Chapter 4

3.9K 651 66
                                    

Haloo... maaf ya baru bisa update lagi 🙏🏻 padahal udah niat awalnya mau update seminggu satu atau dua kali 🥺 tapi, karena anakku baru memasuki MPASI minggu lalu, jadi lagi cukup sibuk belajar bikin menu-menunya. Mohon dimaklum, ibu baru, jadi masih meraba-raba hihi 🤭🤭


HAPPY READING





Belasan tahun kemudian

"Satu... dua... tiga...."

Mereka tersenyum lebar, menatap ke depan sambil mengikuti arahan dari sang fotographer yang untuk kesekian kalinya, mengabadikan momen bahagia ini di depan monumen khas dari gedung Universitas Swasta tempatnya menimba ilmu tiga setengah tahun lamanya. Jika ditambahkan dengan masa off-nya selama kurang lebih enam bulan karena kecelakaan lalu lintas, total empat tahun untuk akhirnya bisa memiliki gelar Hana Leira Ganuardi (S.S).

Setelah banyak drama untuk bisa berdiri di posisinya sekarang, banyak air mata yang tumpah ruah saat pengerjaan skripsi karena otaknya yang tidak terlalu cemerlang, tibalah dirinya di hari wisuda yang melegakan. Walaupun bukan gelar yang orang tuanya inginkan, tapi, ia bersyukur pada akhirnya mereka mendukung Hana mengambil jurusan apa pun sesuai passion-nya, sehingga ia memilih Sastra Indonesia karena kegemarannya membaca novel. Meski tetap saja, setelah tercemplung lebih jauh, masih susah juga. Ia pikir akan lebih sering baca. Tapi, ternyata, Sastra Indonesia cakupannya begitu luas, bukan hanya sekadar bisa bahasa negara kita.

Awalnya, kedua orang tuanya ingin Hana mengambil jurusan Manajemen Bisnis seperti Devin—Putra sulung mereka yang beberapa tahun lalu lulus dan bergelar Cumlaude pula. Tapi, untuk kapasitas otaknya yang tidak terlalu pintar, jelas ia tidak diterima di mana pun saat tes masuk tahap awal. Jangan tanyakan jalur lain, mandiri saja tidak lolos, apalagi lewat rapor ataupun prestasi. Semua tes sudah ia coba, seluruhnya GAGAL TOTAL. Kepalanya tidak sanggup. Ia juga tidak bisa masuk ke Universitas Negeri seperti Devin, karena alasan yang sama. Mau tidak mau, mereka menyekolahkan dirinya di tempat Swasta, dan Hana sangat berterima kasih karena kampus yang dipilihkan ini cukup ternama, meski terkenal mahal biayanya.

Hana sangat ingin membuat kedua orang tuanya bangga, hanya saja, kemampuannya berbanding terbalik dengan keinginan mereka. Meski beruntungnya, setelah bekerja keras agar bisa lulus tepat waktu dan belajar dengan tekun, ia berhasil memiliki IPK yang hampir sempurna—walaupun sedikit terseok-seok juga dan nyaris gila dalam perjalanan meraihnya. Mereka tetap terlihat bangga padanya, hadir di acara wisudanya mengenakan pakaian berwarna senada dengannya, sambil membawakan sebuket bunga yang tampak begitu cantik.

"Jika Papa lupa Bahasa Negara kita, tolong ajari ya. Sekarang kan kamu sudah jadi pakar Sastra Indonesia." Indra tertawa, mengusap hangat punggung Hana ketika putrinya mendengkus kecil.

"Papa lebay deh, kayak lancar bahasa lain aja."

"Bisa aja setelah Papa tua dan pikun, kembali ke setelan pabrik, ngomongnya pake bahasa Belanda. Sampe tiga tahun tinggal di sini, Papa dulu nggak lancar lho ngomong indonya."

Mencebikkan bibir penuh ledek, Hana menggandeng lengan Ayah dan Ibunya secara bersamaan. "Iya deh iya yang dari lahir tinggal di Belanda. Aku tunggu lho janji Papa mau ngajak aku berlibur ke sana, dari kapan tahu belum juga diwujudkan."

Beliau murni keturunan pribumi, tetapi lahir di sana dan sempat menetap sampai usia remaja—itu yang ia dengar dari cerita papanya. Hana sudah tahu cukup banyak tentang kisah hidup mereka, sebab dikala senggang dan ketika keluarganya pergi berlibur ke luar kota ataupun ke luar negeri, Indra maupun Lusi tak jarang membagikan cerita tentang masa kecil menyenangkan itu.

"Iya sayang, maafin Papa soalnya sibuk terus, jadi belum nemu timing yang pas. Sekalinya ada waktu, kalian pilih tempat berliburnya di tempat lain."

Broken RingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang