Lusa bukanlah waktu yang lama untuk mempersiapkan diri. Mau mengeluh pun tidak bisa karena, hari itu sudah tiba!. Hari dimana takdir akan berpihak padanya atau tidak. Hari dimana dia berharap jika semua yang dipikirkannya salah.
Sangking tidak inginnya melihat, dia mencari tempat persembunyian yang berujung sia-sia. Neneknya menemukan dirinya mondar mandir tidak jelas dan berakhir pergi bergandengan tangan dengan wanita itu.
Diperjalanan menuju tempat yang dianggap terkutuk oleh bocah rambut hitam itu, mereka bertemu dengan Darren. Pria itu sedang berbicara dengan kepala pelayan mansion ini. Tidak peduli dengan yang dibicarakan orang-orang dewasa itu, Anastacius melihat sekeliling apakah ada tanda-tanda kedatangan pendatang baru.
"Apa kau sudah tidak sabar ingin melihat adikmu, cius?." Anastacius bingung menjawabnya. Jika jujur pasti ayah dan neneknya akan kecewa. Begini-begini dia masih punya hati!. Walau makainya setengah-setengah.
Jadinya Anastacius mengangguk patah-patah yang dibalas belaian lembut di rambutnya.
"Jangan gugup, dia masih sangat kecil kok!." Tawa kecil dapat terdengar dari Darren dan ibunya.
'Apanya yang kecil?.' Dia menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Cukup dia dan yang maha kuasa yang tau.
Setelah perbincangan pendek itu mereka lanjut berjalan menuju ruangan dengan beberapa pelayan wanita dan pria yang berlalu lalang disana. Tanpa harus masuk ke dalam pun Anastacius sudah tau ruangan apa itu.
Anastacius tidak ingin masuk!. Tidak ada alasan bagus yang bisa dipikirkannya. Dia terlalu was-was untuk berpikir sekarang.
"Jangan berisik ya. Dia mungkin sedang tidur." Ujar Darren pada Anastacius dengan penuh semangat.
Mereka masuk ke ruangan yang penuh hiasan anak-anak. Tunggu, Anastacius baru sadar kalau ini adalah ruangannya dulu saat bayi!. Dia bisa melihat beberapa perabot yang sama dari beberapa tahun lalu.
'Kasihan, ini bahkan lebih meriah dari milikku dulu.' Anastacius begitu bersyukur tidak berada di ruangan seperti ini dulu.
"Cius, kesinilah!." Darren mengajaknya mendekat ke box bayi.
Dengan langkah terpatah-patah dia berjalan menghampiri ayah dan neneknya di dekat box bayi. Jantungnya berdegup sangat kencang. Bahkan Anastacius rasanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
Darren menggendong bayi kecil itu dari box bayi agar Anastacius bisa melihatnya lebih dekat. Dia jongkok menyamakan tingginya dengan bocah hita- anaknya. Anastacius menutup matanya masih tidak mau menerima kenyataan ini.
"Lihat, dia sangat lucu, kan?." Ujar Darren pada anak didepannya. Dia sendiri tersenyum melihat bayi digendongannya.
Anastacius akhirnya membuka matanya secara perlahan. Begitu matanya terbuka lebar, dia melihat bayi kecil terbungkus selimut yang tertidur dengan nyenyak. Dia begitu tercengang akan apa yang dilihatnya sampai-sampai mulutnya terbuka.
Tangannya bergerak dengan sendirinya untuk menyentuh tangan mungil bayi tersebut. Anastacius dapat merasakan jarinya yang digenggam olehnya. Entah kenapa jantungnya berdebar-debar akan sensasi aneh yang menghilangkan rasa was-was nya.
"Bagaimana?. Apa kau menyukai Claude pada pandangan pertama?." Tanya Leanne atau neneknya. Anastacius diam saat ditanya begitu, lagipula bagaimana dia bisa menjawab dengan perasaan yang tidak karuan?.
Reaksinya mengundang senyum ayah dan neneknya. Sebenarnya mereka ber-ekspektasi lebih tinggi akan reaksinya, tapi ini sudah cukup untuk membuat keduanya puas. Setidaknya Anastacius tidak menolak keberadaannya.
"Okay, sudah cukup!. Claude kecil sedang tidur, jadi mari kita letakkan dia kembali."
Anastacius melepaskan genggaman Claude dari jarinya. Matanya mengikuti gerak gerik Darren dan terpaku pada box bayi. Dia ingin melihatnya lagi dan agar dapat melihatnya lagi dia harus berjinjit, tapi ia mengurungkan niatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I fvcking H̶a̶t̶e̶ love you! {BL} [WMMAP FANFICT]
Fanfiction《ON GOING》 Anastacius ingat jika dirinya sudah mati. Tapi mengapa dia malah terbangun di tempat asing dan sebagai bayi!?. Dan kenapa Claude juga harus terlahir kembali sebagai adiknya!?. "Kenapa kau harus lahir dan menjadi adikku lagi!?" "Kau pikir...