Memasuki jam makan siang Tasia langsung mengeluarkan bekal makan siangnya, hari ini dia hanya membawa sedikit makanan, karna nanti malam dia akan menghadiri acara yang di selenggarakan oleh salah satu desainer ternama di Indonesia, Tasia jadi menahan diri untuk tidak makan.
Tasia ingat kata salah satu temannya, kalo di acara yang di adakan Cynthia Marcella akan selalu ada makanan yang enak, itu juga alasan banyak orang yang ingin datang, selain karna Cynthia adalah orang yang baik dan hasil karyanya juga bagus, Cynthia juga sangat memikirkan perut orang-orang yang dia undang.
Asik makan Tasia mendengar suara pintu yang diketuk, Tasia dengan cekatan memasukan bekal makan siangnya ke laci meja kerjanya dan mengelap mulutnya sebelum dia menyuruh seseorang untuk masuk, setelah selesai Tasia baru menyuruh siapapun yang telah mengganggu makan siangnya itu untuk masuk.
"Lo lama banget deh nyuruh gue masuk." Tidak disangka itu adalah Jane.
"Astaga, lo ternyata, gue kira siapa, mana gue lagi makan, duduk deh gue mau makan dulu, lo ngapain?"
"Santai aja, gue kesini cuma gabut, tunangan gue lagi kerja terus gue bingung mau ngapain."
Tasia menatap Jane lalu menggeleng, "lo kan kerja juga."
"Ya tapi kan kerjaan gue santai, gue cuma mantau aja, nanti kalo ada apa-apa baru gue turun tangan, sekarang beneran lagi ga ada apa-apa jadi gue bingung, kalo di Belanda gue bisa jalan-jalan, ke dermaga, kalo ga sepedaan, terus duduk-duduk di taman, oh, kalo enggak ke perpustakaan kota, banyak buku bagus disana, tapi pas kesini gue bingung anjir, kalo ke dermaga juga dermaga mana? Ancol? Duduk-duduk di taman....enggak deh, jadi lah gue kesini sekarang."
Tasia cuma mengangguk, wajar kalo Jane bingung dia harus apa, tapi lebih bingung lagi Tasia, dia belum selesai mencerna makanannya udah langsung di ajak ngobrol, otaknya masih belum nyambung.
"Hari ini lo ada acara apa?"
"Mau dateng ke acaranya Cynthia."
"Cynthia yang desainer itu juga? Yang bajunya kemaren di pake sama Helen itu?!" Jane terlonjak tidak percaya.
"Iya siapa lagi."
"Kok lo keren bisa temenan sama desainer terkenal gitu, gue iri deh."
Tasia berdecih, "ck, lo juga temenan sama pengusaha kali, gue lebih iri, lo bisa gampang bikin usaha ini itu soalnya kenalan lo udah banyak, lo juga gampang berbaur anaknya, lah gue? Gue susah tau buat mulai obrolan, makannya gue cuma bisa ketemu sama orang-orang di bidang yang sama kaya gue, biar gue ga susah cari topik."
Jane terdiam, padahal dia cuma bilang iri aja, dia beneran iri karna acara-acara gitu pasti banyak disorot sama wartawan dan jadi acara yang sangat wah, Jane pengen sekali-kali dateng ke acara fashion gitu, buat Jane dia bosan harus datang ke acara meeting yang formal, ketemunya sama bapak-bapak pengusaha yang kalo ketawa kaya keluar duit sama kapal pesiar.
Jane senang sih bisa kenalan sama banyak pengusaha, tapi rumput tetangga memang lebih hijau, Jane mau coba sesekali ikut ke acara kaya gitu, ya coba coba aja, ga salah kan?
Sedangkan Tasia, dia merasa Jane tidak pernah bersyukur dengan apa yang dia miliki, sejak dulu Jane selalu pengen apapun yang temannya bisa lakukan, Tasia pernah bilang sama Jane, "lakuin apa yang lo bisa aja, ga usah di paksain." Tapi Jane tetap mau coba, dia mau coba semua hal, buat Jane kita ga akan pernah tahu kemampuan kita sampai mana kalo kita ga coba, benar-benar berbanding terbalik sama pemikiran Tasia yang 'kalo punya satu kemampuan ya sudah kembangkan saja kemampuan itu' begitu lah manusia.
"Kalo gitu lo bisa ikut gue aja kalo lagi pertemuan gitu, hitung-hitung lo cari relasi, lo kan juga bikin usaha nih, siapa tau lo dapet kenalan yang bisa bikin usaha butik lo ini besar." Jane bersemangat, kemudian dia teringat sesuatu. "Gue juga ada temen kok, pengusaha juga, single, lo single juga kan? Siapa tau lo sama dia bakal cocok!"
Tasia langsung menggeleng tidak setuju, "apaan sih, kok malah jadi ngejodohin gue."
"Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui kan, ga masalah, siapa tau lo dapet jodoh yang bisa bikin lo semakin naik daun lagi di bisnis baju pengantin lo ini."
Sungguh, Tasia jadi tidak mood buat ngapa-ngapain lagi, kenapa sejak kemarin orang-orang menyuruhnya untuk mencari pasangan, kenapa? Apa mereka takut Tasia tidak laku? Lagi pula umur Tasia belum ada tiga puluh, Tasia masih bisa bersenang-senang, pergi ke tempat yang dia mau, beli barang yang dia mau, dia tidak perlu pusing dengan yang namanya percintaan.
"Udah lah ga usah, gue bisa ngurus bisnis gue sendiri."
Jane berdecak, dia melipat kedua tangannya di depan dada, kaki kanannya dia tumpu di paha kirinya, kesal.
"Tas, Tas, lo dari dulu beneran ga berubah ya, gue tau lo pengen punya pacar kan, pengen buka hati, tapi sisi lain diri lo nahan itu semua kan? Coba deh Tas lain kali lo coba buat buka hati, gue ga minta lo nikah cepet-cepet kok, minimal lo kenalan dulu sama cowok biar WA lo itu isinya ga client semua."
Tasia sudah mulai malas, bahkan makanannya pun sudah tidak mood dia habiskan.
"Kalo gue buka hati lagi, ada jaminan gue ga sakit hati lagi?"
"Namanya orang kenalan, orang jatuh cinta ya harus siap sakit, kalo ga gitu lo ga akan pernah belajar buat lebih baik lagi."
"Gue udah belajar kok dari yang dulu, makasih sama Leon udah bikin gue belajar buat hati-hati membuka hati."
Jane udah mulai capek, dia memijat tulang hidungnya, "ok, ok, terserah lo deh, gini aja, terserah lo deh mau gimana ya, cuma kalo misal lo butuh kenalan sama cowok, lo bisa chat gue, gue bakal senang hati kenalin orang-orang yang gue percaya ke lo."
Jane berdiri, dia memilih pulang karna suasana di ruangan Tasia sudah tidak enak, kalo dia terus memaksa disana, keadaan pasti semakin kacau.
Jane baru saja akan membuka pintu, "gue cuma mau pesen ke lo, apa yang Leon lakuin dulu emang salah, tapi jangan jadikan alasan buat lo terus nutup pintu hati lo, lo pantes buat dapetin yang terbaik, lo pantes bahagia, Tas." Kemudian Jane keluar, meninggalkan Tasia dengan perasaannya yang campur aduk.
Tasia marah ke orang-orang yang seolah memandangnya 'tidak laku', Tasia marah ke dirinya sendiri karna sudah terlalu lama menutup hati, Tasia marah sama keadaan, dia termasuk orang yang sukses di pekerjaannya, Tasia akui apa yang dia kerjakan itu lancar, tapi kalo masalah percintaan, Tasia adalah salah satu orang yang tidak beruntung, dia selalu merasa sial masalah cinta.
Kepalanya sudah tidak bisa berpikir jernih, siang ini Tasia cuma bisa menaruh kepalanya di atas meja yang dia tumpu dengan kedua tangannya, Tasia mau nangis tapi dia tidak bisa, kesal.
| Bersambung....
Sampai ketemu di part selanjutnya, jangan lupa pencet votenya ✨🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
SIAL | Giselle Haechan
Fiksi PenggemarPatah hati karena pernah di selingkuhi delapan tahun silam membuat Tasia masih menutup hati untuk semua laki-laki yang mendekatinya, Tasia bahkan pernah berniat untuk tidak menikah, padahal di lubuk hatinya yang paling dalam Tasia juga terus mempert...