Chapter 3 : Chronicle

25 4 8
                                    

Vant mendekati ibunya dan mengambilkan sebuah kain untuk mengelap darah di bibir ibunya. Dia mengelap darah itu sambil menangis tersengguk-sengguk.

"Ibu. Apa yang terjadi? Kenapa ibu jadi seperti ini?"

Ibu Vant tidak berkata apa-apa. Wajahnya yang sakit membuatnya kesulitan untuk menggerakkan bibirnya. Dia hanya merintih lirih dengan darah yang masih menetes dari bibir.

Rasa sedih menghujam hati Vant. Anak laki-laki ini merasakan sesak di dadanya yang amat sangat menyakitkan. Dia melihat ke ruangan dalam rumah. Seorang laki-laki berumur lima puluhan sedang tertidur dengan sebuah botol minuman keras di sampingnya. Sebuah minuman keras murahan yang dibuat dari getah pohon kelapa yang difermentasi.

Pria itu tidur dengan pulasnya. Laki-laki inilah biang dari terciptanya boneka porselen yang terlukis di wajah ibu Vant. Vant memandangi laki-laki itu dengan geram. Sebuah kemarahan yang sudah lama dia pendam. Vant kemudian memegang tangan ibunya. Dan menatapnya dalam.

"Ayo kita lari dari sini. Kita pergi!" ajak Vant.

Ibu Vant mengernyitkan alianya kemudian berusaha menggelengkan kepala. Dia tidak mau kabur dari rumah itu. Seolah-olah ada yang menghalanginya.

"Ibu, kau sudah cukup menderita. Lebih baik kita tinggalkan dia dan kita memulai hidup baru," bujuk Vant dengan suara yang halus.

Ibu Vant memejamkan matanya dengan erat. Dia bernapas dengan dalam dan berat, seperti orang yang kekurangan oksigen. Kemudian dia tetap menggelengkan kepalanya.

Vant menjadi bingung. Apa sebenarnya yang membuat ibunya tidak ingin pergi? Dia hampir disiksa setiap hari, dan tubuhnya selalu terdapat memar karena perlakuan suaminya yang gila. Kenapa dia tidak mau meninggalkan pria itu? Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh wanita ini?

Vant memegang kedua pundak ibunya, lalu mengatakan dengan nada geram, "Ibu, kita harus pergi dari rumah ini. Demi Tuhan, laki-laki itu akan membunuh kita suatu saat nanti! Aku tidak ingin melihat ibu disakiti oleh si bajingan itu!"

"Siapa yang kau sebut bajingan? Dasar bocah kurang ajar!" Pria yang tadinya tidur dengan pulasnya sekarang sudah berdiri di samping Vant dan ibunya. Dia berdiri dengan menenteng botol minuman keras di tangannya.

Matanya yang memerah memandang tepat langsung diantara mata kedua mata Vant. Vant mulai merasakan badannya yang menjadi kaku. Ketakutan yang mendalam membuat jantungnya berdebar cepat. Tubuhnya tidak bergerak meskipun dia ingin. Tubuhnya tidak mau mendengarkan pikirannya. Vant tahu kalau ini akan menjadi hal buruk. Pria itu masih mabuk. Dan sayangnya pria itu adalah ayahnya.

Napas yang tidak beraturan dan ketakutan terpancar dari diri Vant. Pemandangan itu membuat ayahnya merasa jengkel. Alkohol memiliki sifat untuk mengeluarkan emosi asli yang tertanam pada diri manusia, karena akal sehat tidak bisa digunakan saat mabuk. Emosi yang disimpan kuat di alam bawah sadar ayah Vant adalah rasa kesal. Dia kesal pada dunia yang begitu kejam padanya. Dia kesal karena tidak bisa mencari uang untuk keluarga. Sehingga pada akhirnya alam bawah sadar itu mencari kambing hitam. Sebuah pelampiasan agar dirinya tidak terlihat salah. Sebuah pembenaran. Dia menyalahkan istrinya yang tidak bisa mendukungnya, dia juga menyalahkan Vant karena menghabiskan uangnya untuk biaya sekolah. Hal itu melewati batas hingga dia melakukan kekerasan fisik sebagai pembenaran atas kelemahannya sendiri.

"Anak brengsek! Kau yang menghabiskan uang untuk biaya sekolah malah mengatai ayahmu sendiri sebagai bajingan? Apa itu yang diajarkan sekolah padamu?" bentak ayah Vant dengan suara yang lantang.

Bau busuk alkohol murahan tercium sangat kuat seraya ayah Vant berbicara. Bau itu mungkin memenuhi ruangan, tetapi Vant tidak bisa merasakan itu sekarang. Dia terlalu takut dengan sosok pria dewasa itu. Mata dan bibirnya bergetar. Air matanya seperti mau keluar lagi.

[END] Libra Spin-Off : The Children of WonderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang