialan sialan, papah? itu papah kamu bukan papah saya, saya emang hanya alat tapi kenapa rasanya sakit sekali. Perempuan sialan itu juga kenapa meninggalkan saya di neraka ini, perempuan yang sialnya menjadi kaka saya itu." tangannya mengepal erat, air mata turun dari kedua matanya.
"Hidup sampah, keluarga sampah, manusia sampah. Kenapa saya harus di lahirkan menjadi seorang manusia," ia menatap pantulan bayangannya di cermin.
Air mata tak berhenti keluar dari matanya, dia memang perasa. Gampang sekali emosi, sedih, bahagia, dan takut, itulah kelemahan yang selalu dia benci.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAREN & HAEKAL
Teen Fiction"Bagaimana rasanya menjadi seorang kaka?" Pertanyaan yang sering didapat oleh anak pertama. Menjadi anak pertama itu menyenangkan tentu saja anak pertama bisa dengan puas menjahili adiknya dan bisa menyuruh adiknya dengan sesuka hati. Tapi hidup s...